Bab 7 - Tentang Kelu

2 0 0
                                    

Rumah, lapangan, perumahan komplek dan seluruh isinya. Hanya membuat Sara sakit teringat tentang Aksa.

>>Aksara<<

Malam hari, terlepas dari kesibukan Sara seharian ini. Gadis manis itu sedang sibuk memakai skincare rutin ke wajah. Tidak lupa body lotion sebagai penutup perawatan setiap malam yang dia lakukan.

Ting!

"Adik?" panggil suara lelaki yang sudah dua bulan ini Sara rindukan kabarnya.

Sara mengusap tangan yang sudah dibaluri body lotion sambil berjalan keluar kamar, menghampiri Rian, Abang tersayang Sara, karena memang hanya Rian saudara yang Sara punya.

"Kapan sampai?" Mendapati Rian sudah duduk manis di mini bar dapur milik Sara yang tidak lain pilihan desain seorang Rafa.

"Sepuluh menit yang lalu," jawab Rian santai sambil minum teh botol yang berada di dalam kulkas.

Sara hanya mengangguk pelan, kemudian duduk di samping Rian. Tidak lupa juga Sara mengambil gelas yang tergantung di pojok meja bar dan menuangkan teh dingin bermerk The Bottle tersebut ke dalam gelas mewah miliknya.

Hening cukup lama. Sibuk menikmati suara televisi yang Rian nyalakan ketika datang sebelum akhirnya lelaki itu memilih opsi untuk duduk di mini bar dapur milik Sara.

"Sampai kapan?" tanya Rian sambil memandang gelas berisi teh tersebut, mengistimewakan segelas teh seakan wine berada di tangannya.

Sara terdiam. Dia mengerti kemana arah pembicaraan Rian, tetapi sulit rasanya untuk dia jawab. Apakah ada opsi untuk mengabaikan? Sara rasa tidak, karena Rian cukup tidak suka diabaikan.

"Abang," ucap Sara dengan nada malas, sekan ingin Rian menghentikan obrolan ini.

Rian kini berfokus menatap Adik cupunya yang memiliki ekspektasi tinggi pada dunia, seharusnya Sara tahu jika itu adalah hal yang salah. Sara tidak berani melihat ke arah Rian, terlalu malu untuk mengakui seberapa naif dirinya.

"Sampai kapan jadi bodoh Sara? C'mon." tanya Rian lagi sambil memperhatikan wajah Sara dengan lekat. Tatapannya sangat tajam dan Sara cukup merasakan sorotan mata Rian yang sangat ingin menelannya hidup-hidup.

"Mau sampai kapan bertaruh dengan ekspektasi dan harapan, hm?" tanya Rian lagi.

Kali ini lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu mengelus surai rambut Sara, menyalurkan kasih sayang dan rindu dari seorang kakak kepada adiknya. Rian masih setia memperhatikan wajah Sara yang saat ini membuang pandangannya.

"Sampai semua baik-baik aja," jawaban Sara membuat satu alis Rian terangkat.

"Kapan semua akan baik-baik aja?"

"Saat Aksa kembali, maybe," jawab Sara dengan santai.

Rian tersenyum mengejek, "Aksa pergi, itu pilihan dia Sara. Keputusan kembali atau nggak, itu juga pilihan dia. Nggak ada gunanya kamu sibuk cari dia, kalau kenyataannya dia nggak mau kamu cari."

Sara menggeleng pelan, matanya kini memanas. Hatinya menyangkal apa yang Rian ucapkan. Aksa yang Sara kenal tidak seperti itu, dan Aksa yang Sara kenal, bukan pergi melainkan hilang. Apa tidak bisa mengganti kata pergi menjadi menghilang saja? Agar Sara tidak terlalu sakit menerima kenyataan yang sebenarnya.

"Aksa hilang bukan pergi, Abang," jelas Sara membenarkan apa yang ada dipikirannya sekarang.

"Aksa pergi tujuh tahun lalu, usia delapan belas tahun, dan itu tandanya Aksa bukan anak kecil lagi. Aksa pergi bukan hilang," penjelaskan Rian membuat Sara semakin cemas, air mata yang sedari tadi dia tahan perlahan mulai deras melewati pipi chubbynya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 15 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AKSARAWhere stories live. Discover now