Tidak mungkin. Pesan obrolan ini bukanlah dengan Bella. Aku mulai mencatat nomor tersebut di secarik kertas.
Mas Danu ; Aku belum dapat uangnya, tunda dulu.No Name ; Jangan sampai gagal ya Mas, aku seneng banget rumah itu.
Mas Danu ; Tenang aja, aku lagi usahakan jual mobil.
No Name. ; Iya, deh. Yang penting jangan gagal. Muaach ...
Itu hanya sebagian saja, dan yang selanjutnya lebih mengerikan dari itu karena menjurus pada kegiatan intim. Ya, aku mengerti sekarang bahwa Mas Danu benar-benar selingkuh, justru melebihi Bramasta.
Jadi ini sudah berakhir bagiku, tapi apa hubungannya dengan Bella? Aku masih harus mencari tahu.
Dengan gemetar, aku mengembalikan ponselnya. Aku segera keluar dari kamar tidur dan menuju ruang kerja. Aku sungguh tak mengerti dengan semua yang terjadi.
Akan tetapi yang harus aku lakukan adalah berpikir jernih, ini bukan kali pertama terjadi. Ya, dua kali aku diselingkuhi suami, tetapi ini lebih menyakitkan karena ada indikasi keterlibatan putri kandungku.
Menangis seperti ini memang tak akan menyelesaikan masalah, tapi hatiku merasa ingin melakukannya setidaknya untuk malam ini saja.
Apa yang salah padaku? Apakah aku wanita yang tak cantik? Itu sungguh tidak benar. Aku adalah wanita dengan wajah di atas rata-rata. Kulitku putih bersih terawat, hidungku mancung dan mataku juga indah.
Apakah aku tak bekerja keras? Aku menyiapkan makan, minum tempat tidur yang bersih. Pakaian yang dicuci dan disetrika licin untuk suamiku. Taman yang terawat tanpa seorang pembantu dan bahkan bekerja membantu keuangan rumah tangga. Dan aku juga membesarkan Bella dengan tidak membebani Mas Danu dalam hal kebutuhannya.
Apakah aku wanita yang judes, banyak mengatur suami, tidak hormat? Aku masih mencari-cari banyak sekali kesalahan yang mungkin membuatku bernasib sial.
.
Pagi hari, Bella menyiapkan sarapan untuk kami. Bella membangunkan aku yang berada di ruang kerja.
"Bunda ngapain tidur di sini? Ayo bangun, Bella mau bikin omelet buat Bunda, tapi Bunda belum sholat subuh, 'kan?"
Aku tergagap, melirik jam dinding dan mendapati waktu sudah lewat dari jam lima pagi.
"Ah, benar juga. Bunda belum sholat. Astaghfirullah," gegasku segera mengambil wudhu dan ke tempat sholat.
Bella sudah selesai membuatkan aku omelette. Aroma wangi daun bawang menggugah selera.
"Kenapa tidur di luar Bunda? Kan bunda ga kerja lagi, mang masih mikir kerjaan apa?"
"Ehmm, cuma merapikan saja, Bunda juga harus tetap memantau afiliasi yang bunda kerjakan. Lumayanlah buat penghasilan," kataku.
Aku memang punya usaha sampingan dengan ikut program afiliasi pemasaran market place dari sekala nasional sampai, Asia dan juga internasional. Kemampuan bahasa Inggris memang lumayan membantu untuk mencapai target pemasaran yang lebih luas.
Sebenarnya bisnis ini sudah lama luput dari perhatianku, tapi aku berniat membangun kembali. Ya, ketika menjanda aku menjadi orang yang banyak mencoba bisnis online, belum terlalu kelihatan hasilnya, aku keburu diterima di perusahaan sepatu import dan menjadi staf manager di sana sehingga bisnis online tak kuhiraukan lagi.
Mas Danu ikut nimbrung di meja makan. Tak ada senyuman di wajahnya. Tentu saja, ia pasti pusing memikirkan dari mana mendapatkan uang untuk membeli rumah kemauan wanita selingkuhan itu. Na'udzubillah...
"Buatkan kopi, Lin," pinta Mas Danu.
Aku bangkit menurutinya. Mengambil cangkir kopi dan menyeduh kopi dan sedikit gula dengan air panas.
