Runtuh

205 35 4
                                    

Happy reading:))
Boleh kritik dan masukannya untuk chapter ini di kolom komentar ya guys.

Haru memperhatikan ibunya yang tengah mengemas banyak barang ke dalam koper, terhitung itu adalah koper yang ke empat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haru memperhatikan ibunya yang tengah mengemas banyak barang ke dalam koper, terhitung itu adalah koper yang ke empat. Livia terlihat fokus pada kegiatannya tak memperhatikan Haru yang diam mematung di ambang pintu kamar wanita itu.

Dengan perasaan was-was Haru bertanya kepada Livia, “I—ibu kenapa kopernya banyak sekali? Kenapa semua baju dan barang-barang milik Ibu dimasukan?”

Livia mendengus mendengar pertanyaan dari anaknya. “Bukan urusanmu,” ucapnya dengan datar. “Dari pada kamu hanya diam seperti patung, cepat kemasi baju milikmu seperlunya saja,” lanjutnya tanpa menoleh.

Dengan perasaan bingung Haru menuruti perintah Livia, anak laki-laki itu segera pergi ke kamarnya lalu memasukan baju-baju miliknya ke dalam tas pemberian dari nenek. Mungkin ibu akan mengajaknya pindah dari rumah ini, meskipun Haru tidak ingin pergi dari rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan manis bersama sang nenek, tetapi ia harus tetap menuruti kemauan ibunya karena hanya Livia lah satu-satunya keluarga yang Haru miliki saat ini.

“Haru, sudah belum? Cepat, saya tidak ingin terlambat!” teriak Livia dari arah depan rumah.

Dengan tergesa Haru memeluk tasnya lalu sedikit berlari menyusul ibunya yang berada di teras rumah. “Sudah, Bu.”

Kini mereka berdua berada di dalam taksi yang akan mengantarkan mereka ke tujuan yang belum Haru ketahui. Dengan pandangan sayu netranya tak henti-henti memandangi rumah milik neneknya yang semakin menjauh dari pandangan, anak itu menutup matanya berdoa di dalam hati, semoga saja suatu hari nanti ia dan ibunya bisa kembali lagi ke rumah dan memulai hidup baru lagi di sana. Ya, semoga saja.

Dering ponsel milik Livia membuyarkan lamunan Haru, anak itu dengan spontan menatap wajah ibunya lalu buru-buru melihat jendela mobil yang menampilkan pemandangan pepohonan hijau.

“Iya, ini lagi di jalan. Udah keluar tol, bentar lagi sampai,” ucap Livia pada si penelepon.

Haru kamu ajak, kan?” terdengar suara dari benda pipih yang ditempelkan ditelinga Livia itu.

Livia melirik sekilas Haru yang masih betah menatap jalanan. “Ya.”

Hati-hati di jalan Livi, jaga Haru baik-baik.” Setelah suara dari si penelepon tak terdengar lagi Livia segera mematikan sambungan teleponnya, lalu wanita itu memejamkan matanya karena perjalan tersisa sekitar setengah jam lagi.

“Ibu, apakah itu bi Hana? Kita mau ke rumah bi Hana?” tanya Haru, anak itu jelas saja mengenali suara si penelepon tadi. Suaranya sedikit mirip dengan milik nenek, dia bi Hana, saudari jauh yang dimiliki Haru dan Livia. Mungkin saja ibunya akan pindah ke kampung halaman bi Hana dan memulai hidup baru di sana.

Setelah hampir dua jam menempuh perjalanan mereka berdua telah tiba di kampung halaman bi Hana, sebuah desa dengan pemandangan hijau yang mendominasi. Udaranya sangat segar. Gunung menjulang tinggi, pepohonan hijau pun tak kalah tinggi, sawah yang mulai menguning turut menjadi pemandangan yang menyambut Haru juga Livia.

Livia membawa Haru ke sebuah rumah sederhana yang berada di ujung jalan, di teras rumah terlihat seorang wanita paruh baya yang sepertinya tengah menunggu kedatangan mereka.

Bi Hana mengembangkan senyum begitu Haru menyalami tangannya. “Haru sudah besar, ya, ganteng lagi.”

Bi Hana adalah anak dari kakaknya Aida. Bi Hana tinggal seorang diri di rumahnya karena ia telah bercerai dengan suaminya, dan dari pernikahannya tidak dikaruniai seorang anak. Bi Hana amat begitu senang saat Livia memberitahu akan pergi kerumahnya membawa Haru.

“Kak, aku tidak bisa lama-lama. Sebentar lagi adalah jadwal keberangkatan ku.” Ucapan Livia sontak membuat Haru bingung, anak itu menatap ibunya dengan tatapan penuh tanya. Akan kemana lagi ia dan ibunya pergi, atau mungkin hanya ibunya saja yang akan pergi.

Livia bergegas pergi dari hadapan Haru dan bi Hana, tanpa mempedulikan apapun lagi terutama Haru. Wanita itu seolah menulikan pendengarannya saat Haru memanggil-manggil namanya dengan panik.

“Ibu, ibu mau kemana? Tunggu Haru ibu, jangan tinggalkan Haru. Ibu!!” Haru berteriak memanggil Livia. Anak itu mencoba mengejar taksi yang membawa Livia tetapi kaki kecilnya tak mampu menyusul ibunya. Anak itu hanya mampu menangis dengan badan yang gemetar, Haru takut, ia seorang diri sekarang. Dugaanya benar ibu akan sama seperti nenek dan Juan yang pergi mininggalkan dirinya.

Bi Hana menatap Haru dengan tatapan iba, wanita itu membawa Haru ke dalam dekapannya. Bi Hana berjongkok mencoba menyamakan tingginya dengan Haru lalu dia mengusap rambut Haru dengan lembut dan mengusap air mata Haru yang terus saja turun walaupun tanpa suara.

“Haru dengarkan Bibi ya, Nak. Kamu sayang ibu, kan?”

Haru mengangguk sebagai jawaban anak itu masih belum mengerti arah pembicaraan bi Hana, yang ada dalam benaknya saat ini hanya tentang ibunya saja.

Bi Hana tersenyum. “Ibu mu akan pergi dulu sebentar dan dia gak mungkin bawa kamu, karena tempatnya amat sangat jauh. Haru mau kan tinggal berdua dulu dengan Bibi? Kita mulai hidup yang baru sembari menunggu ibumu datang.”

Haru hanya diam dengan air mata yang masih terus membasahi pipinya, anak itu tak menolak ataupun mengiyakan ajakan bi Hana karena sejujurnya ia sendiri pun bingung akan kemana ia pergi sekarang disaat ibunya saja membuangnya. Di dalam benaknya saat ini Livia bukan menitipkan dirinya sementara ke bi Hana, tetapi Livia telah membuangnya. Ingin rasanya Haru berteriak marah untuk segala yang telah menimpanya saat ini, tetapi yang bisa ia lakukan hanya diam dan memepersiapkan diri akan segala takdir yang harus ia hadapi nanti.

Rasanya segala pertahanan Haru telah runtuh. Dulu di saat nenek dan Juan pergi Haru masih bisa menahan segalanya kerena ada Livia tempatnya untuk bersandar, walaupun wanita itu sering tak ada di sisinya tetapi Haru masih bisa tenang karena ibunya selalu pulang walaupun sebentar untuk melihat keadaannya Tetapi sekarang semua pertahanan yang telah anak itu bangun dengan susah payah hancur begitu saja begitu Livia meninggalkan dirinya. Bisakah Haru bertahan tanpa ibunya, bisakah ia tetap tenang tanpa melihat wajah cantik ibunya.







Halo, “Satu Hari untuk Haru” datang lagi nih. Siapa yang nungguin cerita ini update? Maaf banget guys aku datangnya telat banget. Semoga kalian suka dengan chapter baru ini. See you bye bye di chapter selanjutnya.
 

Livia jahat banget ya sama Haru;((

Satu Hari Untuk HaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang