BAB 14 - Kepalsuan

46 10 0
                                    

"Bagaimana kabar kakek?"

Sakha bersuara setelah menutup pintu utama rumah Akasa. Ia berjalan pelan menghampiri Hanung yang sedang menatap jalanan sambil menaruh tangannya di atas pagar teras. Gadis itu menopang tubuhnya yang membusung ke depan. Sepasang manik kecokelatannya langsung memberikan lirikan kecil setelah mendengar suara Sakha.

"Beliau baik-baik saja, syukurnya orangtua satu itu tidak pernah mengalami sakit yang serius selama aku merawatnya. Dan sekarang aku ragu kalau beliau akan baik saja atau tidak karena aku meninggalkannya-tidak, dia yang memaksaku melakukan ini. Argh, kau membuatku merindukannya!" Hanung sedikit berteriak di akhir kalimatnya, membuat kedua netra Sakha mengerjap beberapa kali. Kemudian Sakha sedikit tersenyum, ia memasang senyuman canggung.

"Meski aku baru mengenalnya, aku juga sudah merindukan beliau." Hanung turut tersenyum tipis dan manggut-manggut.

"Meski dia menyebalkan?" Sakha terkekeh mendengarnya.

"Kenapa kau bisa kemari?"

"Kau tahu jawabannya, kakek yang mengirimku. Dia juga memberitahuku untuk memberikanmu sebuah kacamata yang sudah ia siapkan-katanya kau bisa saja ceroboh dan menghilangkannya. Astaga dia seperti sangat mengenalmu padahal kalian baru beberapa waktu ini saling mengenal." Hanung pun merogoh sebuah saku yang ada di jaketnya dan mengeluarkan sebuah kacamata. Sakha langsung menerimanya begitu Hanung menyodorkannya.

Sakha mengelap kacanya yang sudah berdebu dan meninggalkan bekas tangan dengan bagian bersih dari ujung kemeja yang ia kenakan. Lalu ia memutar kacamata tersebut, mengamati setiap sudutnya.

"Ukuranku-meski ini ukuran beberapa waktu yang lalu, tapi ini masih bisa kugunakan. Terima kasih, bagaimana kalian...?" Sakha berseru senang sambil memasang kacamata tersebut, membuatnya bertengger di tulang hidungnya dan berpegangan pada kedua ruang kecil di dekat telinganya. Sepasang netra toska miliknya berkilat bahagia di balik sepasang lensa tebal yang kini melapisi penglihatannya.

"Ukurannya tertera di surat-surat lamamu. Kau juga yang mengaku sering menghilangkan kacamatamu-di surat-surat itu, jadi, aku-maksudku kakek menyuruhku untuk membelikanmu satu dan membekalkannya padaku saat ia menyuruhku untuk mencari jati diriku-disini, bukan di Bumi." Hanung menjelaskan, Sakha pun menyenderkan pantatnya di atas pagar dengan kedua tangan turut bertengger sebagai penopang.

"Jadi, kenapa kau jadi setuju untuk pergi kesini?"

Hanung menatap lurus ke arah mata Sakha yang menyorotkan binar penasaran.

"Kau tahu, Sakha. Ada seseorang yang selama ini selalu aku kagumi, dan kakek bilang aku hanya akan bertemu dengannya jika aku pergi ke Kaliangan. Orang itu yang sudah menghiasi masa kecilku, sebelum tinggal bersama kakek. Dan kakek bilang, kalau aku harus membayar budi karena orangtua dari orang itu juga sudah menyelamatkanku saat aku masih kecil dan hanya mereka yang tahu soal orangtuaku jadi aku-aku juga ingin mencari orangtuaku dan juga mereka."

"Hanung.... Kalau begitu mari mencari bersama! Mungkin saja Paman Bamasya atau ayahku-jika kita menemuinya, kita bisa bertanya informasi dari mereka. Tapi itu jika, jika kau sudi mencarinya bersamaku-maksudku, kau kan dulu bilang tak sudi bertemu denganku tapi kau malah bertemu denganku lagi dan lagi, jadi ...?" Sakha berujar sambil menggaruk tengkuknya dan tersenyum hingga sebagian giginya terlihat. Sungguh sebuah senyum yang canggung dan lugu. Sakha membuang pandangannya setelah melihat Hanung mengangguk pelan.

"Kakek juga menyuruhku untuk mengikutimu, aku tak kenal siapapun disini."

Keduanya saling berpandangan, saling tersenyum untuk sesaat hingga sebuah dehaman membuat keduanya turut membalikkan badan.

"Waktunya makan mal-eh ini masih sore sih, ayo makan, kalian pasti juga lapar."

Akasa pun menghilang di ambang pintu setelah mengulum senyum.

Sakha dan Batu AngkasaWhere stories live. Discover now