Dia menyeruput sedikit. "Pahit," katanya. Lalu mengambil sesendok gula pasir, memasukkannya ke dalam cangkir.
Aku hanya menggelengkan kepala. Untuk usia yang sudah kepala empat, konsumsi gula pasir dalam jumlah banyak tentu akan berefek buruk. Tapi aku tak akan komentar, terserah.
Kalau saja masalah Mas Danu tidak ada kaitannya dengan Bella, mungkin aku akan segera meminta cerai atau membongkar kelakuannya. Sayangnya ini masih belum jelas.
"Yah, kalau mobilnya laku, aku mau minta motor matic dan laptop baru ya. Kan untungnya banyak," kata Bella semakin membuat ekspresi Mas Danu menegang.
"Motor matic?" aku ikut nimbrung.
"Iya, Bella butuh untuk les privat loh Bunda. Nggak enak numpang sama Siska terus."
"Hmm, begitu ya. Sebenarnya enak juga kalau ada motor, jadi lebih hemat," ujarku lagi. "Aku juga butuh laptop buat bisnis online, gimana Mas?"
"Belum juga laku, kenapa banyak sekali permintaan? Oh ya, mana sertifikat rumah ini?" tanya mas Danu.
"Loh, 'kan sudah sama Papaku, kau nggak ingat ya waktu beli mobil LC itu, bukannya separuhnya kau pinjam dari papaku di Sumatra sana? Dan yang separuh lagi ada juga uangku di sana. Ya 'kan? Kalau jual mobil itu nanti, jangan lupa bayar utang sama papa ya," jawabku santai.
Wajahnya memerah. Kegelisahan semakin jelas di wajahnya.
Mas Danu segera beranjak dan masuk ke kamar. Aku bisa menebak, dia pasti sedang mencari keberadaan surat berharga di rumah ini, termasuk BPKB mobil-mobil mewah itu.
Sayangnya aku telah mengamankan semuanya.
Mas Danu keluar kamar dengan pongah.
"Mana surat mobilnya?""Aku simpan. Kalau ada pembelinya nanti aku juga mau ikut transaksinya. Aku juga punya andil dalam permodalan, jadi kalau laku aku akan mengambil bagianku," jawabku santai.
Mas Danu melihatku dengan geram, matanya memerah dan tangannya mengepal. Baru kali ini aku melihat begitu marahnya Mas Danu kepadaku.
"Apa-apaan kau ini! Berhenti bekerja tapi malah ikut campur urusanku!" teriaknya. Kukira amarahnya sudah memuncak.
"Kenapa marah-marah, Yah? Bukannya wajar kalau Bunda ikut membantu ayah bekerja? Toh Bunda juga pengalaman kok dalam bisnis," putriku secara tak terduga ikut campur dengan suara yang lantang. Ia terkesan tak menghormati ayahnya.
Dan yang lebih mencengangkan lagi, mas Danu seperti tak berkutik dengan ucapan Bella.
"Ka-Kau..." Hanya itu yang dikatakannya dan menunjuk-nunjuk ke arah Bella.
Mas Danu keluar dari ruang makan dengan amarahnya. Sehingga aku menatap Bella dengan keheranan karena ia segera memasang senyum menyeringai saat menatap Mas Danu pergi.
Setelah Bella duduk kembali dengan tenang, aku ingin menginterogasinya.
"Bella, kenapa tadi Bella ikut campur?"
"Ehmm, maaf Bunda. Bella cuma merasa ayah berlebihan kalau mau menggadaikan sertifikat rumah ini bukan?"
"Bukan begitu maksud Bunda, Bella tadi sungguh ikut campur dengan obrolan ayah dan Bunda. Selama ini Bella tahu itu tidak pantas, 'kan?"
Bella menghela napas, menatapku dengan sorotan yang sulit dimengerti.
"Apa Bunda sangat mencintai Ayah?" tanya Bella tiba-tiba."Apa maksudmu, Bella?"
"Apa Bunda takut bercerai lagi?" katanya lagi. "Apa Bunda percaya dengan ayah?"
"Bella, bunda sungguh tak mengerti," kataku. Aku merasa ada sesuatu yang hendak ia katakan.
"Tentu saja Bunda tak mengerti. Bunda terlalu penurut dan percaya, Bunda terlalu dibutakan," ujarnya sambil menatapku sedih.