Bab 3-Tentang Lagu

13 1 0
                                    

Lagu, gitar, dan panggung termasuk dalam bagian dari kepingan memori yang hilang.

>>Aksara<<

Tatapan Sara jatuh pada benda yang sudah di simpannya sedari tujuh tahun yang lalu, mungkin jika Sara mendekati dan menyentuhnya maka debu dengan hangat menyapa permukaan tangan.

Nyatanya enggan.

Sara hanya mampu memandang tanpa banyak kata yang keluar dari mulutnya. Jangankan untuk bicara, bergumam saja rasanya amat sangat sulit. Manusia mana yang sanggup menahan sakitnya kepergian. Sara saja merasa dirinya tidak sanggup.

Gitar. Bagaimana Sara harus mendeskripsikan alat musik itu? Kelu rasanya mengingat hal indah yang nyatanya untuk saat ini disebut sebagai kenangan, yang menyakitkan.

Karena Aksa.

"Sara," panggil Rafa yang sadar jika Sara mulai mengingat kembali kenangan yang dilaluinya bersama Aksa.

Rafa hanya tidak ingin Sara terlalu obsesi menemukan Aksa. Tujuh tahun bukan waktu singkat merasakan kehilangan, Rafa paham perasaan itu. Tapi jika seperti ini rasanya sangat menyakitkan melihat Sara selalu sedih, tawa yang Sara perlihatkan kadang terasa menyakitkan karena semua itu palsu. Rafa tahu.

"Sebelum pergi, dia bilang mau buat satu lagu tentang kami, Raf. Aksa pernah janjiin itu ke gue," ucap Sara tanpa mengalihkan pandangannya pada gitar yang terbungkus rapi tergantung di dinding kamar miliknya.

Rafa berjalan menghampiri Sara. Tidak ada salahnya mendengar lagi cerita tentang Aksa, bukan? Meskipun Rafa sebenarnya sangat mengerti bagaimana Aksa tanpa perlu Sara jelaskan lagi, tapi bagi Rafa mendengarkan Sara bercerita bisa membantu gadis itu mengurangi rasa rindunya kepada Aksa.

"Tau nggak Raf," ucap Sara membuka cerita.

"Kenapa?" tanya Rafa menanggapi. Lelaki itu setia berdiri di samping Sara ikut memandang gitar yang tergantung di dinding.

"Aksa pernah bilang ke gue kalau dia pengen banget jadi penyanyi terkenal, tapi orang tua Aksa nggak pernah setuju sama keputusannya. Orang tua Aksa tuh maunya dia punya pekerjaan tetap yang bisa jamin masa depannya.

Dan lo tau, gue setuju sama orang tuanya. Gue juga nggak mau Aksa jadi penyanyi karena gue egois saat itu. Gue nggak mau Aksa dikenal banyak orang, yang akhirnya akses gue buat terus bareng sama dia juga terbatas. Bucin banget nggak sih?"

Rafa tersenyum miring, mengangguk pelan menanggapi cerita Sara.

"Gue nyesel pernah bilang nggak setuju sama cita-cita dia cuma karena gue takut kehilangan sosok dia. Andai gue tau kalau saat ini nyatanya gue beneran kehilangan dia, gue lebih milih dukung cita-cita dia. Seenggaknya gue masih bisa ketemu walau dia sibuk, nggak kayak sekarang. Hampa."

Rafa mengusap lembut pucuk kepala sara. Kadang Rafa tidak mengerti dengan pemikiran perempuan, mereka tahu pembahasan yang mereka bicarakan bisa saja melukai hatinya sendiri tapi kenapa masih membahasnya dengan detail yang akhirnya menangis karena sakit itu muncul.

>>Aksara<<

Rafa meletakan satu gelas cokelat hangat di depan Sara. Gadis itu butuh sedikit rasa tenang setelah sedih datang menghampiri. Rafa menghembuskan napas berat sebelum duduk di samping Sara. Gadis itu terlihat rapuh sekarang.

"Udah mendingan?" Tangan Rafa mengelus pelan kepala Sara, mencoba menyalurkan sayang miliknya dengan harapan dapat menenangkan perasaan Sara.

"Mau jalan?" pertanyaan Rafa dibalas gelengan oleh Sara, moodnya sedang tidak mendukung untuk melakukan apapun. Dia hanya sedang merindukan Aksa.

AKSARAWhere stories live. Discover now