25. Ista egois

1 2 0
                                    

"Nggak usah egois, Ca!" Hampir gelas diatas meja jadi korban. Baru kali ini bang David semarah itu sama gue. Bahkan dia berulang kali bentak gue, padahal sebelum-sebelumnya dia nggak pernah kayak gini.

"Gue? Egois? Lo yang lebih egois! Lo nggak inget, selama pemakaman mama, papa dimana?! Lo nggak inget itu?" Nada gue mulai rendah, dibarengi sama air mata gue yang perlahan turun.

"Jadi, lo dendam ke papa lo sendiri? Dia orang yang bikin lo sama mama bisa makan! Lo juga nggak inget itu?!"

"Iya, gue dendam sama papa! Apa pantes seorang suami yang ditinggal istrinya bakal diem aja? Itu jauh dari kata suami! Papa nggak pantes disebut manusia!"

PLAKK

"JAGA OMONGAN LO!" Satu tamparan berhasil mendarat dipipi gue. Buat pertama kalinya, gue ditampar bang David. Ternyata mereka sama-sama iblis!

"Oke, lo cuma nyuruh gue buat jaga omongan, itu berarti gue nggak perlu jaga perasaan orang lain. Termasuk perasaan lo dan perasaan papa. Gue nggak sudi ketemu papa walaupun papa udah nggak ada, dan gue juga nggak sudi ketemu papa walaupun papa busuk didalam tanah!"

BRAKK

Gue tutup pintu sekenceng-kencengnya. Gue pingin lebih marah, tapi gue juga ngerasa sedih banget setelah dapet perlakuan kasar dari bang David.

Gue akhirnya nangis. Gue nggak hirauin bang David yang gedor-gedor pintu kamar. Gue lagi pingin sendiri. Emang seharusnya dari awal bang David nggak usah nyusul ke sini. Urusan Panji belum selesai malah muncul masalah baru.

"Ca, lo buka pintunya apa pilih gue dobrak?!"

"Gue lagi pengen sendiri! Lo nggak usah ikut campur!"

"Kita harus selesain masalah ini. Tolong lo buka pintunya!"

Gue nggak kasih respon apapun. Gue masih nangis sejadi-jadinya, tapi gue bener-bener tahan suara gue. Gue khawatir nanti tetangga kira gue kenapa-napa. Walaupun emang aslinya kenapa-napa.

BRAKK

Alhasil, pintu didobrak. Bagus usaha lo! Usaha rusakin pintu orang!

"Ca, gue minta maaf. Gue nggak bermaksud nyakitin lo. Maafin gue, Ca."

"Pergi lo! Gue nggak mau liat lo! PERGI!"

"Gue nggak bakal pergi sebelum lo maafin gue."

Gue dengar langkah kaki yang mulai dekat. Gue ambil bantal dan lempar bantal itu ke arah bang David berdiri. "PERGI!"

"Ca, tenangin diri lo." Gue tau apa yang gue lakuin nggak mempan. Terutama waktu jarak bang David dan gue yang makin dekat.

"Pergi lo! Gue nggak butuh abang kayak lo! Lo cuma beban buat gue!"

Gue sadar akan ucapan gue. Gue liat bang David yang dari tadi berusaha bikin gue tenang, akhirnya diam ditempat dia duduk. Gue jadi nggak enak sendiri. Suasana jadi tenang, tapi masih ada rasa bersitegang.

"Apapun keputusan lo, gue yakin itu yang terbaik. Gue pamit pulang." Bang David mulai berdiri. Kayaknya dia beneran bakal pulang ke kota.

"Pintunya nanti beli aja, ya. Nyuruh orang buat pasangin. Gue cuma bisa kasih uang buat ganti rugi. Maafin gue." Bang David kasih beberapa lembar uang diatas nakas. Abis itu, dia keluar dari kamar.

Gue bingung sekarang mau ngapain. Gue ngerasa jahat banget hari ini. Realita kali ini bener-bener berat.

Akhirnya gue susul bang David ke kamarnya. Gue intip sedikit dari pintu. Gue liat dia lagi duduk sambil liatin foto, yang gue yakin itu foto keluarga kami. Nggak lama dari situ dia beranjak buat siap-siap pulang.

Gue beraniin diri buat masuk. "Bang.." ucap gue lirih.

Bang David noleh dan kasih senyuman ke gue. Rasa bersalah gue sekarang makin menggebu-gebu. Mau nggak mau, gue nunduk.

"Jangan pulang."

"Nggak bisa, Ca. Kasian papa lagi sakit, nggak ada yang jagain."

"Tapi,.."

Bang David pegang kedua pundak gue. "Ca, gue hargai keputusan lo. Kalo emang lo nggak bisa, tolong biarin gue yang jagain papa. Gue tau papa emang jahat, tapi kalo pas lagi sakit gini, gue nggak tega liat papa. Tolong pahami keadaan, Ca."

Gue ngangguk. "Gue minta maaf sama perkataan gue tadi." Gue berusaha tegar, tapi nyatanya sulit. Air mata gue akhirnya jatuh lagi.

"Nggak apa-apa, nggak perlu nangis. Gue paham lo kebawa emosi, makanya ngelantur. Buat hal yang jarang gue lakuin, lo mau peluk nggak?"

Gue ngangguk lagi. Emang didetik ini gue butuh dipeluk. Rasanya hidup berat banget. Gue nangis sejadi-jadinya.

Setelah agak mendingan, bang David lepasin pelukannya. "Pipinya merah. Masih sakit?"

Gue cuma bisa kasih isyarat berupa anggukan. Emang rasanya masih sedikit ngilu.

"Mau cium?"

Gue langsung cubit lengan bang David. "Lo apa-apaan sih?! Gila lo!"

"Setelah bilang gue beban, lo berani bilang gue gila. Ternyata gini, ya, perlakuan lo ke gue. Padahal gue cuma becanda."

Gue misuh-misuh lagi. Hidup kalo nggak bersyukur, ya, misuh.

"Ca, gue minta maaf banget buat perlakuan kasar gue ke lo. Gue bener-bener diluar kendali. Gue jahat banget, Ca. Maaf, ya, udah bikin lo sakit hati."

"Jangan terlalu nyalahin diri sendiri. Gue jadi pengen nangis lagi."

"Nangis mulu. Itu ingus lo banjir!" Bukannya dapat perhatian, malah dapat ejekan. Bang David ketawa puas liat keadaan gue yang kucel gini.

"Gue pulang dulu, ya? Nanti kalo lo butuh apa-apa, bilang ke gue. Gue siap datang kesini. Kecuali kalo lo butuh duit, gue nggak bisa ngasih, gue lagi nabung."

"Setelah papa sembuh, lo bisa balik kesini lagi?" Gue harap-harap cemas sama bang David. Bagi gue, keluarga yang tersisa cuma Mbah dan bang David, makanya gue ngerasa kesepian kalo bang David pulang.

"Gue nggak janji. Gue juga harus kuliah. Ini udah permintaan mama juga kan? Mau nggak mau, itu harus. Pokoknya sering-sering hubungin gue aja. Gue usahain nggak sibuk."

"Kalo ada yang nanyain gue, tolong jangan kasih tau. Gue bosen tinggal di kota."

"Termasuk Raka juga? Dia sering nanyain lo. Kasian gue sama dia."

"Iya, termasuk Raka."

Bang David mulai ambil napas panjang dan buang napas dalam sekali hembusan. Berat banget hidupmu, mas.

"Gue tau lo disini nyari ketenangan, sekaligus biar lupa sama kejadian di gudang tua itu. Tapi, semua ini nggak harus ditutup buat orang lain. Lo juga pasti ingat, Raka yang udah selamatin lo, Raka yang udah nemuin lo. Seengaknya, jangan bikin Raka makin bingung, Ca."

"Buat sementara waktu aja. Gue bener-bener nggak siap buat ketemu Raka, apalagi keluarganya. Mereka bakal bawa gue ke kota. Gue nggak mau." keukeuh gue buat nolak bang David.

Kalo dipikir, emang bener apa yang bang David bilang, Raka udah banyak bantu gue. Tapi, ada rasa yang bikin gue nggak pingin ketemu dia.

Gue nggak siap ketemu Raka.

<<<>>>

Nona Ista [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang