Society #1

18.5K 854 18
                                    

Aku sudah membaca beberapa penelitian tentang beberapa masalah para wanita dewasa madya. Mulai dari ekonomi, penampilan fisik yang mulai berubah, penyakit-penyakit yang biasa terjadi pada dewasa madya, pasangan yang tidak memiliki anak di usia dewasa madya, dan bahkan aku sendiri sudah mempersiapkan diri untuk membaca penelitian tentang pengaruh penerimaan diri dan dukungan sosial terhadap kepercayaan diri wanita dewasa madya yang memutuskan untuk tidak menikah. Well, aku sudah menduga kalau di dalam penelitian itu akan membahas tentang kesepian juga.

"Elleonore, dari tadi kamu main gedget mulu. Makan cemilan, gih." Aku menatap ke arah Mamah. By the way, she's 65 years young. Iya, young. Kami sendiri tidak berani sebut kata old dihadapan Mamah, termasuk papah yang sepertinya sudah tidak peduli dengan grammar. Walaupun diusia 65 tahun Mamah tapi dia masih bisa berdandan nyentrik seperti anak tiga puluhan. 

Tadi sore aku sudah meminta Erick untuk menutup butik dan aku bisa langsung pergi ke rumah Mamah. Dari butik ke rumah mamah di daerah Menteng tidak begitu jauh, jadi biasanya kalau semisalnya hujan pas jam pulang atau mau sekedar istirahat, aku langsung pulang ke rumah mamah dari pada harus pergi ke apartemen yang jaraknya sekitar 1 jam kalau macet.

"Tante Leora!" Aku menatap kearah suara anak kecil yang terdengar dari arah pintu masuk rumah. "Tommy sayang!" Aku memeluk Thomas yang tadi berlari untuk memelukku. Dia keponakanku yang pertama, sekarang dia sudah kelas 5 SD. Perasaan dulu dia masih anak kecil yang tidak bisa diam dan banyak maunya, tapi sekarang Thomas lebih kalem seperti Ibu-nya.

Aku tersenyum sambil menatap Thomas yang sedang memeluk Neneknya. "Daddy kemana?" tanyaku saat Thomas duduk di samping Mamah. "Daddy masih diluar kayaknya." Aku mengangguk. Seperti biasa, setiap Sabtu malam jika ada waktu Hendrik selalu membawa istri dan anaknya untuk menginap di rumah Mamah. Ya, setelah Papah meninggal, Mamah tinggal disini bersama caregiver dan ART, tapi aku dan Hendrik selalu menyempatkan waktu untuk kemari. Ya, walaupun Hendrik nggak bisa sesering aku untuk kesini karena dia sendiri kerja di perusahaan konsultan multinasional, jadi waktunya lebih banyak untuk kerja.

"Hai!" Aku menatap Hendrik yang memakai baju kemeja putih panjang dan celana hitam dan tentu saja sepatu Prada Penny Loafers miliknya. Hendrik memeluk Mamah dengan erat sambil mencium kedua pipi Mamah. "Ouch!" Hendrik meringis saat Mamah mencubit perutnya. "Mamah galak, deh." ucap pria usia 43 tahun itu. "Katanya kamu mau resign, ya?"

"Got meh?* Ouch!" Satu cubitan berhasil Mamah layangkan lagi di perut Hendrik itu. Iya, dia memang semenyebalkan itu. Hendrik menatap aku dengan wajah kesalnya, lalu tersenyum kembali saat tatapannya beralih ke mamah. "Mamah sayang, Hendrik udah cukup kok, mau cari kerjaan yang santai aja." Mamah mengerutkan dahinya. "Kerja apa? Kamu tuh udah dapat kerja dengan jabatan sama perusahaan yang bagus, masih aja alasan yang ini-itu."

"Mah, lihat tuh Leora, dia resign pas udah jadi VP di e-commerce dan ya ... dia kelihatannya fine-fine aja jalanin butik setelah beberapa tahun resign." Mamah menggelengkan kepala dan pergi kearah meja makan. "Kan gue udah bilang resign-nya mending nanti aja. Lagian gue pikir lo masih mampu handle dan keluarga kecil lo nggak merasa keberatan."

"Gue udah dari dulu udah targetin pensiun dini pas umur empat puluhan, gue kayaknya udah mulai bosan sama rutinitas gue. Dan lo lagi, cepuin ke mamah. Ember bocor. Memang nggak salah Bu Winata hire lo masuk geng dia." Aku tertawa mendengarnya. Anyway, Bu Winata adalah salah satu istri konglomerat dari Surabaya, tapi dia sering ke Jakarta buat nemenin suaminya di sini.

"Aduh, bulan depan udah ada yang mau mendekati kepala lima nih." Dengan refleks aku memberi tatapan tajam pada pria satu ini yang kadang bisa dicap magadir a.k.a manusia nggak tahu diri ini. "Lo punya masalah hidup apa, sih, sama gue, Drik?" See? dia itu sama seperti kakao laki-laki pada umumnya. "Butuh satu windu lagi buat kepala lima ya."

Empat PuluhanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang