04: Pertengkaran

41 6 2
                                    

"Makasih, ya."

Fabio memberi jempol. "Aman."

"Hati-hati, berkabar kalau udah nyampe." Kedua sudut bibirku terangkat tanpa sadar. Dia langsung tancap gas, aku menatap punggungnya sampai hilang ditelan malam.

Sudah pukul sepuluh malam. Setelah selesai makan tadi siang, dia mengajakku jalan-jalan, tentu saja aku iyakan. Dia yang banyak bercerita kali ini; menceritakan tentang penyebab dia bisa putus dengan mantannya, menceritakan tentang dirinya saat masih di sekolah dulu dan tentang hobinya.

Pengetahuanku tentangnya bertambah. Itu menyenangkan, mengingat aku yang pertama tahu banyak. Jantungku masih berdebar.

"Shan? Ngapain lama-lama di luar. Masuk sini."

Aku segera menoleh. Ibuku yang mengenakan daster sudah berdiri di depan pintu.

"Dari mana aja? Ditelpon nggak diangkat."

Dengan senyum yang masih belum sirna, aku menjawab santai, "Dari ... surga?"

Jawaban yang membuat dahiku disentil.

"Sakit, Ma."

"Buruan masuk. Papa kamu udah marah-marah dari tadi."

Aku mematung. Menatap mata ibuku, sembab, dia baru saja menangis. Pasti Ayahku habis memaki-makinya lagi. Senyumku pudar, aku begitu bahagia sampai lupa bahwa keadaan di rumah tidak sedang baik-baik saja.

"Papa di dalam?" Suaraku parau.

Ibuku menggeleng. "Dia keluar. Nggak usah khawatir."

Secepat itu bahagiaku usai. Baru saja tertawa, sekarang harus diam termenung lagi.

Katanya, rumah adalah surga, nyatanya salah. Tempat ini terlalu menyeramkan untuk disamakan dengan surga.

Sekitar setengah jam yang lalu ayahku kembali, dia sudah mengetuk keras pintu kamarku, untungnya dihalangi ibu. Sekarang, mereka sedang bertengkar hebat, terdengar sampai di kamarku.

Ayah menjadi lebih sering marah sejak diberhentikan dari pekerjaannya. Minggu pertama, dia hanya tidur-tiduran di rumah sembari mengeluarkan cacian dan tak jarang dia memukulku jika aku berani membantah. Sekarang dia sudah mendapatkan pekerjaan yang baru tetapi kebiasaan buruknya masih terbawa.

Ting... .

Kubuka kunci ponselku. Sebuah pesan masuk dari Fabio. Dia benar-benar berkabar.

Gue udah nyampe.
                        22.41

Mataku fokus menatap langit-langit kamar. Menghela napas berat. Aku hanya membacanya, tak ada niatan untuk membalas. Suasana hatiku sedang buruk saat ini.

Hening. Pertengkaran itu tak terdengar lagi. Ibu pasti sedang terisak sekarang, menangis dalam diam, menahan rasa sakit hati dan raganya.

Aku menutup wajah dengan bantal, tetes demi tetes airmata mulai membasahi kedua sisi pipiku. Tuhan begitu cepat mengambil senyumku, kembali menghadapkanku pada kenyataan. Hidup begitu berat, sangat.

.

Tentangmu, Juni dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang