15. Mbak Ista pulang

4 3 0
                                    

Usai melewati hari yang penuh kejutan, akhirnya gue bisa istirahat. Selanjutnya gue siapin beberapa hal penting yang mungkin gue butuhin. Besok pagi gue bakal pergi ke desa naik pesawat, biar bisa cepet nyampe. Kelamaan dijalan bikin gue pusing.

"Kira-kira, setelah sampe di desa, gue nantinya kerja apa? Walaupun kakek sama nenek kaya, tapi gue malu kalo cuma nganggur."

Meski gue bingung, gue nggak bangun dari posisi gue sekarang. Kamar hotel ini nyaman, walaupun harganya murmer. Ini udah lebih dari cukup buat gue tidur. Kamarnya nggak terlalu lebar, tapi ada kaca besar yang bikin kamar ini keliatan luas.

Sedikit cerita tentang kamar ini, selain yang udah disebutkan tadi, beralih ke kamar mandi. Nggak heran buat kebersihannya, hotel ini emang terkenal karena bersihnya. Kamar minimalis ini didesain sebaik mungkin sampe pengunjungnya ngerasa betah. Ini lebih baik daripada rumah gue yang sekarang.

***

Mata gue terbuka dan liat sekitar. Udah hampir jam tujuh. Gue langsung buru-buru bangun. Hari ini gue ada ulangan. Eh? Tunggu, gue udah resmi keluar sekolah!

"Pake acara lupa segala, huh." Gue balik tiduran lagi, sambil liat langit-langit kamar. "Bentar lagi hidup gue bisa lebih baik."

Akhirnya, gue mutusin buat siap-siap mudik. Udah kebayang senengnya ketemu nenek sama kakek. Sedikit bocoran, dulu kakek punya perusahaan maju dikota. Dari situ, Mama bisa ketemu Papa. Nggak paham cerita jelasnya gimana, yang penting Papa itu kaya. Kaya tanpa moral!

"Nanti pake bis yang mana buat ke bandara? Oh iya, Pras udah ngasih tau kemarin."

"Tunggu, kalo nggak salah gue disuruh nunggu di alun-alun kota, 'kan? Tapi, apa mungkin ada bis disana? Nggak tau deh, mending on the way ke sana aja."

Setelah selesai sama urusan hotel, gue buru-buru ke alun-alun kota. Tentu pakaian gue pakaian yang nggak banyak orang-orang tau, tepatnya orang itu adalah orang-orang yang deket sama gue.

"Ista, disini!"

Disebelah kanan, ada Pras yang lambai-lambai ke arah gue. Syukur deh kalo gue bisa ketemu dia, artinya gue nggak nyasar. Gue tau itu karena emang dikampung, dulunya gue dipanggil Ista, termasuk dari Pras.

"Namanya udah ganti. Nggak usah panggil Ista mulu." protes gue.

Mata Pras ngarah ke belakang gue. "Lo ngga liat ada cowok itu?"

"Raka?" Gue setengah berbisik.

"Makanya gue panggil lo Ista. Toh, lo cocok pake nama itu."

"Basa-basi. Ayo, pergi sekarang aja. Mumpung belum panas."

"Mikir panas segala, kita naik mobil, Ista."

"Katanya pake bis."

"Tapi boong."

Dasar bocah ini. Asal lo tau, Pras, gue lagi nggak pingin ketemu Raka. Liat punggungnya aja udah bikin gue kangen tante Wanda. Semirip itu Raka sama tante Wanda dimata gue.

"Is, rencananya lo mau lanjut sekolah?"

"Kalo emang ada dananya, gue lanjut."

"Gini nih, orang yang nggak sadar diri. Lo itu kaya, Is. Ngapain bingung. Uang tinggal minta. Pingin apa-apa keturutan. Beli pesawat aja mungkin langsung dibeliin."

"Pesawat nggak boleh diperjualbelikan."

"Ngetes otak lo aja, Ista. Ternyata nyambung juga lo disekolah."

Gue hembusin napas kasar. "Hidup gue nggak segampang orang liat. Banyak yang nganggep orang kaya itu segala macemnya gampang. Iya, kalo orang tuanya sadar. Beda sama gue yang punya bapak yang nggak punya moral."

Nona Ista [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang