BAB 21 - Usaha

47 7 1
                                    

"Jadi, ayah masih...."

Buliran air putih mulai merembes menuruni kelopak matanya. Sakha melepas kacamatanya lau menggantungkannya di leher kaos putih yang ia kenakan. Sakha mengelap air matanya yang mulai banjir dengan menarik ujung kerah kemeja linen yang ia kenakan di atas kaosnya. Ia kemudian menengadahkan kepalanya ke atas guna menahan aliran air mata yang seperti tak mau berhenti.

"Sakha, ini seperti keajaiban." Akasa pun mendekat ke arah Sakha dan merangkulnya dari samping. Pritha yang langsung mengambil tempat di sebelah Akasa pun menoyor kepala laki-laki itu dengan pelan.

"Dih, memangnya kau tidak pernah melihat keajaiban di Kaliangan? Bukannya setiap hari selalu ada keajaiban." Setelahnya Pritha memasang sebuah senyuman sambil menengok ke arah Sakha.

"Selamat, setidaknya perjuangan kami membantumu kemari tidak jadi sia-sia." Gadis dengan pakaian serba berwarna putih dari leher ke sepatu itu langsung menyeret Akasa menjauhi Sakha. "Bisakah sekali saja kau lepas dari Sakha, sejak kau berteman dengannya kau selalu menempelinya. Ayo kita mencari kudapan." Keduanya pun menghilang setelah melewati pintu menuju tangga ke arah bawah.

"Wah, ada apa ini? Kalian tidak murung lagi?" Vanesh yang melewati Akasa dan Pritha pun memasuki ruangan.

"Ayahnya Sakha memberikan kami pesan kalau dia masih hidup, syukurnya." Bamasya berujar dengan senyum cerah terpatri di bibirnya.

"Kalau begitu, kita harus bagaimana lagi?" Hanung bertanya pelan, suasana hening seketika.

"Dia tidak meninggalkan apa-apa selain surat dan foto itu?" Darka bertanya sambil mendekati Sakha yang sudah selesai mengelap air matanya. Ia kemudian menunjukkan amplop yang terbuka ke arah Darka. Tidak ada apapun yang tersisa kecuali surat yang sudah dibaca Sakha dan foto yang setengah terbakar.

"Baiklah, berarti habis ini aku dan nona manis itu akan berkencan, keliling Layang, ayo!" Vanesh mengulurkan tangan, Hanung tanpa berpikir panjang pun langsung meraihnya.

"Aku ingin menolak jika bisa, tapi aku sudah berjanji, dan hanya seorang pengecut yang ingkar."

Vanesh pun menarik Hanung dan berusaha menyeret gadis itu bersamanya menuruni tangga, sebelum sebuah tangan menghentikan Hanung.

"Tidak bisakah aku ikut dengan kalian? Berkeliling Layang terdengar menyenangkan-maksudku, kau terdengar seperti pemandu wisata yang menyenangkan, kau orang yang menyenangkan!" Sakha berujar dengan nada memohon.

"Oh, sayang sekali, mungkin lain kali, karena aku hanya ingin berdua dengan pasangan kencanku saat ini!" Vanesh membalikkan badan lalu melepaskan tangan Sakha yang menggenggam sebelah tangan Hanung.

"Maaf, Sakha." Hanung menunduk pelan lalu membiarkan Vanesh menyeretnya keluar dari ruangan.

"Sakha yang malang, Pritha membawa Akasa pergi dan Vanesh berkencan dengan Hanung. Kau disini malah terjebak bersama orangtua seperti kami." Bamasya bersuara sambil memegang bahu Sakha yang masih menatap ke arah pintu.

"Mau bagaimana lagi, aku kesini untuk mencari orangtuaku, bukan kekasih untuk bermain-main kesana-kemari." Mendengarnya, Darka dan Bamasya langsung menatap satu sama lain sebelum tertawa terbahak-bahak.

"Jawaban seseorang yang sangatlah terpojok atas keadaan memanglah menggelitik!" Darka berujar disela tawanya.

"Sakha, kasihannya dirimu." Bamasya berkomentar sambil merangkul Darka dan tertawa bersama seraya menduduki sofa yang ada di depan kamar yang pintunya terbuka lebar—setelah sebelumnya didobrak oleh Hanung.

"Ya tidak apa, aku juga masih harus mengecek kamar ini, untuk mencari petunjuk."

Begitu memasuki kamar ayahnya, Sakha dikejutkan dengan pemandangan tumpukkan kertas di atas kasur yang begitu banyak. Kertas-kertas tersebut Sakha kenali sebagai sebagian dari surat-surat miliknya, yang ternyata sampai ke tangan ayahnya.
Melihatnya, Sakha sekali lagi hendak menitikkan air mata. Sebelum itu, matanya mendapati sebuah meja kerja dan kursi yang ia yakini menjadi tempat ayahnya menulis surat balasan kepadanya. Di atasnya terdapat sebuah kertas yang terlentang menghadap atas. Tulisan di atasnya yang tercoret membuat Sakha meyakini bahwa surat tersebut ditulis dengan tergesa-gesa.

"Aku harus menemui keponakanku, aku harus menemukannya, dia sudah menghancurkan hidupku, menculik istriku yang tak bersalah, membawanya ke Layang saat aku belum bisa kembali, datang ke bumi dan merusak segalanya. Sakha, aku harus pergi, maafkan aku, aku tidak bisa terus menerus di sisimu, tak bisa terus membalas suratmu, datanglah ke desa, pulanglah, aku akan menjemputmu—"

Setelah membacanya, Sakha langsung berlari keluar ruangan dan memberikan surat itu kepada Bamasya dan Darka.

"Apa maksud dari ini, ibuku ada di Layang—tapi ayah bilang saat itu kalau ibuku meninggal setelah melahirkanku?"

Darka dan Bamasya yang mendengar hal itu langsung berdiri dan menatap satu sama lain. Bamasya menggeleng, namun Darka sudah mengambil keputusan dengan berjalan mendekati Sakha dan memegang kedua bahunya.

"Sakha, banyak sekali yang ingin kuberitahukan padamu, tapi aku tidak bisa berkata-kata, jadi...."

Sepasang manik abu-abu yang menatapnya lurus itu tiba-tiba menyala: bercahaya begitu semarak, hingga Sakha kehilangan kesadarannya. Bamasya langsung menangkap tubuh Sakha yang terhuyung tak berdaya dan menatap ke arah Darka.

"Kau yakin soal ini?"

"Sudah sepantasnya ia mendapatkan kembali ingatan masa kecilnya yang dihapus, Manca terlalu protektif akan anak ini yang terus kelelahan mencari-cari."

"Tapi Darka, kau merusak apa yang sudah Manca usahakan."

Darka menatap ke arah Bamasya, lalu mengelus pelan dahi Sakha yang ada di pelukan sahabatnya itu. "Anak ini sudah sampai disini pun, berarti usaha Manca melindunginya sudah sia-sia. Takdir Sakha yang memang harus berakhir di Layang itu tak terhindarkan, Bams. Sesulit apapun Manca berusaha bahkan untuk meminta-minta secara langsung pada Ardhi Semesta."

***

Setelah berjalan-jalan di sekitar taman, Vanesh pun menawari Hanung untuk masuk ke kereta kuda miliknya pribadi yang terpisah dengan kereta berisikan barang dagangan. Begitu keduanya berada di dalam kereta, Vanesh menatap Hanung dengan tatapan yang berbeda. Cara pemuda itu berekspresi pun langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Hanung menaikkan sebelah alisnya sebagai reaksi.

"Jadi, kenapa kau datang ke Layang?"

"Memangnya kenapa?" Hanung bertanya balik.

Vanesh pun memasang pose berpikir. "Untuk menemani dan membantu Sakha, memangnya hanya itu?"

"Kalau memang hanya itu, lalu kenapa?"

"Aku yakin ada maksud lain, kan?"

Hanung kembali menaikkan sebelah alis. "Maksud lain, apa maksudmu?"

"Seperti mengincar kekayaan, anak itu kan pewaris dari penguasa Layang. Datang-datang langsung disambut dengan baik—aku saja memerlukan banyak waktu sebelum menjadi pedagang terbaik disini."

"Oh, sekarang kau curhat?"

Vanesh tersenyum miring. "Aku hanya penasaran, kenapa kalian tiba-tiba datang kemari."

"Menurutku itu bukan urusanmu." Hanung membalas dengan melemparkan senyuman tipis. "Lagipula, aku kemari memang karena mendapatkan misi untuk menemani dan membantu Sakha. Aku orang yang menepati janji, aku juga membalas budi ku dengan mengikuti kemauan dari kakeknya yang sudah merawatku selama ini."

Vanesh mengangguk-angguk pelan setelah mendengarnya.

"Kau memang menarik, gadis yang tepat janji."

"Dan kau memang genta banget, seperti kata Pritha dan Akasa." Ucapan Hanung berhasil membuat Vanesh tertawa.

"Sepertinya banyak yang sudah kau ketahui tentang dunia ini, bahkan untuk istilah-istilah menyenangkan. Bagaimana jika singgah ke tempat favoritku di Layang?" Vanesh menawarkan.

"Sepertinya boleh dicoba, lagipula ini hanya akan terjadi sekali." Hanung menjawab sambil menatap ke arah kaca, keduanya kini sudah berada di dekat perairan sungai yang jernih.

"Tidak akan ada kencan kedua?"

Hanung menggeleng.

"Jika aku harus melakukannya lagi demi Sakha."

"Lagi-lagi untuk Sakha, sepertinya aku harus banyak memohon padanya terlebih dahulu."

"Memang begitu." Hanung memasang senyum miring.

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now