22. Kepercayaan buat Panji

1 2 0
                                    

Hari ini ada pelajaran olahraga. Gue celingukan cari Panji. Biasanya dia yang paling semangat buat pelajaran ini, tapi kali ini dia nggak keliatan sama sekali. Dari tadi pagi juga gue udah ngerasa aneh, Panji keliatan lesu. Pasti ada masalah.

"Nggak ke lapangan, Is?" Lamunan gue buyar waktu Gita tepuk pundak gue.

"Eh? Iya, ini mau ke lapangan."

"Ngomong-ngomong, Dini nggak masuk, ya?" Gue basa-basi sambil jalan ke lapangan. Gue tau Gita ini deket sama Dini, makanya dia objek yang pas buat tanya ini itu tentang Dini.

"Masuk, tapi dia lagi di UKS."

Gue spontan noleh ke Gita. Rasa penasaran gue meningkat. "Dini sakit?"

Gita ngangguk. "Kayaknya gitu. Tapi bukan Dini namanya kalo nggak maksain sekolah demi nilai."

"Sama Panji?"

"Apanya?" Gita berhenti. Dia tatap gue bingung.

"Nggak, nggak jadi." Gue jadi salah tingkah gini. Gue harusnya bersikap biasa aja, sama kayak gue yang dulu, nggak suka ikut campur urusan orang.

"Oh, kamu cemburu kalo Panji jagain Dini di UKS?" Gita rangkul bahu gue sambil mainin permen karetnya. Gita ini agak sedikit tomboy.

"Nggak juga. Emang Panji disana?"

"Iya, Panji 'kan emang lagi deket sama Dini."

"Iya kah?"

Gita ngangguk. "Semalem aja mereka jalan-jalan bareng. Kamu nggak tau, Is?" Gue buru-buru geleng-geleng.

Jadi yang semalem itu nggak mimpi? Ini serius? Kenapa gue bisa nggak tau? Kenapa hati gue rasanya sakit? Tenang Ista, Panji cuma temen.

"Udah lama, ya?"

"Belum juga. Baru beberapa minggu, tapi akhir pekan ini mereka jadi lebih deket."

Gue milih diam. Tambah Gita kasih tau, tambah hati gue sakit. Ternyata Panji emang ada hubungan sama Dini. Dini emang tipe cewek idaman, selain pinter, Dini juga punya wajah yang manis. Siapapun bakal nyaman sama dia.

"Tumben nggak sama si 'ehem'." Sebuah kalimat dilontarkan sama Haikal. Nadanya berkesan ngeledek. Gue yang tadinya jalan cepat, akhirnya jadi pelan, ditambah bahu gue turun. Aneh kalo gue nggak sama Panji? Iya.

"Udah putus, Is?" tambah Erwin yang bikin suasana hati gue tambah panas.

Suasana lapangan yang panas, ditambah omongan dua cowok itu bikin gue pingin naik darah. Gue hampir ngumpat didepan mereka, tapi nggak jadi karena Dini datang ke lapangan, dituntun Panji. Suasana seketika berubah nggak seru.

"Waduh, konspirasi apalagi ini, Ista?" Lagi, Haikal emang provokator kelas kakap.

Gue nggak hirauin kata-kata mereka berdua. Gue anggap angin lalu. Mata gue cuma tertuju ke dua muda-mudi didepan sana. Sampai akhirnya peluit ditiup Pak Aswar tanda murid-murid harus kumpul di lapangan.

"Kita pemanasan dulu. Siapa yang mau pimpin?"

"Ista sama Haikal!" teriak Erwin dari barisan cowok. Selain Haikal yang provokator, Erwin juga musuh gue yang bener-bener gue benci.

Semua mata menuju ke gue dan Haikal, tak terkecuali Panji yang tatap gue lama. Gue bisa liat dari mata dia, ada masalah berat, yang rasanya susah buat Panji ceritain ke orang lain. Ya, gue psikiater buat Panji.

"Ayo." Dengan cerobohnya Haikal tarik gue ke depan. Gue tatap semua orang, yang mereka tatap balik seolah ada yang aneh.

"Gue nggak mau pimpin pemanasan, dan gue nggak mau sama lo! Camkan itu!" Gue lepas kerah kaos olahraga Haikal. Kali ini hati gue hancur banget, rasanya semua orang pingin gue jadiin pelampiasan buat emosi gue.

Akhirnya gue kembali ke barisan. Akibat kerusuhan itu, Gita yang ditunjuk buat gantiin gue. Gue harap hari ini cepat selesai. Banyak yang nggak pingin gue liat sekarang.

"Yakin bisa?" Panji seolah nggak bisa lepas dari Dini. Kalo emang lagi sakit, istirahat aja emang nggak bisa? Segitu ambisnya, ya?

Dini ngangguk sambil pegang kepala, dan tangan satunya pegang perut. Mukanya aja keliatan pucet, kenapa nggak di UKS aja? Kalo di UKS terserah sama Panji mau ngapain, yang terpenting sekarang jangan liatin perhatian itu didepan gue. Itu aja.

"Yakin kuat liat mereka? Ke kantin aja gimana?" Haikal udah ada disamping gue lagi. Sambil tunjukin muka yang bikin orang kesel, Haikal seenaknya aja rangkul gue.

"Lo nggak usah ikut campur urusan orang. Belajar jadi cowok yang bener-bener cowok."

Gue ikut kumpulan cewek-cewek yang lagi main kasti. Termasuk Gita disana yang ikutan main. Emang setiap abis praktek olahraga, kalo ada waktu luang itu digunain buat olahraga sesukanya, yang penting olahraga. Gitu kata Pak Aswar.

"Boleh ikut?"

"Boleh, boleh. Nanti Ista ikut timnya Ira aja, soalnya lagi kekurangan pemain nih. Tim kita lawan timnya Gita, ya, Is." jelas Ira. Gue ngangguk aja, karena gue nggak terlalu pilih-pilih tim yang mana, yang penting ini seru dan bisa bikin gue lupa sejenak sama Panji.

***

Panji alasan lagi ada urusan, padahal udah gue terka kalo dia bakal jalan sama Dini. Gue mutusin buat pulang sekolah naik bis aja. Terakhir kali gue naik bis itu bareng Mama waktu kita jalan-jalan ke Kota Lama, dan itu udah bener-bener lama banget.

"Eh, anterin ke toilet dulu, kebelet." Gita tarik tangan gue, dan akhirnya gue berhenti. Ya, gue pulang bareng Gita. Setelah Panji sama Dini, gue sama Gita ngerasa kesepian.

Untung sekolah belum sepi, jadi nggak masalah kalo gue nungguin Gita dulu. Toh, gerbang sekolah juga ditutup kalo udah bener-bener nggak ada murid di sekolah.

Lorong sebelah emang udah keliatan sepi. Ngeri juga kalo diliatin lama-lama. Tapi, ada satu yang bikin gue salah fokus. "Itu Panji?" Dari seberang sana gue liat Panji lagi bareng Dini. Mereka akrab akhir-akhir ini.

Gue agak condongin badan ke dalam toilet, gue nggak boleh ketahuan. Samar-samar gue denger mereka ngomongin tentang tanggung jawab dan pernikahan. Gue cuma bisa nahan rasa sesak di hati, pikiran gue negatif buat hal itu.

"Ah, lega." Gita yang keluar dari toilet dan langsung buyarin lamunan gue. Syukur deh kalo nggak ketahuan kalo gue lagi nguping.

"Ta, Dini sakit apa?" Ditengah perjalanan gue coba tanya ke Gita, tentunya sambil liat sekitar. Semoga Panji atau Dini nggak liat dan nggak denger.

"Tadi Dini cuma bilang masuk angin aja. Emang dia juga cerita kalo sering muntah gitu. Kasian sih, semenjak orang tuanya keluar kota, hidup Dini jadi nggak terlalu keurus."

"Dia sering muntah? Apa nggak hamil?" Gue akhirnya keceplosan. Kalimat yang seharusnya gue lontarin dalam hati malah nyerocos lewat bibir. Alhasil gue dapat pukulan dari Gita di lengan kiri.

"Tapi, kalo dipikir-pikir mungkin aja. Nafsu makannya jadi turun, sering muntah waktu pagi, eh mungkin itu yang dinamain morning sick."

"Tadi juga aku nggak sengaja denger mereka ngomongin tanggung jawab dan rencana nikah. Kamu tau soal itu?"

Seolah ikut bingung, Gita kerutin jidatnya. "Nggak pernah denger. Tapi, ada yang aneh. Apa ini yang bikin mereka deket? Dini hamil anaknya Panji?"

"Cuma kalo langsung disimpulin kayak gitu rasanya nggak mungkin. Dini itu anak baik-baik, dan Panji juga nggak terlalu akrab sama cewek. Mana mungkin mereka ngelakuin hal diluar batas."

"Kita emang harus selidiki ini, Is. Penasaran banget." Liat Gita yang antusias bikin gue juga semangat pingin tau segalanya. Ya tentu gue nggak pingin apa yang gue perkirakan itu terjadi. Sampai detik ini gue masih percaya sama Panji.

<<<<>>>>

Nona Ista [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang