4

12 1 0
                                    

Sudah seminggu tepat, Alletha sama sekali tidak mau menemui Atan. Laki-laki itu pun juga tidak datang ke rumah Alletha bahkan hingga lebaran berlalu kedua masih belum mau saling bertegur sapa.

Lagipula siapa yang tidak marah dianggap perempuan lemah dan bodoh? Alletha hanya gadis berumur 11 tahun dengan sifat sok tegarnya, padahal di bentak sedikit langsung nangis.

Atan juga hanya seorang anak laki-laki yang tidak terima di curangi. Padahal anak itu dikenal jarang sekali marah, bahkan hampir tidak pernah marah meski diperlakukan bagaimanapun oleh Alletha.

"Kita mau sampai kapan begini?" sebuah suara memasuki indra pendengaran Alletha yang sedang duduk di halaman belakang menatap ayam-ayam peliharaannya sambil menyedot es sisri gula batu di tangan.

"Aku pikir kita udah selesai Tan, gara-gara aku ini seorang gadis lemah dan ga bisa main bola." jawab Alletha tanpa menatap Atan sedikitpun.

"Maaf Al, aku tau aku berlebihan waktu itu. Maafin aku ya Al,"

Entah kerasukan setan mana laki-laki keras kepala itu hingga mau-maunya dia meminta maaf duluan. Biasanya jika bukan Alletha yang meminta maaf dulu, keduanya tidak akan pernah akur kembali.

Tapi kali ini, Alletha sama sekali tidak ingin mengalah. Ia ingin Atan tau kesalahannya apa dan mengakuinya. Sesekali laki-laki itu perlu pelajaran.

Tanpa persetujuan siapapun, Atan mendudukkan diri di samping Alletha, ikut menatap ayam peliharaan yang sedang diberi makan oleh gadis itu.

"Nih," ujar Alletha menyerahkan es sisri gula batu sisanya pada Atan yang tentu di sambut baik oleh laki-laki itu.

"Tapi aku ga bawa roti cokelat Al. Ga papa kan?" Atan menatap Alletha yang sedang fokus menambah makanan untuk ayam peliharaannya.

"Ga papa. Kapan-kapan kalau Atan udah jadi orang besar, diganti satu kardus roti cokelat ya,"

Atan terkekeh pelan. Ia pikir 'ga papa' itu artinya beneran yaudah ga papa ternyata tetap di ganti, malah lebih banyak ternyata.

"Ayo main bola Tan, aku bosan di rumah." ujar Alletha yang menciptakan senyuman lebar dibibir laki-laki kecil berkulit sawo matang itu.

_

"Yees! Goool." teriak Atan keras hingga bergema ke seluruh penjuru lapangan. Kali ini Alletha sama sekali tidak melakukan kecurangan, membuat laki-laki itu dengan mudah memasukkan bola ke dalam gawang.

"Yeees, aku berhasil Al, aku berhasil." ujar pria itu senang sekali sembari berlari menghampiri sahabatnya dan mengguncang bahu Alletha.

"Iya Tan, kamu hebat." ucap gadis itu tersenyum lebar pula. Ia tahu, selama ini Atan berlatih keras. Diam-diam bermain bola sendirian di lapangan, melatih skillnya seorang diri. Alletha tahu jelas itu, karena diam-diam pula gadis itu membuntuti kegiatan sahabat kecilnya itu.

"Lain kali kalau mau latihan, bilang aja nanti aku temenin. Jangan sendirian kayak nggak punya teman gitu. Sedih sekali jadi orang."

Alletha menggandeng tangan Atan untuk duduk dibawah pohon trembesi besar dekat danau, di samping lapangan itu.

"Orang aku main sama Adi, meski Adi sering banyak ga bisa si" Atan terkekeh kecil.

"Kamu mengikuti aku Al?" lanjut Atan menatap Alletha menyelidik.

"Gausah kepedean jadi orang. Cuma takut kamu hilang, jadi aku awasi."

"Padahal aku ga mungkin hilang si Al, soallnya kalau mau diculik pun, penculiknya juga mikir-mikir mau nyulik aku. Aku kan makannya banyak."

Alletha tertawa lebar mendengar penuturan laki-laki kecil di sampingnya itu. Tidak salah juga, badan kecil seperti Atan itu makannya banyak juga.

"Kamu tau Aima gak Al?" tanya Atan sembari menatap langit sore dengan senyum malu-malu di bibirnya.

"Aima yang satu kelas sama kamu itu?" Alletha melirik Atan sekilas lalu mengalihkan pandangannya ke langit.

"Iya. Dia cantik ya Al."

"Iya. Semua wanita juga cantik Tan. Kalau wanita ganteng, ya runyam urusannya."

"Kayaknya aku suka dia deh Al,"

Keheningan pun terjadi setelah Atan mengucapkan kalimat terakhirnya. Alletha tidak memberikan respon apapun, pun laki-laki itu juga tidak mempermasalahkan sikap sahabatnya.

"Ayo pulang, udah mau Maghrib." ujar gadis berkucir kuda itu yang beranjak dari duduk.

"Menurut kamu, dia mau gak ya sama aku Al?"

Atan mendongakkan kepala menatap Alletha yang sudah berdiri. Meminta tanggapan dari apa yang sudah ia ungkapkan.

"Kita fokus dulu raih cita-cita kamu ya Tan, urusan itu bisa kita pikirin nanti. Toh, kamu juga butuh modal buat deket sama orang." Alletha menatap Atan dengan senyumnya.

Laki-laki itu tersenyum tipis, memegang tangan Alletha untuk membantunya berdiri.

"Kamu bener Al, emang siapa yang mau sama orang kayak aku" Atan tertawa getir.

"Iya si, siapa juga yang mau sama kamu. Kayaknya aku dulu kamu santet ya Tan, sampai bisa lengket banget sama kamu?" tuduh Alletha sambil memicingkan matanya.

"Enak aja, enggak ya. Kita kan emang dari orok udah jadi satu Al. Kalau ada Alletha ya harus ada Atan."

Gadis berambut legam itu merangkul pundak Atan yang sedikit tinggi darinya.

"Bakal ada kok yang mau sama kamu nanti. Atau bisa jadi, suatu saat satu Indonesia pengen jadi cewek kamu. Kita kan ga tau kedepannya gimana. Sekarang, waktunya kita buat asah diri Tan. Kita kejar cita-cita kita."

"Makasih udah selalu ada Al," ujar Atan membalas rangkulan sahabatnya itu.





























tbc

Tuan dan Nyonya Es TehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang