Bagaimana Rasanya Memiliki Ayah?

286 44 0
                                    

Hari ini Haru dan Juan tengah sibuk dengan buku gambar dan pensil warna di tangan masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini Haru dan Juan tengah sibuk dengan buku gambar dan pensil warna di tangan masing-masing. Tadi di sekolah Olivia memberikan pekerjaan rumah, dia menugaskan setiap siswanya untuk menggambar anggota keluarga masing-masing.

Omong-omong, Juan adalah teman sebangku Haru di sekolah, si siswa yang datang terlambat ke kelas. Kebetulan sekali rumah Juan hanya berjarak beberapa blok dari rumah Haru, jadi mereka berdua memutuskan untuk mengerjakan tugas bersama-sama di taman komplek.

“Juan mau gambar siapa aja?” tanya Haru sembari melirik buku gambar Juan yang masih kosong, sama seperti miliknya.

Juan memiringkan kepalanya lalu anak laki-laki itu tersenyum lebar. “Juan mau gambar bunda, ayah, sama bang Juna,” ucapnya dengan riang.

“Bang Juna itu siapa? Kakak Juan?”

Juan mengangguk menjawab pertanyaan Haru. “Kalau kamu mau gambar siapa aja?”

“Nenek, ibu, sama Haru,” jawab Haru dengan mantap.

Juan mengernyit mendengar jawaban dari teman barunya itu. “Loh, kok kamu gak gambar ayah?”

Haru menggeleng. “Haru gak tau wajah ayah kayak gimana. Soalnya dari dulu belum pernah ketemu,” ujarnya tanpa beban.

“Tapi kata bunda, kita ada itu karena kasih sayang dari seorang ayah dan bunda. Terus kalau Haru gak punya ayah, kok kamu bisa ada  sih?” tanya Juan dengan nada sok dewasa.

Baru saja Haru ingin menjawab pertanyaan dari Juan, Aida datang dengan paper bag di tangannya menghampiri kedua anak yang masih anteng duduk dibawah pohon kersen dengan gambar yang belum rampung.

“Haru ternyata di sini, nenek kira kamu ada di toko.” Atensi wanita itu teralihkan saat melihat anak asing yang bersamaan cucunya. “Eh, siapa ini? Nenek kok baru lihat.”

“Ini Juan, Nek. Teman baru Haru di sekolah.” Haru memperkenalkan teman barunya kepada Aida.

Juan membalas senyuman Aida, lalu anak laki-laki itu mengulurkan tangan kanannya. “Salam kenal, Nek, aku Juan anak paling tampan kata bunda,” ucapnya dengan percaya diri.

Aida menyambut uluran tangan Juan, wanita paruh baya itu tertawa mendengar ucapan yang terlontar dari bibir tipis teman baru cucunya itu. “Salam kenal juga anak tampan.”

Aida mengeluarkan sesuatu dari dalam paper bag yang ia bawa. “Nenek bawa kue coklat untuk kalian. Main yang akur ya, Nenek mau ke toko dulu.”

“Terima kasih, Nek. Hati-hati,” ujar kedua bocah itu serempak.

Selepas kepergian Aida mereka berdua kembali berkutat dengan perkejaan rumah yang belum selesai-selesai.

“Wah, ini kuenya enak banget,” ujar Juan begitu satu gigitan kue buatan Aida mendarat di mulutnya.

Haru mengangguk menyetujui ucapan Juan, lalu berucap, “Kue buatan nenek emang gak ada tandingannya. Enak banget, makanya Haru suka.”

“Juan mau main terus sama Haru ah, biar di kasih kue enak terus sama nenek.”

Haru tersenyum mendengar perkataan Juan, lalu ia menyuapkan kembali sepotong kue coklat buatan Aida yang menjadi favoritnya sejak dulu. “Kamu boleh makan kue buatan nenek Haru tiap hari kok.”

Mata Juan berbinar mendengar ucapan Haru. “Serius?”

“Iya, kan nenek buka toko kue di seberang jalan taman. Juan kalau mau kue tinggal ke sana aja,” ujar Haru dengan polosnya.

“Itu mah harus beli, Juan mau yang gratis biar kenikmatannya berkali-kali lipat.”

“Emang bedanya makanan gratis sama beli apa?” tanya Haru.

Juan merangkul Haru yang duduk di sampingnya dengan tangan masih memegang kue coklat. “Kata bang Juna makanan gratis itu kenikmatannya akan bertambah berkali-kali lipat dari makanan yang di beli pake uang. Kata bang Juna juga makannya akan terasa enak banget karena kita gak perlu susah payah ngeluarin uang.” Ya, salahkan sosok Juna bila Juan dewasa nanti akan menjadi sosok pencinta gratisan.

Haru mengangguk-angguk sok mengerti mendengar ucapan Juan yang panjang lebar itu. “Jadi lebih baik gak ngeluarin uang ya supaya makanannya jadi enak banget?”

Juan mengangguk mantap. “Benar, jadi selagi ada yang bisa didapatkan secara percuma kenapa haru beli.”

“Iya iya Haru ngerti. Eh, tapi Juan, rasanya punya ayah itu gimana sih? Setiap Haru tanya ke ibu gak pernah dijawab, terus kalau tanya ke nenek pasti jawabannya selalu nanti.”

Juan memiringkan kepalanya dengan telunjuk yang berada di keningnya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan dari teman barunya itu. “Em ...  menurut Juan rasanya punya ayah itu seru, semua yang kita inginkan pasti dikabulkan. Kalau Juan dimarahi oleh bunda pasti ayah akan ngajak Juan beli mainan baru, makanya Juan selalu senang kalau bunda marahin Juan pas ada ayah di rumah. Terus apa lagi ya?”

Haru mendengarkan dengan seksama semua yang dikatakan Juan tentang sosok ayah. Haru jadi membayangkan kalau ia nanti bertemu dengan ayahnya pasti ayah juga tidak akan jauh berbeda dengan ayahnya Juan yang sepertinya sangat amat baik kepada Juan. Huh, rasanya Haru ingin cepat-cepat bertemu dengan ayah.

“Oh iya, ayah juga super hero buat Juan, ayah selalu melindungi Juan dan bang Juna. Makanya Juan sayang banget sama ayah,” ujarnya dengan riang.

Haru semakin tidak sabar bertemu dengan ayah nanti, mendengar Juan yang bercerita dengan mata berbinar-binar seperti itu membuat ia ingin cepat-cepat bertemu dengan ayah dan melakukan semua hal yang di ucapkan oleh Juan barusan. Tapi kapan Haru bisa bertemu ayah? Seumur hidupnya ia hanya tahu ibu dan nenek.

“Memang ayah Haru kemana kok belum pernah ketemu?”

“Kata nenek, ayah lagi mengerjakan misi di tempat yang jauh. Gak lama lagi juga akan jemput Haru dan ibu, tapi Haru gak tahu itu kapan. Semoga saja ayah segera datang,” ujarnya dengan nada penuh harapan. Ya, semoga saja ayah akan segera datang menjemputnya dan ibu untuk tinggal bersama.

__________

Selamat bertambah usia untuk bujang Fukuoka, Utoo.

Satu Hari Untuk HaruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang