BAB 20 - Potret

51 6 0
                                    

"Lho, kenapa kalian malah bersedih?"

Vanesh heran. Bagaimana bisa semuanya justru bersedih saat pintunya terbuka, bukannya mereka ingin membukanya?

Vanesh memang jenius dalam hal mengotak-atik gadget, termasuk genta paling gaul di kampung halamannya yaitu Gehyangan, namun ia hanyalah seorang pemuda yang berpikiran praktis. Jika ia disuruh untuk melakukan sesuatu, maka ia akan melakukannya sesuai perintah. Layaknya robot yang hanya mengerjakan apa yang diprogram, Vanesh hanya sekedar melakukan apa yang ia tangkap, tidak akan berimprovisasi. Ia dibuat bingung dengan reaksi orang-orang disekitarnya yang membuatnya jadi kecewa. Apa ia melakukan hal yang salah?

Vanesh hanya bisa menebak-nebak, namun semua tebakannya tidak ada yang benar setelah Akasa membuka mulut.

"Pintunya terbuka, mudah direset, berarti ayahnya Sakha...?"

Barulah Vanesh menutup mulutnya sendiri yang sempat menganga lebar.

"Jadi kalian melakukan ini untuk mengetahui nyawa pemiliknya?! Kenapa tidak bilang dari awal—aku kan bisa mengecek data keberadaannya—tapi, memang benar kalau tadi resetnya berjalan sangatlah lancar. Seperti memang tidak ada lagi pengguna di sistem pengunci ini." Vanesh pun menundukkan kepalanya. Meski tidak mengenal siapa ayahnya Sakha, Vanesh tahu bagaimana rasanya kehilangan. Terlebih, mereka harus mengonfirmasinya melalui bakat Vanesh—membuatnya semakin terhanyut dan merasakan apa yang semuanya rasakan.

Keheningan hanya diisi dengan isak perlahan yang terdengar dari Sakha—yang sedang direngkuh dan dielus punggungnya oleh Akasa di sebelahnya yang juga memasang wajah murung. Bahkan wajah murungnya lebih gelap dari biasanya, membuat Pritha juga hampir meneteskan air mata. Belum lagi Bamasya yang menempelkan dahinya ke dinding dengan tangan yang mengepal. Berbeda dengan Darka yang duduk tenang namun menunduk sendu, Hanung di sebelahnya justru terdiam dengan wajah tanpa ekspresi.

Gadis itu tidak bisa ikut bersedih, namun ia hanya merasa kecewa. Sudah jauh-jauh pergi ke Layang, malah mendapatkan kabar buruk begini? Mana masih abu-abu, karena Hanung sama sekali tidak mempercayai kabar yang diperoleh dari gadget pengunci pintu. Hanung juga tidak pernah merasakan kehilangan orangtua kandungnya yang memang tidak pernah ia temui. Karena selama ini gadis itu hidup dengan Hilman dan menjadi cucu angkatnya. Orang-orang di desa juga menyayanginya, ia jadi tidak bisa ikut prihatin dengan keadaan Sakha.

Tanpa mengenyahkan orang-orang disekitarnya yang sedang bersedih, Hanung melangkah maju dan mulai menaiki tangga yang ada di balik pintu hijau yang terbuka setengah.

"Kalian tidak mau ke atas? Pasti ada petunjuk—semisal ayahnya Sakha benar-benar sudah tiada, kalian tidak peduli bagaimana ia tewas dan dimana?" Hanung membalikkan setengah badannya saat ia menginjakkan kakinya di anak tangga terakhir.

Mendengar itu, Sakha langsung mengangkat wajahnya dan membenarkan posisi kacamatanya yang basah. Ia langsung bangkit dari posisi bersimpuhnya dan melepaskan tangan Akasa dari bahunya.

Saat berada di depan Hanung yang sudah menunggunya di atas tangga, Sakha mengeluarkan sebuah senyum tipis, namun matanya masih sedikit berair.

Melihat itu, Hanung tak tahan dan langsung merampas kacamata Sakha. Ia mengelapnya dengan saputangan yang ia sediakan di dalam saku jaketnya. Setelahnya ia juga mengelap mata Sakha dengan sebelah tangan menangkup pipi pemuda itu.

"Sekiranya, jangan mendatangi wilayahnya dengan mata yang menyedihkan, Sakha." Pemuda yang disebut namanya itu mengangguk-angguk. Setelah dirasa cukup, Hanung langsung melepaskan tangannya dari wajah Sakha lalu melemparkan sapu tangannya ke wajah laki-laki itu. Sakha dengan segera menangkap saputangan yang hampir jatuh menyentuh lantai berdebu yang sepertinya sudah lama tak tersentuh. Setelahnya ia tersenyum tipis, mengingat sesuatu yang serupa dengan apa yang pernah ia alami dengan Hanung.

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now