07: Kesal

21 4 0
                                    

Mendung. Perkiraan cuaca semalam katanya hari ini akan hujan deras. Dari pagi, saat matahari terbit, awan sudah pasang badan menahan sinarnya.

Sesekali rintik, kemudian berhenti lagi. Awan sedang ambil ancang-ancang sebelum memberi kejutan. Langit bergemuruh sedari tadi, membuat beberapa orang malas keluar kamar, betah bermalas-malasan.

Karena cuaca yang tak menentu, sekarang kami hanya berteduh di salah satu warung makan. Kata Fabio, takutnya kita akan ikut berselancar di aspal kalau nekat menerobos angin kencang.

Aku benci hujan, untuk saat ini. Padahal semalam sudah direncanakan, kami akan berkunjung ke pantai. Fabio sudah mengingatkan di chat untuk menundanya, tapi aku bebal. Tak berselang beberapa belas menit, dia sudah tiba di depan rumahku, juga mengobrol sebentar dengan ayahku.

Selama berada di atas motor, dia diam, tak berusaha membuka topik. Mungkin dia sedikit sebal karena aku terlalu keras kepala. Langit semakin gelap, suasana di atas motor ini pun semakin suram.

Aku memberanikan diri untuk membuka suara, "Maaf."

"Untuk?"

"Lo marah, ya?"

"Nggak."

Ah, dia marah. Balasannya sesingkat hari libur.

Langit semakin gelap. Fabio meminggirkan motornya, berhenti di samping warung makan.
Menit demi menit berlalu, langit masih gelap, tapi hujan tak kunjung turun, bahkan rintik sekalipun tak ada.

Fabio mempersilahkanku untuk duduk di kursi satu-satunya yang ada di dekat pintu masuk warung, dia merasa tidak enak jika membiarkanku ikut berdiri bersamanya. Pemilik warung ini menyuruh kami untuk masuk, tak apa jika sekadar berteduh, katanya, tapi Fabio menolak.

"Nggak usah, masa masuk cuma buat neduh."

"Sekalian makan aja," kataku, memberi saran.

Fabio menggeleng tegas. "Nggak usah ngide, tadi katanya udah makan."

Aku diam, tak berani bersuara lagi, takut dia tambah marah. Ini bukan pertamakalinya aku melihat wajah kesal Fabio, tapi ini adalah pertamakalinya wajah kesal itu ditujukan untukku. Sedikit penyesalan telah memaksanya untuk menuruti kemauanku.

Hujan tak kunjung turun, tapi Fabio kekeuh tidak mau melanjutkan perjalanan maupun putar arah untuk pulang, dia tidak mau diguyur hujan saat di perjalanan nanti.

Fabio merogoh sakunya, ponselnya berdering. Wajah kesal itu berubah sumringah.

"Lagi neduh, lo lagi dimana?"

"Ohh, nanti malem gue jemput, ya."

"Iya, bye, Aina."

Aku menggigit bibir, entah kenapa ini terasa menyesakkan. Sangat sesak.

.

Tentangmu, Juni dan LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang