02

2 1 0
                                    

"Papa…"

"Hay, Papaa…"

"Pa?"

"Papanya Lianaa?"

Yang dipanggil hampir terjungkal dari motor. "Eh? Astaghfirullah, Ya Robbi…"

Liana menatap papanya aneh. "Kenapa sih, Pa? Aneh. Daritadi dipanggil nggak nyaut. Eh malah senyum-senyum sendiri. Untung dibalik helm. Kalo nggak dikira…"

"Dikira apa?"

"Gila!"

"Astaghfirullah, Liana. Ini Papa kamu lho."

"Ya habisnya Papa aneh bener." Liana mencondongkan tubuhnya dekat dengan Papa. Jarinya teracung menunjuk Papa. "Hayoo… mikirin apa? Wajah Tante Hana yaa??"

Sontak, Papa mengusap wajah Liana dan menjauhkannya dari depan wajahnya. "Ngawur! Enggak!"

Melihat reaksi Papa, malah membuatnya ingin menjahilinya lagi. "Heleh… gapapa, Pa. Lagian Tante Hana tetangga baru kita yang dari Korea Selatan itu kan cantik molekk. Mirip ulzzang. Janda lagi, Pa. Pas dengan Papa yang duda."

"Pikiranmu, Li Li." Papa geleng-geleng. Lalu menghidupkan mesin motor sehingga suara berisik terdengar. Liana naik diatas motor dan Papa tancap gas meninggalkan halaman sekolah. Berbaur dengan pengendara motor lainnya.

"Pa, Liana rela kok kalo punya Mama baru. Yang penting Papa bahagia," teriak Liana.

"Nggak! Hati Papa udah ketutup. Udah nggak open house lagi sejak ketemu Mama kamu, Li."

Di atas motor Liana terkekeh. "Haduh haduh… Papa bucin! Tapi aku sukaa."

Iyaa, Liana suka. Kalau tidak dapat Tante Hana, sabi kali ya dapat anaknya yang mirip oppa-oppa.

Setelah berkendara beberapa menit diiringi panas matahari khas pukul 4 sore, keduanya berhenti di sebuah pemakaman.

Sore ini, pemakaman sepi dengan pengunjung. Hanya dua orang yang bertugas merawat makam. Papa menyapanya dengan ramah. Saking seringnya keduanya mengunjungi makam membuatnya akrab dengan beberapa petugas makam.

Liana pun hafal di luar kepala dimana letak makam Mama dan Liani. Terkadang jika kangen dan Papa sedang tidak bisa menemani, Liana datang sendiri dengan ojek online.

"Assalamu'alaikum, Ma, Ni."

Gadis itu jongkok di dekat nisan Mama dan Liani. Ia berada di tengah-tengah. Entah kenapa, sejak dulu ketika berada disini Liana menangis. Dan kenangan indah terputar terus, seperti otomatis.

"Hari ini, Liana udah mulai masuk sekolah SMA. Liana keterima sekolah disana, sekolah impian Ana sama Ani, Ma. Nusa Indah." Ia menjeda sejenak untuk mengusap air matanya. "Liana senengg… banget. Bener., Liana jadi kangen dimasakin masakan khas Mama saat hari pertama masuk sekolah baru."

Huft… membuat Liana teringat dengan sayur asem dan perkedel jagung buatan Mama. Air matanya mengalir. Saat ini, Liana benci pada dirinya. Seharusnya setelah bertahun-tahun ditinggal Mama, Liana harus lebih kuat bukannya lemah kayak gini. Cengeng.

Liana mengambil nafas. Rasanya sesak. "Udah lah, Ma, Ni," ia menoleh ke samping makam Mama. "Waktunya Ana pulang. Ana mau nge-date sama Papa, wleeek…" mungkin ia sekarang sudah mulai gila. Ya, gila karena iri melihat Liani bisa bertemu Mama.

_____

"Gimana tadi di sekolah? Lancar kan? Nggak ada kendala?"

"Alhamdulillah, lancar, Pa. Tadi juga nggak ngerasa capek atau pusing. Mungkin karena tadi masih belum aktif."

How To Be A Normal Teenager Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang