WAKTU DAN KENANGAN

9 4 1
                                        

     Waktu dan kenangan...

     Dua hal itu memang tak akan pernah bisa dipisahkan, dan tak bisa kita hindari. Satu hal yang ku kagumi tentang waktu adalah kau tak akan tahu dimana dirimu akan berada di masa depan. Apakah kamu akan berada di atas menggapai mimpi mu? Atau berada di bawah sambil menyesali segalanya?

     Diriku sedang kebingungan, aku tak tahu dimana diriku berada saat ini. Di atas atau di bawah? Erisa Tiendhard, adalah seorang gadis muda yang telah mencapai mimpinya, namun sedang dihantui rasa penyesalan. Kamu pasti tahu penyesalan ini, penyesalan dimana dirimu mempunyai kesempatan untuk mencegah sesuatu terjadi di masa depan, tapi kamu tak menghiraukannya. Itu yang sedang aku rasakan.

   Kenapa dulu aku tak melakukan
nya...?

...

Erisa.

   Terdengar suara si pembawa acara tengah menghibur para penonton. Di balik tirai merah ini aku berdiri dengan gaun emas ku, menunggu dipanggilnya namaku. Seperti biasanya diriku mengatur nafas. Pengalaman selama bertahun-tahun berenang di dunia tarik suara tak bisa menghilangkan rasa gugup sebelum aku tampil. Selalu seperti itu.

   "Para hadirin sekalian silahkan sambut bintang acara kita malam ini! Erisa Tiendhard!"

   Akhirnya namaku dipanggil. Tirai raksasa itu terbuka perlahan memberiku jalan untuk memasuki panggung. Yang pertamakali ku lihat adalah lampu sorot yang sangat terang menghantam wajahku. Kemudian sorak dan tepuk tangan pun terdengar saat wajahku yang telah dihiasi riasan nampak di hadapan para penonton. Yang bisa kulihat hanyalah orang-orang kelas tinggi dengan pakaian mereka yang sangat rapih. Tak bisa ku temukan pakaian lainnya selain jas hitam yang membuat mereka terlihat gagah. Namun, dua sosok agak menarik perhatianku. Mereka tak mengenakan jas, tetapi seragam yang hanya dikenakan oleh orang-orang terpilih saja.

    Seragam hitam pekat dihiasi lencana, dengan sebuah ikat lengan di lengan kiri mereka bersimbol silang dan empat titik. Simbol itu telah menjadi bagian dari hidup negara ini. Simbol yang dahulu aku kira hanyalah coretan belaka, kini menjadi lambang Indonesia. Kedua pria itu berpenampilan layaknya seorang jenderal, namun percayalah pangkat yang tengah mereka punya belum apa-apa.

   GH atau Geutih Hideung, mereka disebut dengan nama itu. Sebuah pasukan khusus yang dibentuk oleh orang terkuat di negeri ini.

   Aku tak menyadari bahwa diriku telah mulai bernyanyi selagi berpikir demikian. Mikrofon emas di hadapanku ini telah menjadi saksi bisu perjalanan karir ku sebagai seorang penyanyi. Tanpanya diriku seolah tak bisa mengeluarkan suara. Beberapa menit aku memanjakan para penonton dengan nyanyian ku, sampai lagu berakhir dan kini giliran telingaku yang dimanjakan dengan sorak dan tepuk tangan dari mereka.
Semua orang terlihat sangat puas. Termasuk dua orang GH yang duduk di kursi depan itu. Malam ini aku hanya menyanyikan satu lagu saja, oleh karena itu aku sesegara mungkin berjalan kembali ke dalam tirai.
Kembali ke ruang tata rias. Aku menatap diriku sendiri di cermin. Setiap kali aku selesai mempersembahkan penampilanku, aku selalu teringat kembali ke masa lalu. Aku selalu melihat sosok remaja berkacamata penuh mimpi dan harapan, namun terhalangi ketidakadilan. Terkadang membayangkan betapa jauhnya aku telah berada membuatku emosional. Mengingat kembali perjalanan dan rintangan yang aku tempuh untuk sampai ke titik ini.

   Tapi...

   Aku tak bisa memaafkan diriku sendiri karena telah membiarkan seseorang dalam hidupku memilih jalan yang tidak diinginkannya, yang tidak aku inginkan.

   Handphone ku bergetar oleh notifikasi sebuah pesan. Saat aku buka dan periksa, ternyata hanya sebuah berita harian. Aku bisa saja langsung mematikan handphone ku kembali karena aku benci politik. Namun satu nama menghentikan ku melakukannya.

   "Tuan Panca Rogo dan Presiden Rusia Vladimir Putin Bertemu, Terbentuk Aliansi?" Itu yang dikatakan berita tersebut.

   Panca Rogo...

   Tak pernah ku sangka namanya akan besar seperti ini. Seorang pemimpi yang benar-benar mewujudkan mimpinya. Dan seorang laki-laki yang pernah menjadi bagian hidupku.

...

   Tengah malam menunjukkan rembulan di singgasananya, menerangi bumi dengan cahaya. Istana negara terlihat semakin cantik di malam hari dengan cahaya rembulan sebagai periasnya. Di balik meja makan yang amat panjang sedang duduk satu sosok tengah menyantap makan malamnya. Suara sentuhan sendok dan garpu dengan piring satu-satunya suara yang mengisi kekosongan ruang makan yang sangat-sangat megah itu.
Sinar rembulan yang menembus jendela menyorot dirinya, membuat medali yang menempel di dadanya berkilau mewah. Satu medali sederhana yang memiliki arti sangat penting- sang presiden. Inilah sosok yang sangat dihormati di seluruh negeri, inilah sosok pemimpi yang berhasil meraih mimpinya.

     Selesai dengan hidangannya, sang diktator menghela nafas pendek sebelum berdiri dari kursinya. Kantor utamanya menjadi tujuan. Panca Rogo menatap keluar jendela dengan kedua tangannya dilipat ke belakang layaknya seorang pemimpin. Dia mengangkat dadanya tinggi penuh percaya diri.

     Terdengar ketukan di pintu, menarik perhatian sang diktator.

    "Silahkan..."

    Seorang wanita berpakaian rapi memasuki kantor. Sekretaris sang diktator- Matz Ei. "Tuan."

   "Sudah aku bilang engkau tak perlu mengetuk pintu untuk masuk, Ei...," Ucap sang diktator, tak berbalik sama sekali.

   "Maafkan saya, tuan. Saya hanya ingin mengingatkan tuan untuk beristirahat. Besok anda harus menghadiri acara ulang tahun Paspatrin," wanita bersanggul itu berjalan mendekati pemimpinnya.
Dua orang kuat di dalam negeri itu berdiri berdampingan. Menatap ke arah yang sama.

   "Matz..."

   "Iya, tuan?"

   "Engkau adalah saksi mata perjuanganku selama menjadi seorang pemimpin negeri ini. Diriku berharap kelak engkau akan menceritakan semua kepada generasi penerus bangsa tentang bagaimana aku membuat Indonesia berdiri dengan tegak," ucap Panca sang diktator.

   "Akan ku abadikan jasa dan kehebatan mu bukan hanya dalam lisan, tuan. Tapi juga tulisan yang kelak tak akan pernah terlupakan," jawab sang sekretaris. "Bahkan negeri ini sendiri akan menjadi bukti perjuanganmu dalam membangkitkan negara kita."

   Senyum tipis terlukis di wajah sang diktator. Menoleh ke arah sekretarisnya kemudian mengangguk pelan. "Terimakasih."

   "Saya yang seharusnya berterimakasih, tuan. Saya dan seluruh warga negara ini. Berkat anda hidup kami menjadi lebih baik, berkat anda kabut gelap yang menyelimuti Indonesia telah sirna dan akhirnya kita bisa bersinar bersama negara-negara lainnya," ujar Matz. Berbalik menghadap pimpinannya juga dengan senyum tipis.

   Dua insan itu saling bertatapan untuk sesaat. Menikmati momen berdua didampingi cahaya rembulan dan angin malam yang sejuk. Keduanya memulai dari awal yang sama, mengurus negara sekuat tenaga. Panca dan Matz adalah rekan kerja yang saling melengkapi satu sama lain.

   "Anda sebaiknya lekas tidur, tuan. Sudah sangat larut...," Saran sang sekretaris. Merapikan dasi merah yang melingkar di kerah baju sang diktator. "Saya permisi..."

   Suara ketukan sepatu hak tingginya menggema saat Matz berjalan keluar kantor. Panca yang sudah merasa kelelahan kini mendengarkan saran sektretaris nya untuk berisitirahat walaupun hanya untuk beberapa jam saja.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DICTATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang