The most important thing is to enjoy your life, to be happy no matter what.
—Audrey Hepburn.Aku memasukkan satu buku diari, beberapa pulpen dan isinya, uang, dua setelan baju ganti, lima cokelat Mars favoritku, ponsel, senter, power bank, dan foto keluarga kami ke dalam tas ransel. Entahlah, aku merasa bahwa aku akan pergi jauh.
Sepertinya sudah cukup memikirkan dua hari lamanya untuk bisa memutuskan, akhirnya aku akan memilih untuk ikut membuktikan tentang apa yang katanya membawaku menuju pendewasaan.
Semalam, Gaza memberi tahuku perihal apa yang nanti akan dihadapi----dia bilang akan ada sesuatu yang menyedihkan. Aku akan belajar banyak, dan menemui beberapa hal aneh. Dari seorang Gaza, mungkin aku bisa cukup percaya padanya. Karena laki-laki itu jujur, itu dari pandanganku.
Memakai mantel sewarna hijau asparagus dengan dalaman kaos hitam dan rok kotak-kotak pendek selutut, sepatu boot kulit----aku berjalan mengendap-endap keluar rumah. Masih sepi. Daren belum pulang. Jadi tak apa mungkin jika tidak berpamitan? Aku juga membawa uang yang cukup, jika nanti harus tinggal di hotel sementara waktu. Sebelum benar-benar berangkat, apa mereka akan mencariku? Apa nanti mereka akan khawatir?
Sepertinya tidak akan.
Aku menghela napas, mengunci pintu rumah dan segera berjalan cepat menuju ujung rumah, ke rumah tua. Tempat aku dan Gaza bertemu.
Sayang, setelah aku mengeksplor seisi rumah, tak ada Gaza di sana. Benar-benar tidak ada. Apa Gaza berbohong? Ada rasa kecewa menyelinap dalam dada. Kenapa perkataannya semalam begitu meyakinkan? Aku juga bodoh karena bisa percaya begitu saja padahal baru mengenalnya.
"Selamat datang."
Aku menoleh ke belakang. Satu anak kecil laki-laki sekitar umur tujuh tahun berdiri, tersenyum padaku.
"Meify? Ini ada surat. Kamu mau datang kan?" tanya anak itu mengulurkan tangan berisi surat. Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya ini?
"Dari Gaza?"
Dia menggeleng. "Dari si Pengirim."
Mendengar jawabannya, lekas aku ambil dan membuka suratnya di tempat.
Kamu datang
Pergi naik bus
Berhenti di pemberhentian
pertama
Maka akan bertemuPesan: jangan balikan surat ini
"Apa Gaza enggak datang?" tanyaku kemudian.
"Cepat berangkat, nanti tertinggal kereta."
Agak dipaksakan, tetapi aku segera mengangguk dan melangkah pergi. Sebenarnya, aku lupa menanyakan kenapa dia ada di sana? Sialnya kakiku tak mau berhenti untuk berjalan menuju terminal.
Seperti di dalam film Inside Out, bus yang dinaiki terasa suram. Apa mungkin karena mendung? Padahal hari ini cerah berawan, hanya saja memang dingin. Apa mungkin karena aku berangkat pagi-pagi sekali? Entahlah, aku berharap cepat sampai dan bisa bertemu dengan si Pengirim Surat jika sesuai petunjuk itu benar. Kalau sampai berbohong, mungkin aku akan kabur saja dari rumah. Aku akan mencari kontrakan kecil dan mulai bekerja.
Bodoh.
Rasanya memang ingin kabur. Tapi aku masih punya mimpi, aku harus terus sekolah agar bisa pergi ke luar negeri. Tak peduli sesulit apa, aku harus bisa lulus dan masuk ke universitas dengan mengambil jurusan kimia. Aku suka parfum.
Aku duduk bersebelahan dengan seorang nenek tua berambut merah kelam dengan beberapa helai yang sudah putih. Kerut di wajahnya sangat nampak---tanda dari termakan usia dan rasa lelah. Walau begitu, beliau tampaknya masih semangat untuk menjalani hari. Terlihat dari tubuhnya yang masih tegap dengan senyum yang kerap kali diperlihatkan selepas menyapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trouvaille: Meify and The Mysterious Book
FantasyINI tentang aku yang tak sengaja masuk ke dalam dunia entah-berantah, mencari banyak jawaban yang sebenarnya pertanyaan pun tak ada, mencari jati diri hingga aku mempertanyakan satu hal: aku ini siapa? Ini juga tentang satu orang laki-laki yang memb...