Ekor Bernyawa || 4

8 6 8
                                    

Haila menerima satu persatu uang dan titipan makanan dari teman-temannya. Saat hendak keluar kelas, ternyata kerumunan yang ada di sebelah Andini juga memanggilnya dan ikut menitipkan makanan.

Menurut Haila otaknya memiliki kapasitas yang sangat tinggi, yang tidak akan pernah penuh dengan mudah. Dengan begitu ia begitu cepat menghafal 11 pesanan makanan teman-temannya. Itu salah satu bukti yang nyata.

Gadis itu tersenyum kecil dengan pikirannya yang random. Ada-ada saja.

Setelah sadar waktu tengah mengejar, ia pun langsung melesat pergi ke kantin.

Sesampainya di sana–seperti yang ia duga, tempat ini begitu penuh dengan murid-murid yang rela berdesakan demi makanan. Inilah sebabnya teman-teman malas pergi ke kantin, dan disinilah jasa Haila digunakan.

Gadis dengan tubuh tidak terlalu kecil dan tinggi itupun menyelinap perlahan-lahan sampai ia di depan orang-orang yang seperti kanibal dimatanya. Dia bergidik sendiri membayangkan jika mereka memang makhluk pemakan daging manusia.

Setelah mengambil makanan ringan di depan stand Keluarga Bondan, Haila langsung menaruh uangnya di dekat kaleng–tempat bu Bondan menyimpan semua uangnya.

Ia langsung keluar dari kerumunan dan berpindah ke stand pak Dudung. Tanpa memesan seperti murid lainnya–ia terlebih dahulu meminta izin untuk membungkus sendiri makanannya.

Setelah selesai, ia kembali melesat ke kelas dengan napas memburu. Ada empat kresek hitam kecil ditangannya dan semua itu adalah pesanan teman kelasnya.

Murid-murid di sepanjang koridor menatapnya heran dan bertanya-tanya, termasuk seorang murid laki-laki yang mematung setelah dilewati Haila begitu saja.

Ada rasa sesak saat melihat gadis itu memasuki kelas dengan berlari.

Haila langsung membagikan makanan sembari bertanya kembali, berapa uang yang mereka berikan dan apakah ada kesalahan atau kekurangan dari pesanannya.

Namun, mereka serempak menggeleng, entah memang sudah sepakat untuk tidak protes, atau memang tidak ada kesalahan, dia tidak tahu. Seperti ada magnet pula mereka menghampirinya sambil memberikan uang recehan. Bayaran untuk kesusah-payahnya ia berlari.

Sebelum pergi ke kelas Ersya, gadis itu duduk di kursinya, menghitung uang yang didapat dengan telaten.

Jumlahnya 15 ribu rupiah, padahal teman yang ia layani hanya berjumlah sebelas orang.

Ia menoleh kebelakang dan tanpa suara ia berucap.

"Makasih."

Selanjutnya dia pergi menuju kelas Ersya.

***

Haila menjatuhkan dirinya di sebelah Ersya, kedua lengannya dijadikan tumpuan kepala di atas meja. Napasnya juga memburu karena lelah baru terasa.

Gadis disebelahnya menoleh, mematikan ponsel lalu menyimpannya.

"Capek, Ai?"

Haila mengangguk.

"Lo beneran masih pake jasa titip makanan?"

Haila kembali mengangguk.

Ersya menyandarkan punggungnya pada kursi dengan helaan napas berat.

"Kan gue udah bilang, kalo butuh uang lo bisa minta atau pinjem sama gue."

Tangan Haila tanpa sadar terkepal. Kalimat itu, kalimat memalukan jika harus mendengarnya lagi ... di hari keempat sekolah SMA-nya ini.

"Gak perlu, Ca. Gue masih punya tenaga, kalo gue butuh banget, gue pasti bilang."

Ersya mengangguk mengerti. Tangannya kembali bergulir dilayar handphone.

Haila terdiam sesaat, kala suara Ersya tak terdengar kembali. Ia menghela napas sebelum mendongakkan kepala.

"Ca, jajan, yuk!"

Ersya menoleh lalu meringis kecil. "Gue nitip aja, ya?"

Tubuhnya berdiri, tersenyum lebar sambil mengangguk cepat. Tangannya menerima uang yang diulurkan sang sahabat, sebelum merekomendasikan makanan yang dibeli.

"Lo beli makanan berat aja, ya, Ca."

Ersya mengangguk.

***

Sistem belajar di SMA Gaesang sudah diperbaharui setelah setahun lalu pandemi menutup seluruh akses pembelajaran.

September adalah hari pertama masuk setelah luring ataupun daring. Meski begitu, sistem pembelajaran tidak sebebas seharusnya.

Pertama, setelah guru membagikan murid-murid kelas sesuai bidang, IPA dan IPS. Mereka akan membagikan waktu sekolah mereka.

Kedua, waktu pembelajaran pun harus dikurangi. Jika biasanya sekolah SMA belajar dengan waktu 8 jam, maka sekarang tidak–mereka akan menjalani waktu belajar selama 3 jam 30 menit, itupun waktu 30 menit adalah waktu istirahat.

Seperti minggu kemarin adalah minggu pertama sekolah–IPA yang pertamakali memulai, itupun satu kelas harus dibagi kembali menjadi dua kelas, A dan B.

Contohnya Haila, dia seharusnya berada di kelas X MIPA 2 yang sama, tetapi karena satu kelas harus dibagi kembali–ia berada di kelas X MIPA 2 B. Seharusnya juga minggu sekarang dia kembali bersekolah, tetapi karena sistem itu dia harus kembali belajar daring karena minggu hari ini adalah bagian bidangnya IPS memulai pembelajaran.

"Totalnya lima ribu, Bu."

"Nih."

Haila menerima uang pemberian pelanggannya, sebelum berdiri dan berterimakasih sambil kembali berjalan di gang dengan membawa dua kotak makanan.

Satu kotak jinjing berisi kupat tahu, satu kotak lagi ia peluk dengan isinya makanan manis.

"Aila, beli!"

Pagi ini, karena pembelajaran daring–Haila seperti biasanya akan berjualan di sekitaran gang. Menghampiri setiap rumah dan menawarkan jualannya di pagi buta. Sementara Asiyah akan membantu ibu mencuci pakaian tetangga atau pekerjaan lainnya yang sedang dibutuhkan.

"Makasih, Bu."

Gadis itu berdiri dengan tatapan mengarah ke depan. Sudah siang juga ia sudah diujung gang, dia harus pulang.

Menghela napas berat sambil menghitung sisa jualannya. Tinggal sedikit. Apakah dia harus pulang, melanjutkan atau menitipkan makanannya ke grosir? Hmm ... pilihan yang selalu ia pertanyaan di keadaan seperti ini.

"Eum, permisi?"

Haila terkejut–saat mendongak ia mendapati seorang murid SMA laki-laki dengan suara berat, topi, masker dan kacamata hitam yang diturunkan berdiri dihadapannya.

Pasti dari IPS.

"Ya?"

"Saya boleh beli?"

"O-oh? Iya."

Gadis itu kembali menurunkan kedua kotaknya, mengambil kantong kresek hitam kecil dan penjepit makanan.

"Beli apa, Kak?"

Jika dilihat dari tinggi badan murid lelaki itu, pasti kakak kelas.

"Bungkus semuanya."

Haila melongo dengan tangan memasukkan semua sisa makanan ke dalam kantong kresek. Lalu diserahkannya pada lelaki itu.

"Total?"

"Dua puluh tiga ribu, Kak."

Lelaki itu pun menyerahkan selembar uang berwarna hijau dan oranye.

Kala sedang mencari kembalian, Haila bertanya, "Makanan sebanyak itu buat apa, Kak?"

"Buat dimakan."

Gadis itu menelan ludah. Benar juga, mengapa ia bertanya.

"Nih, Kak, kembalian–KAK?!"

Dia memekik kala pelanggannya itu sudah pergi berlalu, dengan tangan yang mengambang di udara dan memegang selembar uang berwarna abu–Haila kembali dibuat melongo.

"Ambil aja kembaliannya!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HAILA: Ekor BernyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang