Mengawasi

18 3 0
                                    

Apa yang harus kulakukan?
Aku menangis setelah keluar dari kamar putriku. Aku sungguh sangat takut terjadi sesuatu padanya, pada gadis belia yang keluar dari rahimku ini.

Akan tetapi aku tidak boleh gegabah. Aku harus meneliti lebih jauh apa yang tengah terjadi. Jangan sampai putri semata wayangku ini ternoda baik fisik atau nama baiknya. Aku harus bisa mengambil tindakan secara moral dan memerhatikan dampak psikologis pada putriku, aku butuh keadilan.

Memasuki kamar kami, aku mulai menatap sendu pada Mas Danu. Teringat dengan janji manis yang dulu ia ucapkan kepadaku.
"Kita sama-sama pernah menjalani rumah tangga, aku tahu rasanya dikhianati, Lina. Aku akan berusaha menjadi suami yang baik dan mengayomi kalian," katanya kala itu.

"Tapi aku trauma Mas, aku sangat takut dikhianati laki-laki. Lihatlah Bella, ia adalah korban dari pernikahan kami yang tak bahagia," kataku.
"Kita punya latar belakang yang sama,  mungkin saja kita berjodoh dan lebih baik dalam membina rumah tangga."

Sebenarnya waktu itu aku sudah benar-benar malas untuk menikah lagi, mengingat aku dan Bramasta yang berpacaran empat tahun dan berakhir dikhianati. Akan tetapi melihat Mas Danu yang sudah berumur, aku berharap Mas Danu menjadi pengayom yang sesungguhnya untuk aku dan Bella. Tapi bagaimana kalau pesan yang aku lihat seperti itu di ponsel putriku?

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kamar yang mewah. Kami adalah suami istri yang saling kejar-kejaran menumpuk kemewahan? Kamar AC, sofa bed yang baru saja kami beli dua hari yang lalu, dan juga tempat tidur king size dengan harga dua puluh lima juta. Tapi apakah itu membahagiakanku saat ini?

Aku hancur bahkan rasanya dihempaskan ke dalam jurang yang paling dalam.

"Benarkah kau melecehkan putriku, Mas?" lirihku dengan air mata yang berderai. Aku berdoa itu tak akan pernah terjadi, aku meyakinkan diri bahwa aku terlalu berpikir negatif.

Aku sungguh tak mengerti, mengapa putriku terkesan memalak suamiku. Rahasia besar apa yang dihargai dua puluh juta? Bahkan Brasmata ketika Bella meminta uang jajan, ia hanya memberinya uang seratus ribu rupiah, dan Bella merasa sangat bersyukur. Tapi dua puluh juta untuk anak seusia Bella, ini sungguh tak masuk akal.

Aku sungguh mereka ulang bahasa yang diungkapkan kedua insan itu, seolah tak ada saling menghormati. Baik Bella terhadap ayah tirinya ataupun Mas Danu terhadap putri tirinya.

Aku curiga?
Tentu saja. Tentu saja aku takut dengan bayangan yang tidak-tidak. Ini masalah kehormatan!

Sampai larut malam aku berada dalam kegelisahan. Di bawah mataku sudah bengkak karena menangis. Kepalaku berdenyut karena letih dan kurang tidur. Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari.

Kuputuskan untuk berwudhu dan mengerjakan shalat malam, aktivitas yang sudah sangat lama aku tinggalkan. Ya, aktivitas itu rajin kukerjakan ketika aku menjanda dahulu, dan setelah menikah lagi aku jarang melakukannya.

Sekarang aku seperti mendapatkan teguran keras, aku merasa limbung dengan ujian dari Yang Kuasa, itulah sebabnya aku merasa butuh untuk bersandar dan berlindung dari kejelekan takdirku.

Pagi hari, Mas Danu membangunkan aku karena tidur di tempat shalat. Aku sengaja tidur setelah sholat subuh tadi. Melihat mataku bengkak ia mulai menyipitkan matanya.

"Habis nangis, Lin? Tumben sholat sampe nangis begitu," ujarnya.

Kulihat pakaiannya sudah rapi, sepertinya dia mau pergi ke suatu tempat.

"Mau kemana Mas, kok sudah rapi," tanyaku

"Rencana aku mau lihat tanah tegalan di Malang. Jadi mungkin aku menginap dua hari," katanya

"Ooh," aku hanya ber-oh sambil melipat alat sholatku.

"Kamu kenapa? Kok lesu?"

Sebenarnya aku ingin tak ada perubahan sedikitpun dari sikapku supaya dia tak curiga. Tapi ekspresi ini buah dari hati yang terasa hancur.

"Lagi suntuk aja, Mas. Kangen orang tua kali. Kapan ya kita ke Sumatera, aku sudah rindu sama orang tuaku."

"Bagus juga, tapi kalau kau naik pesawat mungkin lebih bisa menghemat waktu," ujarnya.

"Iya juga, ya. Nanti lah kalau Bella libur sekolah, sudah lama Bella nggak ketemu neneknya."

Aku lihat Bella juga sudah bangun pagi-pagi dan sudah rapi juga. Wah, apa ini kebetulan? batinku.

"Mau kemana Bella, kamu sudah rapi begitu?"

"Mau ke rumah temen Bunda, sekalian bareng ayah."

Aku tak bisa berkata-kata, mereka seperti sudah membuat janji.

"Kemana? Ada acara apa? Kok masih pagi banget?" cecarku. "Sama Bunda aja, 'kan bunda libur."

"Nggak usah Lin, aku sekalian berangkat kok. Santai aja di rumah, nikmati cuti," katanya kemudian.

'Baik, aku harus tenang. Aku harus mengatur perasaan dan sikapku dengan baik. Jangan sampai aku salah menilai orang-orang terkasih ini."

Setelah mereka pergi aku meminjam motor temanku. Tentu saja untuk aku membuntuti kemana mereka pergi. Dengan berbalut jaket dan helm full face, aku mulai mencari kemana arah mereka pergi.

Sepertinya mereka menuju pusat pertokoan kota S yang sudah mulai padat kendaraan. Jadi kemungkinan besar mereka menuju toko handphone seperti yang dipesan Bella di chattingnya semalam.

Dugaanku benar, mereka masuk ke sebuah toko besar yang menjual ponsel dan aksesorisnya.
Mas Danu keluar terlebih dahulu, lalu diikuti putriku berjalan di belakangnya.

Dari tingkah laku mereka, tak ada yang mencurigakan sama sekali. Sangat jelas kalau Mas Danu dan Bella bertingkah seperti bapak dan anak.

Setelah mereka pergi, aku mendatangi toko tersebut.

"Mbak, smartphone type xxx dijual di sini ya?" tanyaku.

"Benar Bu, baru saja ada yang beli. Nih, seperti ini," katanya.

Aku membolak-balik kotak pembungkus yang masih tersegel. Tak ada bandrol kecuali kode angka yang aku tak mengerti.

"Berapa harganya kalau model begini Mbak?"

"Delapan belas juta tujuh ratus tiga puluh ribu," katanya.

"Ouh, ini sama dengan yang baru saja beli di sini? Anak pake baju biru itu tadi ya?"

Pramuniaga itu mengernyit, mengingat warna baju Bella.

"Iya benar, tadi ayahnya yang pilih untuk anaknya, ternyata anaknya seneng banget," ujarnya bangga.

"Oh, begitu. Aku juga seneng Mbak. Cuma sekarang belum bawa uangnya. Lain kali kalau jadi beli, aku balik lagi deh."

"Oh, iya Bu. Ndak apa," katanya dengan sopan.

Aku masih harus cepat menyusul kemana mereka pergi. Tak perduli berapa kecepatan yang kutempuh, aku tak perduli. Aku harus mengetahui dengan pasti.

Sekali lagi tak ada yang memotivasiku kecuali aku harus tahu ada apa sebenarnya, aku harus membuktikan dengan mata kepalaku sendiri. Dengan catatan jangan sampai terjadi sesuatu pada anakku.

Tak jauh dari aku memacu sepeda motor bebek yang masih baru, aku melihat mereka menuju jalan ke pintas yang sepi.

Biarkan Aku MenjandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang