Ceritanya...

2.9K 58 24
                                    

Di suatu jaman, di suatu waktu, di suatu ketika, di bagian bumi, antah-berantah...

...hiduplah seorang Vena. Usianya 25 tahun dan mengidap "kanker" patah hati. Kekasihnya telah meninggalkannya demi perempuan yang jauh lebih senior darinya. Tersebut sebagai senior karena perempuan itu terlahir lebih dulu, belajar duduk-berdiri-berjalan-berlari... juga lebih dulu. Singkatnya, lebih tua dan lebih berpengalaman. Ilmunya segudang. Emasnya berkarung-karung. Relasinya tak terbilang.

Ceritanya,,, si Vena ini sedang bertangis-tangisan dayak, membaca surat cinta yang ia temukan di atas meja kerjanya. Surat cinta yang sudah mendekam di kamar kost huniannya, sejak empat tahun yang lalu. Empat tahun! Vena membaca ulang surat cinta yang sama. Dari halaman pertama sampai ke halaman... pertama. Karena memang hanya selembar. Ukurannya pun hanya sebesar notes kecil. Dan hanya sebaris kalimat pendek yang mengatakan;

Kita putus, yank. Cateeeet...

Meskipun judulnya adalah surat cinta,,, isinya adalah cinta yang minta bubaran.

Romeo adalah pacar pertama Vena. Sayangnya... sampai empat tahun kemudian, masih saja dianggap sebagai satu-satunya cinta. Padahal Romeo sudah berbahagia menjadi pangeran di negeri dongeng, dipinang oleh sang Puteri pujaan seribu Pangeran.

Jelaslah, Vena tewas di tempat saat Romeo mulai berhitung-hitungan dengan kalkulator sambil menimbang-nimbang dengan neraca. Puteri lebih berat bobotnya dibandingkan Vena. Massa otaknya juga lebih besar. Pergaulan dan wawasannya pun... oh, jangan ditanya. Bagai kamus berjalan. Waktu Vena mengujinya dengan pertanyaan tersulit di dunia, "Di manakah, alamat rumah temen saya yang namanya Titi??? Hayooooo..."

Si Puteri bisa menjawabnya dengan ringkas, cepat dan mudah, "Tanya ma temen lu, si Titi. Dasar, bego. Telpon ato SMS, donk."

Saat itu, Vena hanya bisa membalikkan tubuhnya dan berjalan pulang sambil menyanyikan salah satu single-nya Sheila on7, band kondang asal bumi, yang lagunya terdengar menyayat hati sampai ke planetnya, "Aku pulaaaaang... tanpa bebaaaaan... kuterimaaaaa... kekalaaaaahankuuuuu..."

Lagi-lagi, Vena juga harus mengenang bagaimana bobot si Puteri yang padat, sintal, molek, dan berbentuk lazim. Sementara Vena kelewat kurus, kering, dan kadang... sering limbung sendiri. Katanya sih, sakit lambung. Jadinya limbung.

Nah, di suatu hari yang terbilang masih pagi dengan burung-burung pipit yang bernyanyi kecil sambil ditemani angin semilir yang meniupkan harum bunga mewangi serta bersit-bersit sinar mentari yang menyeruak di langit untuk mengintip-intip sambil sesekali seakan mengerling dan berkedip... hosh hosh,,, Vena masih saja membaca surat cinta yang membuatnya galau. Ia pun menangis diam-diam...

Oh, kekasihku, Gajeeeeeee..., Ia membatin, meraung-raung di dalam sunyi. BIP.

Dan jatuh tertidur... BLUK!

...ZZZZZ...

Air mata, air liur, dan untungnya,,, air seni tidak ikutan...

...sudah riuh menetes dengan beramai-ramai, membuat pulau-pulau kecil di atas boneka kelinci yang sudah habis di-smack down di beberapa bagian.

"Vena... bangun..." Ia mendengar suara ibu-ibu yang lembut sekali. Namun ketika ia membuka matanya,,,

Oh, astaga... wajahnya mengerikan. Senyumnya juga, Vena membatin ricuh dan bertambahlah galaunya. Tetapi tiada satu katapun yang keluar dari mulut si Ibu itu, yang sama mengerikannya dengan wajah ataupun seringaian tipisnya. Kata-katanya melantun indah seperti barisan puisi yang mengagumkan. Selintas, Vena jadi berpikir...

Apa yang harus aku percayai... mata? Atau telinga? Aku tidak bisa meraba hati...

PLOK! Vena menampar pipinya sendiri agar segera tersadar kembali...

Ceritanya...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang