Memanfaatkan weekend dengan berolahraga sudah menjadi rutinitasku sejak lama. Meregangkan otot-otot setelah hampir setiap hari beraktivitas, mampu membuatku tetap waras hingga detik ini.
Disinilah aku sekarang, melakukan stretching di antara banyaknya orang di Gelora Bung Karno. Aku sudah biasa seperti ini sendirian, yang mana dulu selalu kulakukan bersama Rayyan. Kami berusaha untuk olahraga setidaknya seminggu sekali. Dan aku masih rutin melakukannya, sendirian, tanpa Rayyan.
Kupasang AirPods di telingaku agar tak perlu mendengar suara apapun selain lagu di playlist Spotify-ku. Setelah itu, kumulai berlari kecil sambil sesekali bersenandung mengikuti irama musik.
Jika weekend seperti ini, semua kalangan bisa kita temukan di sini. Mulai dari beberapa pejabat politik beserta rombongan pengawalnya yang menurutku tak masuk akal, artis ibu kota narsis yang banyakan nge-vlog daripada olahraganya, sampai orang yang tidak kita sangka-sangka akan bertemu dengannya bisa di jumpai di sini.
Seperti saat ini, aku kembali bertemu dengan pria si ban pecah. Aku tak tau harus memanggilnya apa mengingat kami bahkan tak pernah berkenalan secara langung. Jadi, panggilan 'pria si ban pecah' sudah paling benar menurutku walaupun aku tidak akan memanggilnya langsung seperti itu juga.
"Sendirian mbak?" Tanyanya berusaha menyesuaikan pace lari-ku. Aku mengangguk lalu mencoba untuk senyum.
Sementara itu, kucoba memelankan langkah kakiku berharap pria ini meninggalkanku lebih dulu. Tapi sudah hampir tiga puluh menit berlalu, dia masih mengikuti. Seperti tak berniat sama sekali meninggalkanku sendirian. Sok kenal sok akrab banget!
"Kalau mau duluan, silahkan mas. Saya pelan banget larinya soalnya" ucapku sembari berharap dia mengiyakan dan segera pergi.
Aku tak menoleh ke arahnya, hanya menatap lurus ke depan namun kudengar dia terkekeh pelan.
"Nggak kok mbak. Saya malah sengaja, udah lama juga nggak lari sesantai ini."Hell yeah! Ini termasuk hinaan gak sih?!
Mungkin melihatku tak merespon ucapannya sama sekali, pria aneh ini kembali berbicara.
"Maksud saya nggak seperti itu, mbak. Kaki saya kan abis terkilir dan belum benar-benar pulih tapi saya nggak peduliin tetap maksain lari. Jadi mungkin sudah saatnya untuk lari-lari santai dulu."Tapi tetap aja kali, lo nurunin pride gue sebagai pelari mingguan disini!
"Nggak kok mas. Santai aja."
Setelah kurang lebih sejam berlari, aku mengecek running watch-ku dan cukup untuk hari ini. Pria aneh itu masih belum berhenti, dia bahkan menambah pace larinya dua kali lipat dari yang sebelumnya. Lari santai katanya, omong kosong macam apa itu!
Tak memperdulikan pria aneh itu, aku mencari tempat untuk beristirahat sekalian sarapan. Dan tujuanku ke tempat bubur ayam langgananku bersama Rayyan.
Kusapa mas Adi ─penjual bubur. "Seperti biasa ya mbak?" tanyanya.
Aku mengangguk. Saking seringnya aku kesini, mas Adi bahkan sampai tau menu yang akan kupesan. Awal kesini tanpa Rayyan, dia heran namun katanya tak berani menanyakan padaku. Tapi karena lama kelamaan aku kesini selalu sendiri, dia mengira aku putus dengan Rayyan. Betapa terkejutnya dia ketika kuberi tau kalau Rayyan sudah tak ada, "Innalilahi mbak. Saya turut berduka ya. Nggak nyangka secepat ini" katanya saat itu, masih kuingat.
Lelah sehabis lari rasanya hilang saat semangkok bubur ayam tersaji di hadapanku. Aku mulai menikmati, dan rasanya lezat, as always.
....
Sayang hari ini pulang cepat ya kalau bisa.
Chat yang di kirim Ibu sejam yang lalu, baru kubaca sekarang. Dapur sedang hectic-hecticnya sejak pagi hingga sore ini. Aku bahkan sampai tak ada waktu untuk makan siang.
Aroma ayam bakar limau di atas meja seakan memanggilku untuk melahapnya sesegera mungkin. Tapi kuputuskan untuk membalas pesan Ibu terlebih dahulu.
Maaf baru balas bu. Okey noted. Emang jadi ya dinner nanti malam? Bukannya keluarga Rey bilangnya nggak bisa ya?
Oke. Ayam bakar limau, i'm coming.
Menurut yang kudengar beberapa hari lalu, dinner kali ini tujuannya untuk membahas lebih lanjut tentang pernikahan Gista dan Rey. Namun bedanya dengan dinner sebelumnya, keluarga besar Rey ikut serta hadir sekaligus silaturahim, katanya.
Namun tadi malam sekitar pukul 22.00, Gista men-forward chat Rey ke grup WhatsApp keluarga. Pesan yang kurang lebih mengabari kalau dinner keluarga untuk besok malam tepatnya malam ini kalau bisa diundur ke hari lain saja, karena satu dan lain hal yang tidak dia sebutkan.
Hanya butuh jeda dua menit, balasan Ibu masuk kembali.
Iya sayang katanya malam ini aja. Yaudah deh kita ngikut aja lagian dirumah juga kok. Hati-hati ya nyetirnya!
Baiklah. Sangat tak konsisten. Masih sambil menikmati makananku, aku di kagetkan dengan panggilan masuk dari Gista.
"Gimana Gis?"
"Lo udah tau kan entar malem keluarga Rey bakal datang ke rumah?" Tanyanya di balik telepon.
"Iya, tadi Ibu udah nge-chat. Harus banget ya ada gue?"
Kudengar Gista tertawa ─sedikit di paksakan. "Ya menurut elo? Please dong, bantu gue ya?"
"Iya deh, gue balik dikit lagi."
"Lagi ngapain emang?" Gista bertanya di iringi suara klakson, mungkin masih di jalan pulang.
"Lagi makan. Lo lagi di jalan ya?" tanyaku memastikan.
"Iya, kedengaran ya? Kok lo baru makan? Ntar sakit lagi."
Aku hanya tertawa. Sebelum mematikan sambungan, Gista mengingatkan sekali lagi untuk jangan sampai telat. Nggak janji lagi ya, Gis!
Sebenarnya ada dan tidaknya aku sebentar malam tidak akan ada bedanya juga, dinner-nya pasti tetap berjalan. Sangat tidak mungkin jika acaranya tiba-tiba berhenti karena batang hidungku tidak terlihat. Itu semua hanya keinginan Gista, dia hanya ingin menunjukkan betapa harmonis keluarganya pada orang lain.
Saat ini tidak ada yang kubutuhkan selain berendam di air hangat. Tapi kuurungkan niatku, malas jika harus pulang dulu ke rumah.
Sejujurnya aku tak begitu suka dengan sifat Tante Cita ─calon ibu mertua Gista. Setiap bertemu, dia pasti selalu ingin membahas tentang Rayyan dan itu cukup membuatku risih. Pernah sekali, sebulan setelah kepergian Rayyan, tiba-tiba saja dia cerita kalau anak kerabatnya selamat di kejadian yang menimpa Rayyan saat itu. Maksudku, sangat tidak pantas untuk di ucapkan apalagi di hadapan orang saat itu masih berduka. Like, apa yang di dapetin dari cerita lo itu? Nggak ada.
Sejak saat itu, Tante Cita menjadi daftar teratas orang yang paling tidak ingin kutemui. Makanya sebisa mungkin ku hindari dinner kali ini, seperti yang sudah-sudah. Entah kejulidan apa lagi yang dia ingin katakan, lebih baik menghindar selagi bisa.
Gem dimana?
Aku memilih tidur, mengabaikan chat masuk bersamaan dengan dering handphoneku yang berbunyi beberapa kali. Tak perlu kulihat, sudah pasti Gista.
Gue nggak pengen pulang, Gis. Maaf banget ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Give Me Your Forever
ChickLitMeet Gemma, a women who doesn't believe in love ─again. "Terimakasih sudah mengajarkan bahwa cinta tak selamanya harus saling memiliki." - "Aku nggak janji bisa buat kamu bahagia. Tapi selama sama aku, i promise you're not hurt." -A man who believe...