BAGIAN 2

630 37 3
                                    

Vena sudah menjaga tokonya selama seharian dan mendapatkan pemasukan yang tak seberapa. Ia juga sudah membuat scarf buatan tangannya sendiri, selama menunggui tokonya yang sepi. Sejauh itu, ia menikmati apa yang dikerjakannya dan melupakan surat cintanya.

Vena melirik arlojinya. Pukul sembilan malam. Ia pun merapikan seisi tokonya dan berniat untuk beristirahat. Saat ia hendak membenahi beberapa benang rajut ke dalam rak penyimpanan, ia melihat Mimi seakan menyeringai padanya. Ia balas menatap ke Mimi. Dan melihat Mimi tidak mengenakan bandana pink yang telah ditata ke rambut hitamnya yang lurus dan panjang. Vena mulai celingukan. Ia yakin kalau ia telah memasang hiasan itu untuk memperindah tampilan rambut Mimi. Namun ketika didengarnya Blablabla bersuara cekikikan sambil membaca buku humor, Vena pun mulai mengerjap-ngerjapkan matanya dan berpikir...

Tidak ada lagi yang tidak masuk akal. Apalagi di dalam cerita fantasy ini... apa aja boleeee..., batin Vena, antara melantur dan tidak.

Vena menoleh lagi pada Blablabla... burung kecil itu tidak hanya bisa berbicara. Tetapi bisa membaca buku dan bahkan tertawa cekikikan. Vena mengangkat kedua alisnya dan menahan nafasnya. Ia menoleh lagi ke arah Blablabla. Baiklah, Vena membatin sambil melihat bagaimana burung itu juga sudah mencelupkan paruhnya ke dalam gelas minuman hangatnya. Dia ngopi-susu juga..., Vena sudah meringis di dalam hatinya. Dan ia sudah hampir menangis saat melihat Blablabla bergoyang gangnam style, mengikuti lantunan musik dari salah satu stasiun radio di bumi.

Vena mulai garuk-garuk pelipis kanannya. Lalu melirik ke arah Ken da Keyen yang sudah tidak memakai rambut palsunya lagi. Dan wajahnya terlihat... bete.

Vena bergegas melangkah tanpa mau menoleh dan memperhatikan sekelilingnya lagi. Bulu kuduknya sudah berdiri semua, menuding tegak lurus ke atas. Ia melengser miring seperti kepiting, buru-buru mematikan lampu ruangan dan langsung berlari ke arah dalam. Blablabla pun terbang rendah, mengikuti langkah kaki Vena. "Kenapa? Ada apa?", tanya Blablabla.

"Ada sesuatu di sana..." Vena menudingkan jarinya ke arah toko. Lalu melirik pada Blablabla dengan mata yang hanya membuka separuh. "Dan ada sesuatu yang salah dengan kamu, menurut hemat bumi, kamu itu jenis burung apa'an? Kalo menurut hemat planet ini, 'gak usah dijawab..."

"Oh..." Blablabla tertawa. "Asalku dari negeri antah berantah, partikel tersembunyi di planet ini. Aku dikutuk jadi burung karena sebuah kesalahan..."

"Apa'an?" Vena sudah gigit-gigit jari.

"Main petasan...", sahut Blablabla enteng.

"Maen petasan, langsung kena kutuk???" Vena membelalakkan matanya.

"Iya."

"Cuma karna petasan???" Nada suara Vena sudah meninggi.

"Ho oh..."

"Cuma gara-gara petasaaaaaan? Yang secuil?" Vena ingin mempertegas lagi.

"oh, petasan di negeri kami 'gak secuil. Segede meriam. Dan satu kastil meledak bubar gara-gara ulah saya itu..."

"Hah?" Vena mendadak lemas. "Gitu, yaaa..." Suaranya sudah menipis. Hampir menghilang tersapu kalut. "Gimana nyala'innya? Kamu 'kan kecil?"

Blablabla pun menggeleng. "oh. Enggak. Tadinya, wujud saya orang."

Vena hanya mengangguk-angguk dan berpamitan untuk ke kamar mandi sebentar.

Lima belas menit kemudian...

Vena sudah keluar dari kamar mandi dengan mengenakan piyamanya. Rambut merahnya yang panjang dan lurus, tergerai rapi dan terlihat berkilau.

Blablabla memandangi Vena dengan mata terenyuh.

Ceritanya...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang