10. Perkara di gedung tua

3 3 0
                                    

Tiing!

Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal. Dia ngasih tau gue sesuatu yang langsung bikin gue gelisah. Waktu itu gue lagi dikantin, karena emang udah jam istirahat. Awalnya gue pingin dikelas aja, syukur-syukur dapat ketenangan batin, cuma karena Nindi maksa ditemenin makanya gue terpaksa ikut.

+62 xxxx xx..

Ca, ini Gilang.
Mama lo lagi sama gue.
[Send a picture.]

Mama? Gilang? Firasat gue pagi tadi emang bener. Apa yang gue khawatirin terjadi, mama diculik!

Tolong sherlock!

[Send location.]
Tapi, gue mau lo datang ke sini sendiri.
Kalo gue tau lo sama orang lain, jangan harap mama lo masih napas.

Gilang bener-bener nekat! Gue salah apa sama dia sampai dia bisa lakuin hal keji itu?

"Nin, gue ke toilet dulu, ya, kebelet."

Nggak banyak waktu lagi, gue langsung lari. Untung gue udah tau tempat-tempat aman buat bolos. Mungkin gerak-gerik gue bisa dicurigai orang lain, tapi gue merasa bodoamat, yang penting mama bisa selamat.

Beruntung ini masih siang, masih banyak angkutan umum yang lewat. Gue naik beberapa angkutan umum yang sekiranya bisa nyampe ke tempat yang udah Gilang kasih. Sesekali gue liat ke atas, nahan air mata gue yang selalu hampir terjun. Hati siapa yang nggak hancur liat orang yang disayang malah diculik sama orang yang paling dibenci?

Sekarang, dihadapan gue ada bangunan tua dengan pintu besar yang terbuat dari besi. Nggak ada keamanan disana, mungkin karena bangunan ini udah bener-bener terbengkalai. Entah kenapa semerbak bau anyir bikin gue takut sama keadaan mama.

Nggak berselang lama, pintu itu dibuka Gilang. Dia sempat celingukan, memastikan kondisi aman. Setelahnya dia tarik gue ke dalam bangunan tua itu. Cowok kesetanan itu tutup rapat-rapat pintu besi yang sudah terlihat tua tersebut.

"Mama..!" Gue peluk mama erat-erat. Tangis gue langsung pecah. Liat mama dengan tangan dan kaki diikat bikin gue trenyuh. Apalagi mulut yang ditutup pake lakban, mama nangis tanpa suara.

"Ma, ayo pulang... Arrggh." Buru-buru ada tangan yang tarik tangan gue, menjauh dari mama. Alhasil, gue yang mau lepasin mama malah nggak jadi.

"Gilang, mama nggak ada hubungannya sama sekali. Lo kalo mau culik, culik gue aja. Gue yang pernah bersangkutan sama lo!"

"Gue culik mama lo, karena dia penghalang terbesar gue buat dapetin lo. Gara-gara dia, gue jadi hidup menderita! Gara-gara dia juga, sekarang mama udah nggak ada! Bukannya adil kalo dia juga mati?"

"Gue mohon, lo jangan lakuin itu ke mama. Gue janji, gue bakal lakuin apapun yang lo minta, asal mama gue selamat. Gilang, gue mohon." Mau nggak mau, gue berlutut dihadapan Gilang dengan tangan yang bertaut. Gue berusaha bikin Gilang percaya.

Gilang jatuhin lututnya, dia samain posisi tubuh gue. "Ca, kamu udah sering bikin janji-janji manis itu. Tapi, nggak ada satupun yang terbukti 'kan? Lain kali jangan kamu ulangi lagi, ya, sayang." Dengan tangan kotor itu, Gilang nyentuh pipi gue. Segera gue tepis, gue kasih Gilang tatapan hina, gue benci Gilang!

Dari situ, Gilang tiba-tiba keluarin tali dan nyuruh gue nurut dengan berbagai ancaman. Saat itu, gue dan mama duduk berseberangan dengan tangan dan kaki yang sama-sama diikat. Gue lihat sorot mata mama yang mulai lemah. Gue yakin mama belum makan apapun.

"Ca, seperti yang gue bilang tadi. MAMA LO BERHAK MATI!"

DOR!

DOR!

DOR!

"MAMA!!" Gue teriak sekenceng-kencengnya. Tepat dihadapan gue, mama terkulai lemah dengan bersimbah darah, gara-gara peluru yang Gilang luncurkan ke mama, mulai dari kepala hingga seluruh badan.

Gue histeris. Gue pingin selamatin mama, tapi ikatan ini susah dilepas. Gue nangis sejadi-jadinya. Gue teriak. Gue marah. Gue bener-bener frustasi!

"SIALAN LO GILANG! Kembaliin mama gue..." Nada bicara gue melemah, sejalan dengan air mata gue yang ngucur deras.

Langkah demi langkah, kaki berpeluh dosa itu jalan ke arah gue. "Udah dong nangisnya, cantik. Aku cuma bikin mama kamu lebih tenang aja kok." Sekali lagi, tangan kurang ajar itu usap pipi gue. Kali ini ada sisa-sisa darah mama yang masih nempel, bahkan sampai ke pipi gue.

"Gue mohon, bunuh gue juga. Gue pingin tenang. Gue pingin ikut mama." Suara gue mulai melemah, saking derasnya air mata.

"Nggak bakal, sayang. Aku cuma mau kamu."

BRAKK!

Pintu besi itu dibuka paksa. Seseorang jalan ke bagian tengah, pencahayaan yang minim bikin pandangan gue kabur. Hampir Gilang lakuin hal gila, untung seseorang... Raka?!

BUGH!

Iya, cowok itu Raka. Entah darimana dia tau gue ada disini. Yang jelas, pertikaian antara Gilang dan Raka terjadi didepan gue. Gue ketar-ketir pas liat pistol itu diarahin ke Raka. Gue nggak bisa berkutik dalam kondisi gue yang diiket.

"Lo nggak usah ikut campur urusan gue sama Caca, atau gue tembak peluru ini buat lo? Kayaknya asik." Gilang bener-bener kejam kali ini. Gue nggak kuat atas kondisi gue sendiri.

"Gue bakal selalu ikut campur tentang masalah Caca. Kalaupun gue mati di tangan lo, gue bakal tutup mata sambil senyum." jawab Raka yang nggak takut sama sekali.

Gilang senyum licik. Sampai pada akhirnya dia benar-benar menggunakan pistolnya. Tapi ada yang ganjil, peluru di pistol itu... udah habis.


Seperdetik berikutnya, Raka berhasil rebut pistol ditangan Gilang.

DOR!

Satu kali tembak, peluru itu melesat tepat di kepala Gilang. Mungkin asumsi gue kalo pelurunya habis itu salah. Buktinya Gilang tak berkutik begitu peluru menembus kepalanya. Jadi, yang berjiwa psikopat siapa?

Gue cuma bisa nunduk. Gue pasrah sama keadaan sekarang. Baru kali ini gue liat aksi laga didepan mata gue sendiri. Ternyata nggak semenarik itu, ternyata bener-bener bikin uji nyali.

"Lo juga mau bunuh gue?" Gue cuma bisa diem waktu Raka lepas satu persatu tali yang dililit ke anggota badan gue.

"Bisa jadi. Kalo lo nolak buat gue antar pulang."

"Jadi, emang bener lo ada niat ngehabisin gue?"

"Habisin lo? Nggak doyan."

Gue rasain kalo Raka berhenti. "Raka, cepetan. Gue keburu pingin peluk mama." Air mata yang sedari tadi ngalir, sekarang bener-bener susah keluar. Mata gue mulai panas.

"Lo nggak usah nyentuh dulu. Nanti sidik jari Gilang susah dideteksi."

"Nggak bisa, Raka! Gue nggak peduli kalaupun gue yang bakal jadi tersangka, asal gue bisa peluk mama lagi. Gue kangen mama."

Setelah itu kita berdua dilanda kecanggungan. Nggak berselang lama, gue denger ada yang datang. Mata gue langsung tertuju ke arah pintu.

Polisi? Jadi, Raka udah panggil polisi?
Dan seseorang...
Bang David?!

<<<<>>>>

Nona Ista [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang