Putri terus mengelus bahuku, mencoba menenangkan. Aku menangis tersedu-sedu, mengingat perlakuan Fabio tadi siang membuatku merasa sangat sedih. Aku salah telah memaksanya, tapi bagaimana perlakuannya padaku tidak bisa kubayangkan sebelumnya, selama ini dia tidak pernah semarah itu.
Fabio benar-benar mengabaikanku, setiap pertanyaanku selalu dijawab ketus olehnya.
Hampir dua jam kami berteduh di warung makan tadi, menunggu hujan reda, nyatanya turun pun tidak. Fabio menaiki motornya, kemudian menatapku.
"Naik, kita balik aja, lagian udah sore."
Tak membalas, aku hanya mengangguk, ikut naik. Selama perjalananpun kami hanya saling diam. Dia dengan kekesalannya, dan aku dengan ketakutanku.
"Gue duluan," katanya saat sampai di depan rumah, dia segera tancap gas. Biasanya setelah sampai di depan rumah, dia bercanda dulu sebelum pamit, hari ini berbeda.
Putri segera datang setelah aku menelponnya sambil menangis tersedu-sedu. Ayahku sempat mendengar tangisanku, mengetuk pelan pintu sembari bertanya.
"Kamu nangis?"
"Nggak, kok."
"Nggak usah nangisin hal yang nggak jelas, pikirin aja kuliahmu, nggak beres-beres."
Mendengar itu, dadaku semakin sesak.
Putri memelukku. "Kamu tuh suka nahan, keluarin aja semuanya, Shan."
Aku menggeleng.
"Lo nggak harus selalu bersikap manis di depan orang-orang, apalagi sama si Fabio bajingan itu."
Aku melepaskan pelukan Putri. "Nggak, gue yang salah, gue maksa dia," kataku, mencoba meluruskan agar tak ada salah paham.
Putri mengernyit. "Kalau lo yang salah, kenapa lo juga yang nangis?" helaan napas kasarnya terdengar jelas, "mau sampai kapan lo belain Fabio? Mau lo salah atau nggak, emang wajar dia bentak lo gitu?"
"Tapi gue—"
"Udah nggak usah banyak alesan. Lanjut nangisnya, gue udah izin sama orangtua gue buat nginep disini. Nangis aja, malam masih panjang, kok."
Benar saja, tangisku semakin menjadi-jadi. Putri yang duduk di sampingku terus mengeleus lenganku, menguatkan, dia yang paling tahu apa yang kurasakan.
Sesekali dia bercanda, sembari terus berkata, "Shana yang gue kenal nggak sekuat itu, jadi nggak usah maksain diri untuk selalu terlihat kuat." Atau "Fabio mungkin lagi nyesel sekarang udah bersikap kayak tadi, jangan terlalu dipikirin, ya."
Aku hanya mengangguk. Tangisku mulai mereda, namun sesaknya masih ada.
"Fabio suka nggak sama gue?"
Putri menggeleng tegas. "Dia itu cuma friendly, lagian kalau dia suka, dia nggak bakalan marahin lo."
"Gue yang salah."
"Bego."
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentangmu, Juni dan Luka
Short StoryAku benci kebohongan, tetapi tidak untuk kali ini. Sebab kamu adalah salah satu kemustahilan yang sama sekali tak berani 'tuk kusemogakan. koalahutan, 2022