"Kak, kayaknya Papa marah gara-gara kita nyuruh Mama untuk nikah lagi," ujar Amilia dengan suara yang terputus-putus karena ngos-ngosan.
Saat ini mereka berdua sudah berada di luar rumah. Mereka lari terbirit-birit hingga lupa memakai alas kaki. Mereka berada tak jauh dari rumah angker. Keduanya sedang mengatur nafas di bawah pohon mangga milik tetangga mereka.
"Nggak tau lah. Kakak pusing banget." Shiva duduk di tanah sambil memijit pelipisnya yang berdenyut. Ia pusing, juga sesak nafas karena syok.
"Kenapa atuh, Neng? Kok duduk di tanah?" tegur seorang ibu tua yang kebetulan lewat di depan mereka. Ibu tersebut walaupun sudah tua tapi masih terlihat cantik, kulitnya masih halus, hanya saja rambutnya sudah putih semua.
"Eh? Nggak papa, Bu," jawab Shiva dan lantas bergegas bangun.
"Kalian dikejar hantu?" tanya ibu tersebut sambil melirik ke arah rumah Shiva dan Amilia. Rumah tersebut hanya berjarak beberapa meter saja dari tempat mereka berdiri saat ini.
"Eh?" Amilia menatap kakaknya bingung. Darimana ibu tua ini tahu? Apakah beliau indigo?
Ibu tua itu tersenyum kecil. "Ayah kalian nggak suka kalian nyuruh-nyuruh ibu kalian untuk menikah lagi. Dia jelous," ujarnya pelan sambil melirik ke arah rumah. Entahlah, Shiva dan Amilia tidak tahu, mungkin ada ayah mereka di depan rumah, sehingga ibu tua itu sering melirik ke sana.
Amilia dan Shiva sama-sama melongo menatap ibu tua tersebut. Fix! Ibu di hadapan mereka ini adalah seorang indigo.
"Sekarang Intan sudah pergi, tapi gantian Joni yang menghuni rumah itu. Hmmm ...."
"Ibu tau sesuatu?" tanya Amilia sambil menggoyang-goyang tangan ibu tersebut. Aneh, tangannya sangat dingin.
Sang ibu hanya mengangguk misterius.
Bruk!
Shiva dan Amilia menoleh ke belakang. Mereka dikagetkan dengan ranting pohon mangga yang jatuh.
Keduanya mengembuskan nafas lega saat mengetahui kalau itu adalah suara ranting, bukan suara hantu.
"Syukurlah bukan hantu," ujar Amilia sambil menoleh lagi ke depan.
Namun ... gadis cilik itu mengerutkan keningnya dalam saat tak melihat sang ibu yang tadi ada di hadapan mereka.
Shiva yang juga menyadari keanehan tersebut, melihat sekeliling dengan janggal. Kalau ibu tua tadi sudah pergi, beliau pergi ke mana? Mengapa bisa perginya secepat kilat? Mereka hanya menoleh ke belakang beberapa detik, lalu ketika mereka melihat ke depan lagi, ibu tadi sudah tidak ada. Atau jangan-jangan ... ibu tadi adalah makhluk halus?
Shiva bergidik ngeri membayangkan itu. Ini tidak keren. Lari dari hantu, lalu bertemu hantu lagi.
"Kak ... kayaknya ibu tadi ...."
"Sstt ... nggak usah dilanjutin, Lia. Kakak tau apa yang ada di pikiran kamu," sahut Shiva dengan segera.
"Kak, kita harus cepat kunci pintu, terus pulang. Aku nggak nyaman lama-lama di sini," gumam Amilia nyaris tanpa suara.
Shiva setuju. Keduanya lantas kembali mendekati rumah untuk mengunci pintu.
Untunglah saat ini suasana sedang sepi, orang-orang masih kerja dan belum pulang ke rumah, sehingga tidak ada yang melihat kepanikan kakak adik itu.
"Kak, atau harusnya kita jual aja rumah ini? Toh kita juga nggak nyaman tinggal di sini," ujar Amilia. Gadis cilik itu mulai berubah pendirian.
Shiva menggeleng tegas. "Enggak, Lia. Apapun yang akan terjadi, Kakak akan tetap pertahankan rumah ini," jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pukul Dua Dini Hari (Selesai)
HorrorPart masih lengkap. Setiap pukul dua dini hari, jam di rumah Shiva berhenti total. Selain itu ... ada juga suara tangis perempuan dan bayi.