Mentari hari ini terlihat malu-malu menunjukan sinarnya, membuat beberapa ibu-ibu mengutuk sebab tidak ada panas untuk mengeringkan baju-baju mereka.
Anak-anak yang biasanya bersemangat bermain di lapangan, memilih bergelung di dalam selimut. Cuaca seperti ini memang sangat enak jika digunakan untuk tidur.
"Ayah belum pulang Bun?" tanya Alletha pada Bunda yang sibuk mengiris wortel untuk sarapan hari ini.
Kecepatan Bunda mengiris wortel memelan, lantas menaruh pisau yang digenggamnya dengan pelan. Tersenyum tipis menatap putri semata wayangnya itu.
"Sabar ya Al, nanti kalau sudah waktunya, ayah pasti pulang kok,"
"Bun, oke kalau ayah nggak pulang aku masih bisa mengerti. Tapi kalau sampai kita nggak ada komunikasi kayak gini, gimana aku mau mengerti Bun? Teman-temanku rapotnya diambil sama ayah atau ibunya, sedangkan rapotku? aku mengambilnya sendiri Bun, itu karena Bunda dan Ayah yang sibuk sendiri-sendiri. Bunda jahat!" Alletha mengatur napasnya, bersiap mengeluarkan segala keluh kesah yang selama ini ia simpan sendiri.
"Bunda bilang sabar? Iya? Harus sampai kapan Bun? Sampai aku mati? Apa sampai bunda mati?"
Senyum Bunda memudar, untuk pertama kalinya mata lembut itu menatap tajam Alletha. Tangan halus yang biasa mengusap rambutnya itu mencengkeram kuat kedua bahu Alletha.
"Kau mau kebenaran sebenarnya Al? Tentang kenapa bunda dan ayah yang selalu kau anggap sibuk sendiri-sendiri itu? kau ingin tahu?" ucap Bunda tegas dengan cengkraman tangan yang semakin kuat.
"Ayahmu pergi, dia pergi begitu saja meninggalkan kita. Bahkan bunda tidak tahu keberadaannya sekarang. Kau bilang bunda jahat? Kau pikir, kau makan dengan uang hasil kerja keras siapa Al? Ayahmu? Bahkan laki-laki yang kau sebut ayah itu tidak pernah peduli padamu,"
"Bunda bekerja di pasar, menjadi kuli angkut hanya untuk keperluan sekolahmu, agar kamu bisa bernasib lebih baik dari bunda. Tapi apa? bahkan anak bunda sendiri mengatakan bunda jahat? Kau bisa hidup sendiri Al?"
Bunda melepaskan cengkeramannya. Mengusap air mata yang entah kapan turun itu lantas pergi begitu saja, masuk kamar.
Alletha tercengang. Ayahnya pergi? Laki-laki terbaik dalam hidupnya itu tidak peduli lagi padanya? tapi kenapa? Bukankah selama ini ia bersikap baik seperti yang dikatakan ayahnya?
"Al," desis seseorang dibalik pintu yg terbuka sedikit.
"Ayo keluar, kita cari angin dulu"
Atan mendengarnya, semua dari awal hingga akhir tanpa cela. Niat awal ingin mengajak Alletha pergi bermain, malah disuguhkan pertengkaran ibu anak itu di dapur yang memang berdekatan dengan pintu masuk.
Atan mengambil alih kemudi, mengayuh sepeda kesayangan sahabatnya itu pelan-pelan. Sedang Alletha hanya duduk diam di belakang, belum ada satu kata pun yang diucapkan gadis itu.
"Mau roti cokelat Al? Apa es sisri gula batu? atau es krim?" tanya Atan mencoba memecahkan keheningan sepanjang jalan.
"Kalau aku mau ayah bisa nggak si Tan?" desis gadis itu pelan.
Laki-laki berkulit sawo matang itu diam tak berkutik, tak tahu jawaban apa yang tepat untuk pertanyaan yang luncurkan sahabatnya itu.
"Aku tau, aku nggak pernah ada di posisi kamu Al. Tapi kata pak ustadz, Allah nggak bakal kasih ujian diluar batas kemampuan hambaNya. Aku tahu ini sangat menyakitkan, tapi aku percaya kamu bisa hadapi ini semua Al,"
Atan menjeda ucapannya, matanya memandang lurus ke depan sembari terus mengayuh sepeda pelan.
"Bapak ibuku semuanya bekerja Al, itu sebabnya kenapa aku tinggal dengan nenek selama ini. Saudaraku ada lima, keempat adikku masih kecil, ibu dan bapak butuh cukup uang untuk menghidupi mereka. Itu sebabnya aku di titipkan pada nenek"
"Jika kau bertanya apakah menyakitkan? pasti akan ku jawab dengan lantang iya Al. Aku juga ingin merasakan kehangatan keluarga seperti apa, tapi aku nggak bisa egois sama jalan yang udah dipilih sama ibu dan bapak. Aku yakin, mereka melakukan yang terbaik untukku"
Atan mengarahkan sepeda itu ke sembarang arah, mereka benar-benar tidak tahu akan kemana.
"Aku mau pulang aja Tan, aku nggak pengen ketemu siapa-siapa dulu"
Atan mengangguk pelan, membawa gadis yang sedang patah hati itu ke tempat yang ia inginkan.
Karena mau bagaimana pun, rumah akan selalu jadi tempat terbaik untuk pulang.
_
Angin berhembus pelan menerjang siapapun di depannya. Malam itu bulan bersinar terang di langit malam, membiarkan siapapun tenang berada dalam pelukannya.
Gadis manis dengan rambut yang ia biarkan terurai itu duduk sendiri di samping rumah menatap bulan yang tengah bertahta di langit. Pandangannya sayu, sesekali ia mengusap air mata, atau sesekali menarik napas dalam-dalam.
Terhitung tiga hari sudah Alletha tidak ingin menemui siapapun. Memilih mengurung diri di kamar, makan saja hanya di antar di depan pintu kamar, selebihnya ia melakukan aktivitas di dalam kamar.
Gadis itu benar-benar patah hati, dan sialnya lagi ayahnya sendiri yang membuat begini.
"Al, sudah malam. Kenapa masih disini? Nanti kamu sakit," sapa seseorang dari belakang Alletha.
Atan mendudukkan diri di samping Alletha. Hatinya ikut teriris melihat keadaan sahabatnya saat ini. Ini kali pertamanya laki-laki itu melihat gadis di sampingnya seperti ini.
"Atan, aku capek," desis Alletha menjatuhkan kepala di bahu kanan Atan.
Laki-laki itu lantas membawa Alletha ke dalam pelukannya, ikut merasakan kesakitan dalam hatinya. Menepuk punggung yang sudah kuat menghadapi tantangan semesta, dan mau menerima keadaan dengan lapang dada.
Malam ini, kedua insan itu sama-sama menangis. Menumpahkan segala kesesakan dalam dada masing-masing. Saling menguatkan.
"Mari hadapi ini bersama ya Al, kamu nggak pernah sendiri. Selalu ada aku di sampingmu. Jangan menyerah ya Al, karena tanpa kamu, aku juga bukan apa-apa" desis Atan disela tangisnya.
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan dan Nyonya Es Teh
Novela Juvenil"Mari bertemu di kehidupan selanjutnya Tan, bukan sebagai sepasang teman tetapi sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai" -Alletha