Berhenti Bekerja

18 3 0
                                    

Kekhawatiranku tak terjadi. Kulihat dengan jelas Bella turun di sebuah rumah di perbatasan antara kota Surabaya dan kota yang kami tinggali. Aku bernapas lega karena Bella benar-benar berkunjung ke rumah temannya. Aku menyesal karena sempat curiga tadi. Sayangnya aku belum habis pikir dengan chattingan dan sikap mereka yang bungkam, tidak bercerita tentang membeli hp semahal itu untuk Bella. Pergi juga cenderung tidak bercerita terus terang, seolah itu sebuah rahasia besar.

'Baik, kita lihat nanti,' batinku kemudian.

Di sore hari, Bella pulang dengan taksi online. Ia berjalan dengan tenang dan menyapaku saat aku sedang menyiram bunga.

"Bunda, masak apa?" tanya Bella dengan manja.

"Masak semur ayam, mau makan? Sono cepet makan, jangan diabisin ya," candaku.

"Emangnya bunda cuma masak sepotong? Ya udah buat bunda aja, aku mau pake ceplok telor aja," ujarnya.

"Ya enggak lah, makanlah sepuasnya kalau bisa ngabisin. Tapi awas, jangan sampai diabisin wadahnya."

Bella terkikik, ia sangat suka semur ayam buatanku. Terutama kalau aku menggoreng dulu ayamnya yang sudah direndam air kecap. Rasanya jadi semakin gurih dan tidak amis dan bahkan semakin nikmat sampai ke tulang-tulang ayamnya kalau direndam lebih lama dengan air kecap dan sedikit garam.

Kulihat dia sudah menyelesaikan makannya dan mencuci piring bekas ia makan. Aku melihat dengan seksama ekspresi wajahnya, tapi tak ada sesuatu pun yang harus dicurigai.

Aku bimbang, haruskah aku bertanya tentang ponsel yang baru dibelinya atau tidak. Akan tetapi aku memutuskan untuk melihat dulu sampai dimana perkembangannya.

"Menurutmu, enakan bunda kerja apa di rumah ya?" tanyaku sembari menggeser secangkur teh yang tadi bekum sempat aku habiskan.

"Ya, enakan bunda di rumah dong. Aku sangat senang kalau bunda sering temani Bella seperti ini. Bunda mau lama ya cutinya?" katanya dengan ceria. Entah mengapa aku merasa Bella jujur dalam hal ini.

"Betulan? Bagaimana kalau Bunda berhenti bekerja dan hanya menjagamu?"

Bella menatapku serius dan keheranan.
"Bunda yang bener sih? Beneran Bunda mau di rumah saja dan nggak kerja lagi? Nanti malah bo'ong," sungutnya tak percaya.

"Asalkan itu yang Bella inginkan, bunda bersedia berhenti kerja," kataku meyakinkan.

Bella tak menjawab. Ada raut curiga karena aku mengabarkan berhenti bekeja secara mendadak. Terlebih lagi ketika kutandaskan asalkan itu adalah keinginannya.

Ya, buat apa aku hidup enak tapi putriku jadi hancur. Aku harus bisa mengontrol sebaik mungkin kehidupanku tanpa penyesalan.

"Kalau Bella sih terserah Bunda, tapi kalau Bunda merasa itu yang terbaik tentu saja Bella senang," ujarnya.

Esok harinya aku bertemu dengan atasanku untuk mengajukan cuti panjang. Atau kalau tidak bisa ya sudah berhenti saja tak mengapa. Aku tak bercerita apa masalahku, yang jelas aku cuma bilang masalah keluarga yang sangat mendesak.

Dengan berat hati akhirnya mereka mengijinkan aku untuk cuti panjang dan tidak mengijinkan aku berhenti.

Aku tak meminta pendapat dari suamiku mengenai berhenti kerja ini, karena bagiku sudah bukan saatnya lagi aku minta pendapat. Ya tentu saja aku harus waspada lagi dengan pria yang menjadi suamiku ini, melihat ia juga tak minta pendapat ketika ada sesuatu dengan Bella.

Bella dengan suka cita menyambutku setelah pulang kantor saat mengetahui Bundanya mengambil cuti panjang.

Malam harinya, Mas Danu pulang dari Malang sekitar pukul satu malam. Aku menyiapkan piyama dan juga teh panas di meja.

"Belum tidur?" tanya Mas Danu.

"Belum, nih baru mau tidur," jawabku santai dan dingin. "Oh ya, bagaimana tanahnya, apa bisa dibeli?"

"Bisa, tapi kemarin baru DP saja. Rencana aku mau minta tolong kamu bayarin sisanya, bisa enggak?"

"Sudah malam Mas, kita bicarakan besok saja ya. Aku ngantuk banget nih," kataku.

"Benar juga. Ya sudah, tidurlah," katanya.

Aku memejamkan mata, tapi sebenarnya aku tidak tidur samasekali. Bayangan pesan di ponsel anakku masih terus menggangguku. Aku masih memantau suamiku, tahu sendiri kan dunia sekarang yang sudah seperti apa. Tidak menjamin bapak tiri bisa menjadi pengayom seorang anak perempuan. Jadi kuusahakan untuk berjaga malam.

Mas Danu sedang berkirim pesan dengan seseorang. Aku sudah bertekad untuk memeriksa ponsel Bella sebelum sholat subuh nanti.

Pagi buta aku sudah mengendap di kamar putriku. Bella tidur dalam keadaan masih memegang ponsel lama. Aku bahkan penasaran ponsel yang baru dibelinya, namun aku bahkan tak mendapatkan jejaknya.

Perlahan sidik jari kupasang di ponselnya dan terbuka. Anehnya tak ada pesan apapun kecuali pesan beberapa hari yang lalu. Setidaknya aku bernapas lega bahwa itu bukan Bella.

*

"Nggak kerja Lin?" tanya suamiku saat melihatku masih dengan pakaian santai. Mas Danu mengambil posisi duduk di samping Bella ketika di meja makan.

"Bunda berhenti kerja, Yah," jawab Bella menyahut.

"Apa? Berhenti kerja? Kenapa?"

"Tak apa. Akhir-akhir ini aku terlalu capek Mas. Lagipula penghasilanmu sudah lumayan besar. Kuputuskan untuk mensyukuri penghasilanmu, Mas," jawabku santai.

"Tapi kau tak meminta pendapatku? Dan aku juga sudah bilang semalam kalau kita masih butuh uang untuk modal pembelian tanah," ujarnya.

"Nggak enak Mas, kita baru saja lunas dan aku juga sudah berhenti sekarang," ujarku sedikit berbohong karena sebenarnya aku cuma cuti. "Jual saja dua atau tiga mobil mewah, bukannya itu cukup?"

"Kita butuh uang cepat, bagaimana mungkin menjual mobil secepat itu?"

"Maaf, aku tidak bisa."

Sebenarnya, aku tak pernah meminjam uang kantor. Uang yang dipakainya untuk modal adalah uang tabunganku. Sehingga  Mas Danu bisa mengangsur dengan disiplin uang tersebut. Akan tetapi sekarang aku merasa sangat berat untuk memberinya pinjaman.

Wajah mas Danu memerah. Sekilas kulihat dia juga menatap tajam ke arah Bella, tapi Bella sangat santai.

Tak ada penjelasan apapun dari sikap mereka sehari-hari. Sangat wajar sebagai anak dan bapak. Tapi aku masih penasaran. Sehingga nanti malam aku harus bisa membobol password di ponsel suamiku.

Malam harinya aku sungguh menunggu saat yang tepat untuk bisa mencuri tahu pasword ponsel suamiku.

Aku pura-pura tidur lebih awal. Hingga ketika sebuah pesan masuk, ia tak sadar menggambar pola di hadapanku. Sedikit lebih rumit memang, tapi aku bisa mengingatnya dengan baik.

Hari ini interaksi antara aku dan Mas Danu sangat tegang karena mas Danu gagal mendapatkan pinjaman, sehingga kami tak banyak bercakap-cakap.

Setelah mas Danu terlelap tentu saja aku mulai beraksi dengan membuka ponselnya. Beberapa kali aku sempat gagal, tapi setelah kesempatan terakhir aku bisa membukanya.

Pesan di ponsel suamiku sangat banyak jumlahnya, sehingga aku harus meneliti satu persatu isinya. Dan akhirnya aku mendapatkan pesan yang mencurigakan.

"Apakah ini obrolan dengan Bella?"

Biarkan Aku MenjandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang