Dua burung hitam terbang bebas di atas awan, melewati kawan-kawannya, pepohonan tinggi dan kota yang luas. Seakan tidak ada beban, mereka berputar, berkicau, menyapa dan bercengkrama. Bahkan mereka terlihat memperebutkan sesuatu. Sungguh menenangkan ketika pagi hari disuguhkan pemandangan seperti itu, pikir Haila.
Andai ia adalah seekor burung, pasti dia tidak perlu memikirkan jalan hidupnya yang buruk(?) Ah, untuk apa berpikir seperti itu. Tidak baik.
Sepeda motor yang gadis itu tumpangi berhenti di depan gerbang sekolah. Haila turun sambil membawa kotak jinjing, lalu mengambil punggung tangan lelaki yang mengantarkannya ke sekolah untuk ia cium.
"Belajar yang bener," pesan Raga.
"Abang juga, kerja yang bener, jangan sampe kerjaan Abang jadi kerjaan orang."
Raga terkekeh, mengacak rambut sang adik membuat empunya kesal. Susah payah ia menata rambutnya itu.
"Iya udah, gue masuk dulu. Dah ...."
Raga tersenyum dengan mata mengikuti langkah Haila yang setelah dites suhu tubuh oleh satpam–hilang dibelokkan.
"Iya, gue janji, Uletnya Gaga."
***
SMA Gaesang adalah sekolah menengah atas terelit di kota itu, meski kekurangan pengajar–mereka bisa membagi waktu dengan SMP Gaesang yang berdiri di sebelahnya. Maka tidak heran jika waktu masuknya pelajaran di sekolah menengah pertama itu adalah pada jam 1 siang.
Kedua sekolah itu juga bukanlah sekolah gratis, tetapi sekolah swasta, yang dimana bayaran untuk biayanya tidaklah murah. Jadi jangan heran jika kekayaan keluarga selalu digunakan untuk kekuasaan. Itupun kadang-kadang.
Namun, karena Haila adalah salah satu murid kurang mampu–ia bisa mendapat beasiswa karena surat-surat yang dibutuhkan, kepintaran dan juga prestasi.
Pada waktu jam 8 pagi adalah masuknya pelajaran pertama SMA Gaesang, tetapi gadis itu menjadi murid yang datang paling awal setelah satpam yang menjaga.
"Pagi, Pa Dudung, Pa Bondan, Bu Bondan, dan cucu keluarga Bondan."
Dia terkekeh saat cucu kembar lelaki keluarga Bondan mendelik padanya. Rasanya kurang saat pagi hari tidak menyapa mereka dengan jahil.
"Pagi juga," sahut pak Dudung dan lak Bondan, sementara sang Ibu Kantin hanya tersenyum sambil menggeleng. Merasa gemas dengan kelakuan gadis itu setiap pagi.
"Bu, saya titip donat lagi, ya?" Haila menyimpan kotak donatnya dimeja depan, lalu menghampiri bu Bondan.
"Biar saya bantu, Bu." Dia dengan sigap dan tanpa menunggu persetujuan–langsung melesat mengambil alih spatula yang sedari tadi dipegang bu Bondan.
"Ck, kamu itu. Selalu saja." Wanita itu berlalu pergi dengan gumaman tidak jelas, yang membuat gadis SMA itu tertawa kembali di pagi ini.
***
Kelas X MIPA 2 B sudah bersih dari kotoran sejak 30 menit yang lalu. Murid-murid yang berdatangan pun berdecak kagum. Sebagian dari mereka juga ada yang memamerkan kebersihan kelas itu ke kelas sebelah.
Pelaku dari kegiatan terpuji itu adalah Haila, yang sekarang tengah membaca buku catatan. Jika biasanya murid-murid belajar tengah malam, tidak dengan gadis itu, dia selalu belajar sebelum bel masuk karena jika malam adalah waktunya membuat donat untuk dijual.
Setelah membaca buku catatan ketiga, Haila berdiri untuk menghampiri Ersya yang ada di kelas sebelah. Sebelum itu ia harus menerima dan membalas pujian dari teman-teman kelasnya karena telah dengan baik hati mau membersihkan kelas seorang diri.
"Pagi, Eca!"
Ersya mengalihkan pandangan dari handphone-nya ke asal suara, matanya berbinar dan dengan sigap mengambil kursi dari belakang lalu mempersilahkan Haila untuk duduk.
"Pagi juga."
Gadis itu terkekeh. Sembari merapatkan tubuh di sebelah Ersya, berniat mengintip apa yang sedang dilakukan gadis itu.
Tatapannya terpaku pada wallpaper chat Ersya, itu adalah perbandingan antara fotonya saat SMP dan yang baru. Terlihat manis dan memalukan secara bersama.
Tanpa sadar, bibir Haila melengkung membentuk bulan sabit hingga matanya menyipit. Hati yang tadi merasa sedikit lelah kini berbunga. Tiba-tiba ada rasa yang sudah lama terkubur kembali naik ke permukaan. Perasaan tersanjung.
Gadis itu menggeleng cepat hingga senyum yang tadi lebar kini hilang sebab ditahan, malu juga jika sampai Ersya tahu kalau dia tersenyum tanpa alasan.
"Kamu chetan sama siapa?"
Ersya menoleh. "Oh? Ini, sama sepupu."
Room chat-nya berpindah. Ia menekan grup MPLS SMA GAESANG lalu menggulir layarnya keatas hingga menunjukkan pesan-pesan terdahulu.
"Ai, kamu udah milih mau masuk eskul mana?"
Haila terdiam. Tanpa sadar, tangannya terkepal di atas meja; jantung berdebar kencang; bersamaan dengan keringat dingin yang keluar dari dahi dan sebelah lengan. Ia merasa dejavu.
"B-belum."
"Iya udah, kita sama-sama masuk osis, yu!"
Netra Haila bergetar. Sudah ia duga, pasti kalimat itu. Kalimat yang sangat menakutkan baginya.
Namun, harus bagaimana, ia sudah terlalu senang dan Ersya alasan dibalik itu. Dia tidak bisa menolak.
***
Jam istirahat telah berbunyi. Guru-guru yang tadi mengajar mulai keluar kelas. Para murid-murid pun dengan senang hati membereskan alat tulis mereka. Waktu 30 menit untuk istirahat itu masihlah tidak cukup untuk bersosialisasi di hari keempat sekolah.
Termasuk Haila yang sekarang tengah menghampiri kerumunan enam murid di bangku belakang.
"Ai, sini, beliin kita makanan." Itu adalah Andini yang memanggil. Ia juga termasuk teman SMP Haila yang dekat dengannya. Bahkan gadis itu dengan senang hati merekomendasikan Haila menjadi bahan titipan makanan ke kantin. Bukan hanya Andini, tetapi ada Zoelva. Dia memang pendiam, tetapi diam-diam mengajak teman barunya untuk menggunakan jasa Haila.
Dengan syarat harus memberi bayaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
HAILA: Ekor Bernyawa
Ficção AdolescenteSeperti makhluk hidup yang memiliki ekor, sebagian besar jalan hidupnya ditunjukkan oleh sesuatu yang panjang tersebut tanpa memperdulikan resiko. Haila hidup tetapi tidak bisa memilih keinginan hati dikarenakan adanya sang sahabat yang selama ini b...