Ekor Bernyawa || 1

11 10 19
                                    

Selamat membaca~

——————

Ersya selalu mengikuti Haila kemanapun. Haila yang selalu mengikuti kemauan Ersya apapun itu.

Ersya membutuhkan kepercayaan diri Haila. Haila yang sangat membutuhkan kebaikan dari Ersya.

Keduanya saling membutuhkan satu sama lain.

Bagai langit dan bumi juga, mereka tidak bisa dipisahkan, disatukan, apalagi disandingkan.

Seperti saat ini.

"Ayolah, Ca, kasih gue uang lo. Gue pinjem, nanti gue ganti lagi," paksa seorang gadis pada gadis lain yang ia pojokan. Sementara yang dipojokkan terus berusaha lepas dari cengkeraman, tetapi tak bisa-ia tidak ingin memakai kekerasan juga.

Di belakangnya, gadis lain menatap harap cemas. Harap-harap ada murid yang mau membantu, cemas temannya terluka-hati.

Ingin membantu juga, tidak bisa ... ia sudah terluka.

"Ayo, Ca. Cepet!"

"Gak mau. Aku mohon, lepasin," pinta gadis itu dengan lemah. Sementara gadis yang menahannya tidak goyah, tekadnya melakukan hal memalukan jangan sampai gagal.

"Ca, cepet?!"

Gadis yang sedari tadi hanya memperhatikan tidak tahan, kakinya melangkah maju lalu tangannya menepuk bahu orang yang menahan pergerakan temannya.

"Li, kamu ngapain? Itu, Eca mau ke kantin."

Sang empu menoleh cepat dengan tatapan sinis. Setelah tahu siapa yang berani menahannya-ia terkekeh.

"Heh, Ai, berani banget lo nahan gue. Apa? Lo mau gantiin dia." Gadis bernama Lili itu melirik gadis yang ditahannya.

"Gue yakin, lo gak bakal sanggup. Lo, 'kan, miskin. Ogah juga gue nahan lo, gak guna."

Ia kembali berusaha meminta apa yang dia mau pada gadis yang ditahannya. Hingga waktu berlalu, akhirnya dia mendapatkan apa yang dimau. Setelahnya Lili pergi dengan senandung riang.

Gadis itu-Haila menghela napas. Tatapannya mengikuti Lili yang berjalan riang sambil melambai-lambaikan uang berwarna oranye hasil memaksanya dari sang sahabat ... dan untuk kata-kata pedas tadi-tidak apa, itu sudah menjadi makanan sehari-harinya. Namun, yang lebih memprihatinkan ....

Ia melirik gadis yang tengah tersenyum padanya.

... nasib sahabatnya yang selalu teman dan kakak kelasnya manfaatkan.

Sekali lagi helaan napas kasar terbuang. Lengannya dengan sigap menggandeng tangan gadis itu.

"Ayo, kita ke kantin. Kamu belum makan dari pagi, 'kan?" ucapannya riang yang disetujui lawan bicaranya.

Selama diperjalanan, Haila tidak pernah melepaskan barang sekejap gandengan tangannya dengan Ersya-sahabatnya. Sesekali mata itu dengan jeli menatap sekitar, takut-takut ada kakak kelas atau temannya yang tiba-tiba datang menghadang lalu kembali memalak mereka. Ah, bukan mereka, hanya Ersya.

Sementara gadis yang sedang dikhawatirkan terkekeh dengan tingkah gadis di sampingnya itu.

"Udah, Ai, kamu jangan liat orang kayak gitu. Mereka bisa takut loh, sama aku."

Haila langsung mendelik. "Bagus dong, kalo mereka takut."

Ersya tersenyum kecil. Sangat beruntung ia mendapat sahabat seperti Haila.

"Udah, gak papa. Yang tadi gak usah dipikirin."

Haila menunduk lesu masih dengan gandengan eratnya. "Pasti Lili gak bakal balikin lagi uangnya."

"Gak papa. Cuman lima ribu kok."

"Iya, lima ribu itu kecil buat kamu. Tapi gak buat aku." Kalimat itu hanya sampai di tenggorokannya, tidak berani berkata langsung.

Huh ... bagaimana bisa sahabatnya itu masih tersenyum menyapa orang-orang setelah kejadian tadi.

Memang, ya, perbedaan antara mereka itu sangat jelas terlihat. Bagaimana ia masih tidak terima ketika Lili mengatainya, tetapi Ersya-saat uangnya diambil masih bisa tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa.

Menyebalkan.

Sesampainya di kantin, mereka langsung menghampiri stand makanan berat.

Sekedar info, di kantin ini hanya memperbolehkan dua jenis makanan dijual dan hanya ada dua juga pedagang yang diperbolehkan berjualan.

Pertama, makanan berat yang dijual pak Dudung, dan kedua makanan ringan dijual oleh keluarga Bondan. Keduanya-tidak semudah itu untuk berjualan disini. Mereka harus bisa melewati seleksi kehigenisan makanan, tempat, dan tentunya mereka juga memiliki hubungan dengan guru di sekolah ini.

"Ai, mau jajan apa?" tanya Ersya sambil melihat-lihat di depan stand makanan berat, membuat Haila meringis.

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang mustahil ia hindari ketika jam istirahat tiba. Sulit mencari alasan yang pasti karena alasan apapun itu, Ersya tidak akan membiarkannya hanya melihatnya makan.

"Aku udah kenyang, Ca, jadi aku cuma mau beli minuman sama donat jualan aku. Hhe."

Ersya langsung berujar, "Iya udah, aku beli itu juga." Yang langsung dibantah mentah-mentah oleh Haila.

"Kamu, 'kan, belum makan dari pagi. Beli aja bakso."

Gadis itu menggeleng cepat. "Gak ah, aku juga mau makan donat buatan kamu."

Tanpa menghiraukan Haila, Ersya beralih ke stand makanan ringan. Memesan air putih botol lalu mengambil beberapa donat buatan Haila yang dititipkan di stand keluarga Bondan, dan beberapa makanan ringan lain yang menggantung di atas tali.

Haila yang melihat itu merasa sedikit bersalah. Seharusnya Ersya memesan makanan berat karena gadis itu belum makan apa-apa dari pagi. Bukan tidak makan, hanya saja Ersya tidak suka makan makanan berat di pagi hari. Mungkin lain kali ia tidak akan mengajak gadis itu ke kantin.

"Ai, ayo kita makan," ajak Ersya tetapi sebelum melangkah lagi ia kembali menoleh.

"Kita makan di kelas aku, yuk."

***

Bel masuk pelajaran ketiga sudah berbunyi. Guru-guru juga sudah memasuki kelas yang akan mereka bimbing di jam terakhir ini.

Begitupun di kelas X MIPA 2 B-kelas Haila sedang berlangsung pelajaran Sejarah Indonesia. Pelajaran yang dihindari beberapa murid. Bukan karena pelajarannya yang sulit, tetapi gurunya yang kelewat tegas.

"Perubahan adalah peristiwa atau kejadian yang membuat perbedaan ...."

"Ai? Aila?"

Merasa terpanggil, Haila menoleh ke samping.

"Apa?" tanyanya sambil berbisik pada gadis yang memanggilnya.

Gadis itupun sedikit mendekat sembari menyerahkan sebuah kertas yang dilipat.

'Pulpen gue abis. Tolong beliin isinya dua dong. Ini uangnya, sisanya buat lo.'

_______

Ada yang punya teman kayak Haila? Ersya?

HAILA: Ekor BernyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang