"Kok diem aja?" Fabio berbalik sedikit ke belakang.
"Capek ngomong," jawabku sekenanya.
Kejadian semalam membuatku sedikit kepikiran. Saat berpamitan pulang, Fabio hanya mengangguk, tak mengucap sepatah kata pun. Dia terlalu asyik mengobrol bersama Aina sampai tak melihatku sedikitpun.
"Marah?" tanyanya lagi. Selama berada di atas motor, kami saling diam.
Tak kujawab. Malas. Hari ini panas, cukup untuk menambah suhu hatiku yang ikut memanas.
Jalanan macet, klakson saling bersahutan.
"Shan. Lo marah?"
"Ha? Apa? Gue nggak denger," kataku, bohong. Keriuhan jalan raya membenarkan jawabanku.
"Lo marah nggak?" tanyanya sekali lagi.
"Nggak kok."
Dia kembali mengarahkan fokusnya ke jalan raya, tak bertanya lagi. Seperti ini lebih baik, aku malas ditanyai.
Sesampainya di minimarket, aku segera turun. Tak suka berlama-lama di tempat ramai, kuambil dua botol teh di kulkas dan langsung membayarnya.
"Mau?" tanyaku, basa-basi.
Dia mengangguk. "Makasih." Diteguknya segera, "Shan, lo marah semalam?"
Aku yang berdiri di samping motornya berdecak. Malas ditanyai dengan pertanyaan yang sama berulang-ulang. "Emang gue marah soal apa?"
Fabio menaikkan bahunya. "Entah, chat gue nggak lo bales, padahal gue bilang supaya berkabar kalau dah sampe."
"Gue ketiduran, nggak sempet cek hape."
"Ooh."
Hari yang cerah. Langit menampakkan biru sepenuhnya hari ini, bahkan setitik awan pun tak nampak. Terik. Seharusnya aku berlama-lama di dalam minimarket, di parkiran sangatlah panas.
Fabio menawarkan minumannya, dia sadar kegerahanku sejak kuhabiskan minumanku dengan sekali teguk. Aku menggeleng, minuman dingin tak akan membuat tubuhku dingin pula. Percuma.
"Abis dari sini, lo mau kemana?"
"Langsung pulang. Semalam gue nginep di rumahnya Adrian."
Aku terkekeh. "Perasaan gue cuma nanya lo mau kemana, nggak sampai nanya lo darimana."
"Ya udah, sih," dibalasnya dengan tawa juga. "Lo udah makan?"
"Belom. Kan liat sendiri tadi, pas lo nyampe di rumah Nabila aja, gue baru bangun, mana sempet makan."
Fabio memasukkan minumannya ke dalam tas. Menepuk-nepuk sadel motor. "Buruan naik, kita cari makan."
Belum sempat menolak, motornya sudah siap untuk melaju.
Entahlah. Aku tidak terlalu paham. Tadi malam dia cuek, sekarang dia sangat memperhatikanku. Sial.
—
"Siapa yang suka sama gue?"
Aku menatapnya, kemudian menggeleng pelan. "Nggak tau."
Dia melempariku dengan tisu. "Bohong, gue cuma mau tau."
Jengkel, aku balas melemparinya dengan tulang ayam. "Ish, ganggu orang makan aja. Nanti aja gue spill, kapan-kapan."
"Lo kali yang suka sama gue."
Deg.
Aku segera menatapnya. Kami bertemu pandang untuk beberapa saat.
"Nggak mungkinlah, ngapain juga."
"Yah, siapa tau."
Seingatku, aku tak pernah memberinya clue yang sangat jelas, entah bagaimana dia bisa menebak seperti itu, hanya bercanda tetapi tetap saja membuatku jantungan.
"Lo pasti mikirnya Aina, kan?"
Dia tersedak. Mengerutkan dahinya. "Gue nggak pernah mikir kalau dia. Emang kenapa lo mikir gitu?" tanyanya balik. Sekarang dia menghentikan suapannya, dia menatapku lamat-lamat.
"Abisnya kalian deket," jawabku asal.
"Hm." Hembusan napas pelan, dia kembali mengaduk kuah baksonya. "Satu-satunya orang yang deket banget sama gue cuma lo."
Aku terdiam, dia mungkin tidak sadar, sekarang aku sedang hanyut sedalam-dalamnya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya barusan benar-benar membuatku tersipu.
"Cuma gue?" Sedikit gugup, setidaknya mau kupastikan.
Dia mengangguk. "Iya."
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentangmu, Juni dan Luka
Short StoryAku benci kebohongan, tetapi tidak untuk kali ini. Sebab kamu adalah salah satu kemustahilan yang sama sekali tak berani 'tuk kusemogakan. koalahutan, 2022