Setibanya Akasa dan Bamasya di aula kerajaan, keduanya disambut pemandangan yang tak mengenakkan.
Berpuluh-puluh penjaga berdiri sepanjang tiang memanjang. Akasa mengakui kalau ini tak seperti biasanya. Mereka memasang pose tegak lurus sambil terus memerhatikan Bamasya dan Akasa yang berjalan ke tengah ruangan penuh tiang dan hiasan gantung bercahaya. Dua penjaga menyeret sebuah kursi yang memiliki roda kecil pada keempat kakinya. Kursi tersebut dililit dengan rantai, yang juga melilit seluruh tubuh Sakha yang kedua matanya terpejam.
"Sakha—" Akasa berseru tertahan, Bamasya memegang bahunya dan menggeleng. Ia mengingatkan putranya agar tak berlaku gegabah. Akasa terdiam dan langsung menunduk saat melihat sosok yang sangatlah ia hormati memasuki ruangan. Sosok yang bercahaya dari atas sampai bawah, Raja Kaliangan.
"Yang Mulia, Akasa Bima memenuhi panggilan." Akasa membentuk sebuah jajar genjang dengan kedua tangannya. Empat jari merapat, jempol dibuka. Jempol tangan kanan bertemu dengan telunjuk tangan kiri, begitu juga dengan jempol kiri dan telunjuk kanan. Tangan kanan berada di atas, telapaknya menghadap ke depan. Sedangkan tangan kiri yang ada di bawah, bagian punggung tangannya yang terlihat. Simbolisasi dari jari-jarinya itu diletakkan di depan ulu hati. Kemudian jari-jarinya berpisah dan sekali lagi membuat sebuah bentuk baru. Kedua tangannya bersilangan, membentuk layaknya sayap dengan kedua ibu jari yang saling silaturahmi. Kepalanya masih menunduk. Bamasya juga melakukan hal serupa. Bedanya, sang ayah tidak menundukkan kepala dan memandang lurus ke arah Sakha yang kedua matanya sudah terbuka sempurna.
"Yang Mulia, Bamasya Bima memenuhi panggilan."
Gerakan tersebut adalah etika hormat kepada Raja Kaliangan—ataupun bangsawan dan petinggi lainnya di Kaliangan. Sedangkan jika hanya untuk menyambut dan berkenalan dengan orang baru, sebagai bentuk keramah-tamahan hanya menggunakan gerakan pertama yang membentuk jajar genjang dengan kedua ibu jari dan telunjuk yang rapat dengan jari-jari lainnya.
"Selamat datang, Akasa dan Bamasya. Jadi kalian sudah paham kenapa aku memanggil?" Kedua sosok yang disebutkan mengangguk dengan mantap. Mereka langsung menatap ke arah Sakha yang nampak masih baru tersadar, ia mengerjapkan mata beberapa kali.
"Yang Mulia, saya berani menjamin kalau tersangka benar-benar dari portal terakhir yang menghubungkan bumi dan desa layang. Saya saksi mata kedatangannya yang bukan dari daerah diluar perbatasan. Ia bahkan membawa sebuah koper berisikan barang-barang khas bumi, bersamanya. Dimana barang-barang demikian tidak dimiliki oleh rakyat Kalajana."
Baru saja Bamasya membuka setengah mulutnya, Akasa mengambil kesempatan untuk berbicara duluan. Ia langsung melotot tak percaya ke arah sang anak yang mendongak dan bertatapan langsung dengan Raja Kaliangan.
"Akasa, ksatria pribadi Aluh Ningsih Kaliangan yang bijak dan pemberani, apakah kau yakin akan hipotesa mu ini?" Akasa mengangguk mantap sebagai jawaban.
"Dan juga, saya meyakini ini bukan sekedar hipotesa karena saya melihatnya dengan kedua mata saya sendiri. Aluh Ningsih juga harusnya melihatnya karena hari itu kami bersama-sama menemukannya." Begitu sepasang mata biru muda milik Akasa berjumpa dengan ungu violet milik Ningsih, gadis itu mengalihkan pandangannya. Lagi-lagi membuang muka saat Akasa meminta pertanggungjawaban.
"Oh, ya? Lalu siapa yang mencetuskan ide untuk menyembunyikannya di rumahmu, Bamasya?" Raja Kaliangan mengerling ke arah Bamasya yang langsung menatap sepasang mata berwarna kuning cerah yang bercahaya.
"Akasa membawanya pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Bahkan ia pingsan selama satu hari penuh, bagaimana aku dan Pritha tidak berempati untuk membantu merawatnya?" Sosok dengan mahkota dari bulu malaikat itu pun tersenyum miring.
"Lalu apakah kau akan tetap menyembunyikannya seperti semalam jika ia tidak memiliki marga 'Rindualam' pada nama lengkapnya?"
Bamasya mengangguk pelan, namun ada jeda beberapa saat sebelum ia benar-benar mengangguk mantap. Agaknya ia sedikit meragukan dirinya sendiri.
"Aku akan tetap menyembunyikannya dan memberinya tempat tinggal hingga ia bisa pulang ke tempatnya, lagipula ia tidak terdaftar sebagai warga Kaliangan, aku bisa apa jika tidak dengan menyembunyikannya?"
"Benar juga, Bamasya. Lalu Aluh Ningsih, kenapa kau tidak memberitahukannya segera padaku sepulang dari tugas hari itu?"
"Mohon jawab, Abah nampak sangat lelah karena mengurus berbagai laporan dari beberapa pejabat. Hamba tidak berani mengganggu waktu istirahat Abah." Ningsih menjawab dengan menundukkan kepala penuh hormat.
Perbedaan kentara antara cara Akasa yang menjawab dengan nada penuh keyakinan, Bamasya yang ragu-ragu dan Ningsih yang mementingkan kesopanan di atas segalanya membuat sang raja penguasa Kaliangan itu hendak tertawa terbahak-bahak. Namun pada akhirnya ia hanya bisa terdiam dan menahan gelakkan dalam dirinya.
"Sekarang kepada Sakha, benarkah kau memiliki ayah bernama—"
Baru saja sang Raja Kaliangan berbalik badan, seekor kelelawar datang melesat dari ventilasi udara dan langsung meraih mahkotanya dengan kedua cakar kakinya.
Sang Raja yang awalnya melayang di udara pun terjatuh ke tanah dengan posisi berdiri sempurna. Ningsih langsung menghampiri ayahnya dan mencoba menumpu badan ayahnya agar tidak tumbang. Meskipun masih terlihat muda dan tidak memiliki kerutan, Sang Raja memang sudah kelewat batas kemampuan untuk memimpin Kaliangan. Namun ayahnya itu merasa Ningsih belum cukup berkemampuan untuk menjaga wilayah besar yang sudah ber-abad-abad ia kembangkan. Dari sebuah kerajaan gersang nan tandus menjadi sebuah kerajaan modern dengan kota futuristik yang sebagian besarnya lebih maju ketimbang di Bumi.
"Itu bataru, disini ada penyusup!"
Ningsih melepaskan ayahnya kepada beberapa penjaga dan langsung mengeluarkan sayapnya. Ia terbang dan melesat dengan cepat menyusul kelelawar yang terbang ke atas dengan lambat. Karena mahkota milik Sang Raja Kaliangan memiliki batu putih dengan sinar warna biru bayi yang begitu indah dan berat, si kelelawar sepertinya kesulitan dalam membawanya.
Kelelawar itu melayang ke arah pintu utama. Seluruh mata langsung memandang ke arah yang sama. Kelelawar dengan mata merah menyala itu hinggap di bahu seseorang dengan jubah hitam panjang sesaat setelah menjatuhkan mahkota di atas kepala tuannya itu—yang langsung dipasang dengan sempurna.
Mahkota berwarna putih berkilau itu nampak begitu kontras dengan jubah hitam panjang yang pada lehernya berhiaskan bulu-bulu hitam kasar.
"Pangeran Adi Balan tiba!" Mendadak kelelawar tersebut berubah bentuk menjadi rajawali berwarna hitam pekat dan berbicara lalu terkikik. Sakha yang kesadarannya belum penuh pun langsung tersadar dengan sempurna begitu mendengarnya. Kikikkan itu mengingatkan Sakha akan setan-setan di film yang ditayangkan di televisi.
"Danen—"
"Danendra sudah berakhir, tuan putriku yang cantik."
Sosok berambut hitam dengan sepasang mata berwarna merah menyala itu tersenyum tipis. Ia menarik helaian rambut Ningsih dan mengecupnya sebelum gadis itu menghempaskan tangannya.
"Ah, kasar sekali, wahai mantan tunanganku satu abad yang lalu." Balan terkekeh kecil saat Ningsih melemparinya tatapan tajam.
"Apa maumu!"
"Mauku? Sepupuku yang manis disitu, aku ingin menjamunya di tempatku. Ia datang kemari untuk bertemu ayahnya, bukan?"
Sekarang justru Akasa dan Bamasya yang melotot ke arah Adi Balan. Sakha juga mengerjapkan matanya beberapa kali, lelaki berkulit pucat itu mengungkit akan ayahnya? Apakah yang ia maksud itu ... ayahnya Sakha?
"Wah, kalian jangan menatapku begitu. Aku hanya menjalankan amanah dari ayahnya yang katanya ... begitu merindukan puteranya yang lama tinggal di Bumi ini."
Prangg!
Beberapa gelas kaca mendadak jatuh ke lantai dan membuat keributan kala keheningan. Seluruh pasang mata langsung menatap ke arah Santika, seorang wanita berpakaian pelayan yang rambut hitam kecokelatannya digelung sempurna. Sepasang mata biru mudanya bergetar hebat, lalu ia langsung membersihkan pecahan-pecahan kaca di lantai. Berniat memungut satu per satu.
"Wah, wah, ternyata ada bibi Santika juga disini, bravo! Bibi berinisiatif mengunjungi anak bibi, juga?"
***bersambung
YOU ARE READING
Sakha dan Batu Angkasa
FantasySakha tumbuh dan besar bersama ayahnya di sebuah desa kecil bernama Desa Layang. Ia terpaksa meninggalkan kampung halamannya tersebut untuk melanjutkan pendidikan di ibu kota. Setelah beberapa tahun berlalu, Sakha tiba-tiba hilang kontak dengan ayah...