Ekor Bernyawa || 2

6 6 3
                                    

Haila melirik pada guru yang sedang menjelaskan di depan, menoleh ke samping dan mendapati temannya itu sedang meringis meminta bantuan. Kembali ia menatap secarik kertas itu dan uang bernominal lima ribu.

Hum ... karena isi pulpen itu seribu satu, maka kalau dua akan jadi dua ribu, dan sisa dari uang itu adalah tiga ribu. Lumayan.

"Pak, maaf memotong."

Guru Sejarah Indonesia itu langsung menghentikan penjelasannya, menoleh pada Haila dengan dahi mengkerut.

"Ada apa?"

"Saya izin ke koperasi, pulpen saya abis."

Guru itu berdecak, menghampiri mejanya lalu duduk di kursi.

"Saya kasih lima menit, kalo lebih kamu saya hukum."

Haila langsung melesat pergi dengan berlari ke kantor guru yang juga menjadi tempat koperasi. Tempat murid dan guru membeli peralatan tulis menulis, pakaian dan barang lain yang dibutuhkan di sekolah.

Waktu berlangsung cepat, ia terus berlari sekuat tenaga untuk sampai di sana dan kembali menunggu guru yang bertugas melayani.

Sesampainya di kelas, ia langsung duduk sambil diam-diam memberikan kedua isi pulpen itu pada teman di sampingnya. Setelah napas memburunya mereda, dia dengan cepat mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

Itu adalah uang sisa tadi dan inilah salah satu cara Haila mencari uang ditengah ekonominya yang semakin menurun karena pandemi.

***

Terik matahari bersinar terang ke seluruh bumi siang ini. Menerangi makhluk hidup beraktivitas dari pagi sampai sore, lalu tenggelam di ufuk barat, digantikan bulan-waktu mereka istirahat, tetapi tidak semua makhluk hidup seperti itu. Ada saja yang berkebalikan.

Namun, bukan itu inti dari cerita ini, tetapi Haila yang sekarang berharap bahwa setiap hari adalah malam agar ia bisa beristirahat. Tenang, tentram, damai, itulah yang dia sukai.

Tangannya mengusap peluh di dahi, menengadah dengan mata menyipit karena panas.

"Hah ... capek banget."

Gadis itu melangkah memasuki grosir makanan, tubuhnya ia istirahatkan di atas bangku yang telah disiapkan.

Jarak dari sekolah dan rumah memang tidak terlalu jauh, tetapi karena terik matahari yang tak biasa ini membuatnya kelelahan.

"Eh, Aila, udah pulang. Capek, ya?" Seorang wanita paruh baya datang menghampiri yang disambut dengan ciuman dipunggung tangannya oleh Haila.

"Lumayan, Bu."

Wanita itu-pemilik grosir tersenyum seperti biasa yang ia tunjukkan. "Mau jajan dulu atuh?"

Gadis itu menggeleng. "Gak ah, Bu. Mau langsung ngambil uang hasil nitip gorengan terus belanja bahan dagangan."

Ibu itu mengangguk, berjalan masuk ke grosir. Tidak lama kemudian ia kembali lagi sambil membawa uang lalu diserahkannya pada Haila.

"Nih, hari ini juga gorengannya abis."

Haila berdiri untuk menerima dua lembar uang berwarna ungu itu. Matanya seketika berbinar lalu diganti dengan raut kebingungan.

Ibu pemilik grosir yang menyadari kebingungannya malah memperhatikan kotak yang dibawa gadis itu.

"Wah, donat kamu juga abis? Biasanya, 'kan, suka sisa-terus dititip disini."

Haila tersadar. Dengan sedikit senyum ia mengangguk lalu memberikan pertanyaan yang ia ajukan juga saat pulang sekolah tadi pada bu Bondan.

"Kira-kira ... kenapa, ya, Bu? Akhir-akhir ini makanan yang saya dan mama titipin selalu abis."

"Hmm ... sebenarnya sih ...." Ibu itu mendekatkan diri sembari berbisik.

"Bukan cuma enak. Ada cowok tampan yang tiap hari borong gorengan mama kamu. Pake baju sma, kayaknya dari sekolah kamu juga."

Haila ber-oh ria. Jawaban yang hampir sama diberikan bu Bondan, hanya saja kalimatnya berbeda.

"Tiap hari ada murid cowok yang borong donat kamu."

"Siapa?"

"Rahasia. Dia bilang, dia gak mau kamu tau dia siapa."

***

"Assalamualaikum, Ai pulang."

"Wa'alaikumsalam. Udah pulang lo, Kak. Bantuin gue susun keripik pisang tuh. Keburu bang Gaga jemput."

Seorang gadis berseragam putih biru keluar dari kamar, menyuruh Haila meski tahu gadis itu baru saja datang.

"Adek laknat. Orang baru pulang langsung disuruh aja," gumamnya kesal yang dibalas tawa tak bersalah dari sang adik-Asiyah.

Namun, meski kesal dan lelah-Haila tetap membantu memasukkan keripik kedalam plastik besar.

Tunggu, plastik besar?

"Oy, Dek?"

"Apa?"

"Lo beneran mau bawa keripik pisang sebanyak ini?"

"Iya."

"Emang bakal abis?"

Asiyah keluar dari kamar hanya diambang pintu sambil memasang dasi di kerah leher.

"Abis lah. Akhir-akhir ini suka ada yang borong keripik gue."

Haila terdiam. Ternyata bukan hanya gorengan buatan mama dan donat buatannya saja yang habis, ternyata keripik yang Asiyah buat juga selalu habis.

Sebenarnya siapa yang dengan baik hati memborong semua jualan mereka.

"Dek, lo tau gak siapa yang suka borong makanan kita?" tanyanya setelah memasukkan keripik ke dalam kantong kresek-ia datang dengan itu menghampiri Asiyah yang sedang memakai sepatu di teras.

"Kagak, gue selalu titipin aja di kantin. Kata bu Kantin sih, yang borong murid sma." Gadis SMP itu berdiri saat seorang remaja lelaki menghampiri mereka.

"Duh, Ia, udah gue bilang. Lo gak usah jualan keripik, biar gue aja yang kerja." Lelaki itu menoleh pada Haila.

"Lo juga, Let, bukannya cegah malah bantuin."

Haila berdecak, menyerahkan paksa kantong kresek ditangannya pada lelaki itu.

"Malah marahin gue, dia tuh yang keras kepala," serunya sambil memasuki rumah karena pakaian sekolahnya sudah tak enak di pakai.

Asiyah malah tersenyum sampai giginya terlihat saat Raga-abangnya menatap tajam.

"Ayo ah, Bang, keburu telat," ujarnya berlari menghampiri sepeda motor yang terparkir di halaman rumah.

Raga menggeleng pelan. Memilih mengalah.

____

Makasih buat yang udah baca😘

HAILA: Ekor BernyawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang