"Nak semuanya sudah siap, kan?" Bi Hana menghampiri Haru yang tengah sibuk mengemas barang-barang milik mereka berdua.
"Sudah, Bi."
Bi Hana mengusap kepala keponakannya itu dengan lembut, lalu wanita tengah baya itu tersenyum. Tak terasa dirinya dan Haru telah melewati banyak hal berdua. Setelah Haru memutuskan untuk tinggal dengan bi Hana, kehidupan wanita itu tak seperti sebelumnya yang hanya ditemani kesepian setiap harinya. Bi Hana bersyukur tuhan mengirimkan Haru kedalam kehidupannya, meskipun Haru bukanlah anak kandungnya tetapi ia berjanji akan memberikan Haru kasih sayang layaknya seorang ibu kepada anaknya.
"Ayo kita berangkat, pak Hamim sudah menunggu di depan," ajak bi Hana. Pak Hamim adalah tetangga bi Hana yang berprofesi sebagai supir taksi, beliau menawarkan diri untuk mengantarkan mereka ke stasiun dengan potongan harga.
Waktu telah berlalu kini Haru telah menginjak usia remaja, ia tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan cerdas. Bi Hana memutuskan untuk menetap di kota dan meninggalkan kampung halamannya. Ini semua bi Hana lakukan untuk masa depan Haru, wanita paruh baya itu ingin Haru mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Sesampainya di stasiun, Haru memperhatikan bi Hana yang sibuk mengecek ponselnya. “Bi, sepertinya Haru sekolah ditempat biasa aja. Kayaknya SMA di sana pada bagus-bagus.”
Bi Hana menyimpan ponselnya kedalam tas, lalu menatap manik bening milik keponakannya itu. “Kenapa, Nak? Bibi percaya sama potensi kamu. Haru pasti berhasil dan lulus tes masuk ke sekolah terkenal itu.”
“Haru senang Bibi selalu percaya sama Haru. Tapi Bi, mungkin lebih baik kalau Haru batalkan saja sekolah di sana.”
“Bibi tau apa yang sedang kamu pikirkan. Kamu jangan khawatir, Bibi sudah mempersiapkan semuanya. Masalah biaya pendidikan mu sudah bibi pikiran matang-matang dari jauh-jauh hari. Kamu tidak usah merasa bersalah atau apapun, ini keinginan Bibi. Bibi mu ini ingin melihat anak yang telah dirawatnya tumbuh menjadi orang sukses.”
Haru terenyuh mendengar perkataan bi Hana, dadanya bergemuruh karena tak menyangka akan dipertemukan dengan orang baik seperti bi Hana. Wanita itu rela menjual rumahnya di kampung demi bisa menyekolahkan dirinya ditempat yang lebih baik. Haru mendongak menatap langit, bagaimana kabar ibunya saat ini? Harusnya Livia yang melakukan ini untuk Haru bukan orang lain.
“Ayo, keretanya sudah ada. Setelah ini kita hanya perlu naik angkot untuk sampai ke tempat teman Bibi.”
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam, akhirnya mereka telah sampai ke tempat tujuan. Haru mengekori bi Hana yang memasuki sebuah rumah minimalis bergaya klasik, Haru tebak ini adalah rumah teman bi Hana.
Setelah bi Hana mengetuk pintu tak lama keluar seseorang dari dalam, seorang wanita paruh baya tersenyum hangat begitu melihat bi Hana berada di depan matanya.
“Ya ampun Hana! Ayo masuk,” ajak wanita itu dengan riang.
Bi Hana dan Haru di persilahkan duduk sedangkan wanita itu pergi mengambil air ke dapur.
“Beliau itu teman baik Bibi waktu masih kerja di pabrik dulu. Walaupun Bibi resign duluan tapi komunikasi kita tetap berjalan selama bertahun-tahun,” ujar bi Hana begitu melihat Haru hanya diam saja. Wanita itu yakin ada banyak pertanyaan di benak Haru.
Haru hanya mengangguk mendengar penjelasan dari bibinya. Tak lama temannya bi Hana datang membawa nampan, dia meletakkan tiga gelas teh dan sepiring kudapan.
“Ayo silakan, maaf ya hanya ini yang aku punya,” ujarnya dengan raut wajah merasa bersalah karena hanya menjamu seadanya.
“Tidak apa, Mar, kamu ini selalu saja merasa tidak enak denganku. Aku yang harusnya merasa begitu karena sering merepotkan mu, kedatanganku kemari saja tujuannya bukan semata untuk menjenguk kamu dan keluarga, melainkan untuk hal lain.”
“Tak apa, Han, karena gunanya teman adalah untuk itu. Saling membantu dikala susah dan tak saling melupakan dikala senang, itu kan yang sering kamu ajarkan padaku dan yang lain. Malah aku senang begitu kamu ada sesuatu menghubungi ku, aku merasa selalu dianggap teman oleh mu.”
Haru yang mendengar percakapan sepasang sahabat itu menjadi merindukan seseorang, apakah sekarang temannya itu baik-baik saja? Apakah masalah yang dulu menimpa keluarganya telah selesai? Haru tak tahu sama sekali karena setelah mereka berpisah semua komunikasi juga terputus.
“Oh iya, anak ganteng ini keponakanmu yang diceritakan itu, ya?” tanya Marni, teman bi Hana.
Bi Hana mengusap rambut hitam Haru dan tersenyum bangga lalu berucap, “Iya, bukan sekedar keponakan, tapi anakku.”
Bu Marni tersenyum mendengar perkataan bi Hana, dia jelas tau sahabatnya itu begitu mendambakan memiliki anak. Rasanya amat sangat wajar jika bi Hana menganggap Haru sebagai anaknya sendiri, ditambah cerita yang bi Hana jelaskan tentang asal usul keponakannya itu membuat Mani jadi ingin ikut menyayangi remaja pemiliki mata sebening embun itu.
“Barang-barang kalian cuman segini?” tanya bu Marni sembari menunjuk dua buah tas jinjing besar yang di bawa bi Hana dan Haru, ditambah satu tas gendong yang selalu Haru bawa.
“Ini baru sebagian saja, perabotan yang lain lusa akan di kirim. Aku telah berpesan pada tetanggaku yang tukang antar barang untuk nanti saja barang-barang kami menyusul, soalnya aku mau liat dulu tempat tinggalnya.”
Bu Marni mengangguk mengerti, wanita itu lalu memberikan secarik kertas berisikan alamat dan nomer telpon kepada bi Hana.
“Maaf ya, Han, aku gak bisa antar kamu dan Haru ke tempat tinggal kalian yang baru, cuman bisa kasih alamatnya aja. Oh iya, itu ada nomer pemilik kontrakannya kamu bisa langsung hubungi, beliau adalah teman kerja suamiku.”
Bi Hana menerima secarik kertas itu lalu menyimpannya ke dalam dompet. “Iya, tidak apa-apa, Mar. Ini sudah sangat membantu.”
Setelah berpamitan dengan bu Marni, bi Hana memutuskan untuk segera menghubungi pemilik kontrakan yang akan mereka berdua tempati.
“Haru, pemilik kontrakannya memberikan lokasi lewat WhatsApp, ini bagaimana cara membacanya Bibi tidak tahu. Kalau kata anak sekarang Bibi ini gaptek,” ujar bi Hana begitu mereka sampai di sebuah halte.
Haru tersenyum geli mendengar perkataan bi Hana, lalu remaja itu mengambil alih ponsel bibinya dan mulai membuka aplikasi Maps.
“Ini gak jauh bi, sekitar 15 menit dari sini jika menggunakan kendaraan,” ucap Haru begitu melihat alamat yang tertera di Maps.
Bi Hana mengangguk paham, lalu wanita itu mengedarkan pandangannya dan membolakan netranya begitu melihat sebuah angkot yang akan melaju menghapiri mereka.
“Haru ayo bersiap, itu angkot yang akan mengantarkan kita ketempat tujuan.”
Untungnya di daerah itu tidak terlalu sulit kendaraan, karena selang beberapa menit akan ada angkutan umum yang bergantian menarik penumpang.
Saat ini mereka berdua telah sampai di sebuah rumah minimalis, ditemani si pemilik kontrakan bi Hana dan Haru dipersilahkan untuk melihat-lihat terlebih dahulu isi rumah.
“Rumahnya memang tidak terlalu besar, tapi sepertinya akan cukup untuk tinggal berdua,” ujar pemilik kontrakan sembari membuka pintu.
“Tidak apa, Bu, ini sudah lebih dari cukup untuk tinggal kami.” Bi Hana meletakkan barang bawaannya di ruang tamu, lalu dia mengekori bu Sri, pemilik kontrakan yang akan dia dan Haru tempati.
“Semoga betah tinggal di sini. Kalau ada apa-apa jangan sungkan, langsung saja hubungi saya. Kalau begitu saya pamit,” ucap bu Sri dengan ramah.
“Iya, Bu, terima kasih.”
_______
Hy, semoga gak lupa sama cerita ini, hihihiTapi alangkah baiknya kalau baca dari bab pertama dulu, biar gak plenga-plengo wkwkwk.
Salam manis dari aku💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Hari Untuk Haru
Teen FictionHaru dalam bahasa Jepang memiliki arti musim semi atau musim bunga. Musim semi sangat dinanti-nanti oleh setiap makhluk Tuhan dimuka bumi karena kehadirannya membawahkan nuansa baru bagi kehidupan. Tapi berbeda dengan Haru Artama Kaindra. Dia hanyal...