Rinjani, Nata, dan Gilang, masih terus berputar di daerah sekitar Blok M, mencari satu titik yang tak kunjung ketemu. Rinjani dan Rhea harus mendatangi tiga titik esok hari, dua titik sudah ketemu dalam maping malam itu, namun satu titik lagi masih tersembunyi atau memang ada kesalahan arahan.
Tak tega melihat Gilang yang jadi ikut ditumbalkan menemani maping malam itu karena Gilang memang bukan anggota Hima, apalagi Gilang naik motor sendirian, tak ada teman ngobrol di belakangnya, ditambah lagi perasaan Nata yang merasa sesat karena menuruti kemauan Rinjani yang tak ingin dibonceng Gilang, akhirnya Nata pun memutuskan untuk membiarkan Gilang pulang.
"Lo balik aja Lang," ucap Nata.
"Eh kenapa?"
"Daripada lo capek. Ini kan acara Hima, nggak enak aja gue, lo jadi ikut-ikutan terlibat padahal tadi lo niatnya nyamperin temen lo doang kan?"
Gilang berpikir, lalu menatap Rinjani yang menunjukkan raut baik-baik saja berada di belakang jok motor Nata.
"Yaudah kalau gitu. Gue balik ya. Jangan lupa anterin Rinjani sampe rumah,"
"Iye,"
Rinjani masih setengah sadar dengan keputusan Nata, antara bingung tapi merasa kasihan juga dengan Nata kalau harus mengantarnya sampai rumahnya. Dan sekarang hanya ada mereka berdua berkeliling di wilayah Blok M, mencari titik yang ternyata ada di depan mata mereka. Keduanya saling tatap dan tersenyum. Semalaman dicari-cari, ternyata sudah mereka lewati sejak tadi. Kayak lagi di gunung kena setan keder, puter-puter puter-puter, tapi di situ-situ aja melewati jalan yang sama.
Mereka salah melihat tikungan di peta.
Ketemu tiga titiknya, selesai lah maping, mereka langsung menuju rumah Rinjani yang ada di wilayah Bogor. Tapi dari Jakarta menuju Bogor, itu cukup lumayan jauh. Waktu juga sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Akhirnya Rinjani memutuskan untuk diantar sampai stasiun saja. Karena rumah Nata berada di Depok, Nata memutuskan untuk mengantar Rinjani sampai Stasiun Depok.
Tak disangka, sepanjang perjalanan menuju stasiun, Nata membuka sedikit cerita kehidupan pribadinya.
Rasa cinta Nata dengan basket juga tak kalah besar dengan hobi menulisnya. Sejak usia dua tahun, ayahnya sudah membelikannya bola basket, padahal ayahnya lebih sering bermain futsal. Bahkan sejak kecil, di tengah siang bolong pun ayahnya selalu bermain sepakbola. Alhasil, kulitnya berwarna coklat hampir gelap.
"Jadi, bokap gue dari kecil selalu beliin bola basket. Alasannya sederhana, dia cuma nggak mau anaknya panas-panasan dan kulitnya berubah kayak dia," Nata bercerita sembari tersenyum, kepalanya agak menoleh ke kanan agar suaranya bisa terdengar Rinjani.
"Emang bokap Kakak kulitnya gelap banget?"
"Iya hahahaha padahal aslinya dia putih. Karena sering kejemur aja dari kecil, jadi pigmennya nempel, eh nggak balik warna kulitnya," Nata tertawa, diikuti tawa Rinjani.
LeBron James adalah salah satu pebasket idolanya. Kisahnya yang hanya dibesarkan oleh ibunya, membuat Nata tersentuh dan merasa salut, karena sangat bertolak belakang dengan Nata yang sangat disayangi oleh ayah dan ibunya. LeBRON James: King of The Court karya B. J. Robinson merupakan buku yang menginspirasinya, sebuah kado dari ayahnya saat ia berusia 12 tahun pada 5 Mei 2007.
'Nothing is given, everything is earned!' prinsip LeBron yang satu ini, sejalan dengan pemikiran Nata tentang menjadi seorang jurnalis yang ia sebut sebagai pekerjaan profesional yang bisa dilakukan siapapun. Artinya siapapun bisa mendapatkan profesi itu, dengan berusaha.
"Bokap juga selalu ngebeliin buku-buku biografi pebasket dunia atau Indonesia. Tujuannya biar gue semangat main basket. Tapi ternyata gue nggak seserius itu di basket. Gue ternyata punya bakat lain,"
KAMU SEDANG MEMBACA
17 Juta Tahun Cahaya
RomanceKelemahan Rinjani Sehna adalah rasa simpatinya. Ada lelaki mendekat dan perhatiannya selangit, nggak perlu ganteng pasti langsung memikatnya. Penyematan anti-keadilansosialbagiseluruhrakyatyanggoodlooking memang cocok diberikan kepadanya. Apalagi be...