Bab 1 #Malam yang Tenang#

137 14 33
                                    

Jangan terlalu menyendiri dan mandiri. Karena sejatinya manusia adalah makhluk sosial.

__________________________________________

Di sini gadis itu berjalan, di tempat yang sangat jauh dari keramaian. Malam hari yang tenang dengan bulan dan bintang menjadi favoritnya. Jalanan di perumahannya jika malam hari terbilang begitu sepi, bahkan semua orang tak ada yang berani melewati jalanan menakutkan seperti ini, kecuali gadis yang bernama Daisy Mangata.

Daisy, gadis penyuka warna hitam dan keheningan. Daisy tak suka tempat keramaian, bahkan gadis itu selalu membawa tisu atau kapas hanya untuk menutupi lubang telinganya.

Siapa yang mengatakan bahwa orang penyuka keheningan menyukai musik dan hujan? Tidak. Hal itu tidak berlaku bagi semua orang. Daisy benci kedua hal itu yang biasanya menjadi favorit para remaja lainnya. Jika hujan tiba, Daisy langsung berlindung di kolong ranjang kasur sembari menutupi kedua telinganya hingga hujan reda. Entahlah, sebegitu takutnya Daisy dengan hal-hal yang berbau 'ramai'.

Sedikit mendongakkan kepalanya ke atas, dapat ia lihat sebuah bulan purnama dengan titik-titik kecil bercahaya yang bertebaran menghiasi jumantara hitam dunia. Sebuah senyuman terbit di sudut bibirnya dengan perasaan yang begitu melandai tenang tanpa kekacauan yang selalu menghinggapi jiwanya.

Sorot teduh netra cokelat dengan bola mata bulat sempurna begitu pas pada wajah mungilnya. Namun sayang, pemilik netra cokelat indah itu tak pernah sekali pun didekati lawan jenisnya karena Daisy memiliki kepribadian yang aneh.

"Andai dunia tidak berisik, aku akan menjalani hidup ini dengan tenang tanpa adanya kegundahan...." lirih Daisy tanpa mengalihkan tatapannya pada langit malam.

Perlahan tapi pasti kakinya melangkah maju, berniat untuk pulang ke rumah lalu menyelesaikan semua tugasnya hingga selesai. Sepanjang perjalanan, embusan angin menerpa helaian rambut yang ia ikat satu di belakang, menyelinap masuk ke tiap sisi tubuhnya, menghadirkan sensasi menggelitik nan sejuk yang melandai menerpa kulit. Suasana seperti ini yang sangat ia suka, rasanya Daisy ingin terus berada di belahan bumi malam.

Setibanya di rumah, Daisy membuka pintu utama lalu melangkahkan kakinya maju untuk tiba di kamarnya yang terletak di lantai atas. Baru tiga langkah ia berjalan dari jarak pintu utama, Dara---ibunya memasang posisi tepat di hadapannya---membuat langkah Daisy terhenti kala itu juga.

"Kamu dari mana?" tanya Dara lembut dengan tangan yang perlahan meraih ujung jemari Daisy. Namun, saat merasakan sentuhan tangan ibunya, Daisy langsung menarik tangannya dengan cepat lalu menunduk takut.

"Aku ingin ke kamar," balas Daisy singkat tanpa menatap mata Dara sedikit pun.

Detik setelahnya Daisy benar-benar berlalu dari sana---semakin membuat jarak dengan Dara. Dara hanya menghela napas berat dengan pandangan yang masih beratensi pada Daisy---yang tengah meniti satu per satu anak tangga hingga sampai ke atas.

Dara sungguh lelah melihat anak perempuannya yang selalu bersikap takut dan menjauhinya semenjak kejadian besar yang mengakibatkan putrinya itu menjadi takut dengannya.

Sudah beberapa kali Dara membawa Daisy berkonsultasi ke psikiater, tetapi hasilnya tetap nihil. Daisy tetap takut dengan dirinya. Dara begitu rindu terhadap Daisy yang selalu memeluknya erat setiap ingin pergi dari rumah atau pun kembali ke rumah. Namun, hal itu nampaknya tidak akan pernah terjadi lagi di kehidupannya yang sekarang. Dara berharap, Daisy bisa pulih kembali menjadi gadis yang normal.

Di sisi lain, Daisy yang sudah tiba di kamarnya langsung melempar ransel hitamnya begitu saja di atas kasur. Dihampirinya meja belajar dan duduk di sana. Diambilnya sebuah buku dan pen hitam, lalu membuka lembaran kertas pada buku tersebut. Matanya berfokus pada kata per kata yang terpampang di atas lembaran kertas itu---berharap tiap kata masuk dan terekam kekal di dalam otaknya.

Ting

Ting

Lirikan mata Daisy berpindah secepat kilat kala indera pendengarannya menangkap bunyi notifikasi ponsel yang ia letakkan tak jauh dari posisi bukunya berada. Diraihnya ponsel itu lalu melihat apa isi dari ponsel tersebut hingga menarik atensinya melalui bunyi dering.

Terpampang jelas hanya notifikasi dari aplikasi obrolan yang menampilkan pesan-pesan tidak jelas dari grub kelasnya. Hanya obrolan tidak penting menurut Daisy.

"Mengganggu sekali," cibir Daisy muak melihat tingkah para manusia di luaran sana yang sangat berisik. Apakah mereka tidak bisa melakukan hal yang bermanfaat tanpa mengganggu pendengarannya?

Tidak. Daisy salah besar. Di sini kau yang aneh, Daisy!

Karena muak dengan bunyi dering yang tak ada hentinya, Daisy membisukan nada dering itu lalu kembali lanjut belajar. Entahlah, Daisy sendiri pun merasa jika dirinya ini perlu seorang teman yang bisa untuk diajaknya bicara. Daisy sendiri pun lelah dengan keadaannya yang aneh dari manusia lainnya di dunia ini.

Daisy ingin menjadi pribadi yang percaya diri dan berani menghadapi ramainya dunia, akan tetapi kilas balik masa lalu yang berkelebat di kepalanya bak kabut seakan membelenggu rasa percaya dirinya. Daisy begitu takut jika kehidupannya akan seperti ini hingga ia hilang sampai jadi debu.

Beberapa jam sudah terlewati, Daisy memilih untuk segera tidur merehatkan tubuhnya dari penat seharian ini. Ditutupnya kembali buku itu dan dirapihkan seperti semula, kemudian kakinya melangkah menuju jendela kamar yang belum tertutup.

Setibanya di hadapan jendela, Daisy memilih untuk menatap panorama jumantara hitam sejenak guna menyegarkan kembali pikirannya. Daisy menumpu kedua tangannya pada kusen jendela lalu memandangi langit gelap dan pesona dunia malam.

Perhatian Daisy teralihkan oleh dua orang pasangan kekasih yang saling bercanda ria dengan berjalan bersama di jalanan depan rumahnya. Tawa riang melebur ke atas berpadu dengan suasana malam hari membuat kedua kasih itu tenggelam dalam niskala yang tercipta secara sederhana.

Daisy menginginkan hal itu, akan tetapi keraguan kembali datang kala mengingat bagaimana mendiang ayahnya selalu bertengkar dengan ibunya dahulu. Daisy tidak mau seperti ibunya yang menjadi pembunuh sekaligus wanita yang selalu disakiti oleh laki-laki.

Daisy merasa, tipu daya laki-laki begitu besar dan sangat membahayakan bagi kaum perempuan. Daisy bukanlah perempuan berani seperti ibunya. Walaupun ia sekarang ini membenci ibunya, tetapi jauh di dalam lubuk hati Daisy sangat menyayangi ibunya.

Ingin rasanya memeluk dan mengobrol santai bersama Dara untuk sekedar bercerita apa yang telah berhasil ia lalui seharian ini, tetapi kilas balik bayangan tentang kematian ayahnya itu kembali mengusiknya.

"Mau berapa kali kau mabuk seperti ini, Aldo?! Apa kau tidak lihat anak gadis kita sudah mulai menginjak remaja?! Bagaimana nanti pandangannya ketika mendapati ayahnya yang selalu mabuk setiap malam?!"

"Diam kau, Dara! Omong kosong apa yang kau maksud, hah?!"

Prang

Prang

"Jangan bunuh aku, Aldo, sadar!"

"Aish, diam kau--argh!!"

"Aldoo!!"

Suara-suara itu kembali terngiang di telinganya. Daisy menutup kedua telinganya rapat-rapat lalu berjongkok dengan tubuh yang gemetar. Kejadian masa lalu mengerikan itu sangat mengganggunya.

Daisy melihat jelas seluruh peristiwanya, bagaimana Aldo yang berusaha menusuk Dara menggunakan pisau lalu Dara menghindar dan memukul kepala Aldo menggunakan vas bunga hingga terbentur meja kaca yang berakibat Aldo meninggal saat itu juga. Mau bagaimanapun juga Daisy tahu jika Dara tidak bersalah, akan tetapi mengapa ibunya itu membunuh ayahnya?

Daisy tahu jika ayahnya seringkali memukul ia dan Dara. Namun, sang ayah pernah menolong nyawanya yang nyaris meninggal tertiban oleh besi di taman bermain. Hal itu yang membuat Daisy begitu menyayangi Aldo walaupun Aldo tak jarang memberinya luka secara fisik maupun batin.

"Tuhan, bisakah kau memberiku seorang teman?"

Delusi Daisy Donde viven las historias. Descúbrelo ahora