4

57 11 2
                                    

Saat Nata melajukan motornya melalui jalan wilayah Tanah Baru yang akan menuju ke Stasiun Depok, hujan pun turun deras setelah awan gelapnya sudah mewanti-wanti sejak pukul tiga sore. Panik, Rinjani tanpa sadar memegang pinggang Nata, sembari setengah menundukkan kepalanya di belakang punggung Nata. Anehnya, Rinjani tidak ragu memegang pinggang Nata. Baru bertegur sapa hari itu, namun Rinjani merasa telah mengenalnya lama, hingga Rinjani merasa aman dan tenang.

Sejak dulu, setiap dibonceng teman lelakinya, bahkan dibonceng sahabat lelakinya, ia tidak pernah berani memegang pinggang. Paling hanya meremas sedikit baju, yang jika ada polisi tidur membuat duduknya oleng.

Nata yang merasakan genggaman erat Rinjani melingkari pinggangnya, hanya diam sembari menatap jemari Rinjani. Nata juga tersentak dan tak mengerti mengapa Rinjani seolah terasa seperti sahabat karib yang sudah lama mengetahui satu sama lain.

Nata pun membelokkan motornya ke sebuah bengkel yang sudah setengah tutup.

"Pak, numpang neduh ya," kata Nata dengan sopan pada pemilik bengkel.

"Silahkan silahkan. Mau masuk dulu sekalian ngeteh?" Bapak itu menyambut ramah sapaan Nata, bahkan mengajak masuk ke dalam rumahnya yang terletak di belakang bengkel.

"Wah tidak usah Pak, terima kasih. Kami di sini saja,"

Nata memandang wajah Rinjani yang dipenuhi bulir-bulir hujan, kaos lengan panjang hitam Rinjani basah tapi tidak kuyup, karena mereka berteduh sesegera mungkin. Rinjani mendekap tubuhnya dengan tangannya sendiri, karena hari itu dia tidak bawa motor dan tidak memakai parka hijau army lusuh andalannya. Pikiran Nata mulai berpetualang, hidung mancung Rinjani seperti terasa sudah sering ia cubit, pipinya terasa sudah sering ia belai halus, paras Rinjani seperti sudah ada bersamanya sepanjang hidupnya.

Sekitar 20 menit mereka berteduh dalam diam. Akhirnya Rinjani membuka pembicaraan untuk memecah kebisuan.

"Kak, kamu dulu SMA di mana?"

"SMAN 20,"

"Serius? Ada sahabat aku tuh di situ,"

"Siapa?"

"Dia kakak kelasku waktu SD, terus dia masuk SMAN 20, namanya Aldika,"

"Lah itu sih temen sebangku gue pas kelas sepuluh,"

"Serius? Astaga sempit banget Depok,"

"Rumah lo kan di Bogor, kok...?"

"Dulu aku SD, SMP, SMA di Depok, baru pindah ke Bogor pas kuliah,"

"Ohhh. Gue ada nih kontaknya. Gue SMS ah, gue bilang ya sekampus sama lo," kata Nata sembari menatap Rinjani meledek.

"Eh Kak ngapain? Nggak usah,"

"SMS ah,"

"Kak jangan ih. Nanti aku diledekin, males banget,"

Nata tersenyum ke arah Rinjani, lalu ia menepuk bahu Rinjani dengan tangan yang mengepal. "Iya iya, gue nggak SMS. Becanda doang," katanya sembari berdiri mendekat ke arah Rinjani. Ada aliran yang menjalar dari jemari Nata yang menyentuh bahu Rinjani, tapi Rinjani mengabaikannya dan tetap melanjutkan obrolan mereka. Nata jadi penasaran kisah di balik persahabatan Rinjani dengan Aldika Ramadhan, yang bisa dibilang wajahnya tidak ganteng tapi memang Aldika ini pemberani banget, dan merupakan Ketua Basis Tawuran sekolahnya dulu. Meskipun sekolah negeri, dia diam-diam mengumpulkan pasukan.

Alasan tawuran mereka juga sebenarnya sangat sepele. Kalah main futsal, berujung saling ledek, hingga sakit hati. Beberapa anak sekolahnya sering dipalak, khususnya anak kelas sepuluh, karena 'anak negeri' sering dicap anak-anak yang cupu jadi mereka suka seenaknya minta duit buat beli rokok. Dan Aldika paling tidak bisa melihat pemandangan itu.

17 Juta Tahun CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang