Di rumah aya di penuhi kerabat mamah dan papahnya, keluarga besar juga datang mengucapkan bela sungkawa. Aya terduduk lemas di samping kakeknya, aya belum sempat memberikan gelar yang di minta kakeknya. Namun kakeknya sudah pergi meninggalkannya, entah apaa yang terjadi di esok hari. Rasanya ia tidak lagi memiliki semangat untuk berangkat ke kampus, ia tidak lagi tertarik dengan gelarnya.
Aya mungkin tidak menangis, tapi ia sangat terpukul. Bahkan di saat menyedihkan seperti sekarang, entah apa yang menahan air matanya untuk keluar. Aya hanya menenggelamkan kepalanya di atas lipatan tangan, dan tetap di posisi yang sama. Seseorang duduk di sebelahnua dan mengelus kepalanya lembut. "Abi... " Panggil aya lirih.
"Nangis aja aya, jangan ditahan lepasin aja. " Kata abi meyakinkan Aya, Aya menyandarkan kepalanya di pundak abi.
"Gue kuliah buat kakek bi, tapi kakek pergi sebelum gue wisuda. Padahal kakek janji mau nemenin gue sampe wisuda, gue udah hilang harapan buat lanjut kuliah bi. Gue udah ga tau apa alesan gue buat tetep kuliah. " Aya memang sebelumnya tidak berniat untuk kuliah, karna Aya rasa dirinya sudah bisa bekerja tanpa harus kuliah. Mudah saja untuk Aya mendapat pekerjaan, ia juga yakin orangtuanya akan membantunya untuk mendapat pekerjaan.
"Masih ada gue ay, lo bisa jadiin gue alesan buat bertahan. Gue ga bisa ay kalo ga ada lo, gue ga semangat ngampusnya. " Abi mengutarakan isi hatinya pada Aya, ia tidak ingin Aya tidak mencapai gelar sarjana. Aya yang mendengar itu mengangkat kepalanya dari pundak abi, dan melihat raut wajah lelaki itu. Abi yang merasa di perhatikan secara terang-terangan, memalingkan wajahnya ke arah berlawanan.
"Lo suka ya sama gue. " Tebak Aya, Kata-kata Aya mengejutkan Abizar karna terlalu mendadak.
"Ngga." Sangkal Abizar, bukannya ia tidak suka dengan Aya. Tapi ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin hal itu, suasananya sedang sangat tidak menyenangkan. Sedangkan Aya tersenyum, hatinya terluka namun menahan diri agar tidak terlihat.
"Iya lah lo kan sahabat gue masa ga suka sama gue, jangan mengartikan ke arah lain deh. Lagian lo kan lagi pdktan sama aini anak fakultas kesehatan, jangan di gantung anak orang kasian bukan baju. " Aya tidak ingin terlihat dirinya berharap pada abi, walaupun ia ingin tapi Aya rasa ia harus tetap mendukung apa yang abi mau. Karna Aya mendengar tumor itu, abi pun tidak mengiyakan atau menyangkal rumor itu.
"Udah ah jangan bahas itu. " Abi merasa sangat tidak nyaman saat mendengar perkataan Aya, abi tidak pernah mengelak rumor itu karna menurut abi tidak penting. Toh semua orang tau, siapa yang sebenarnya ingin abi jadikan seseorang yang spesial.
'Drrrt.. Drrrrrt.. '
Handphone Aya menerima panggilan Aya pun mengambil handphone nya di saku celana, di layar tertulis nama
'Ibnu I.K'
"Hallo ay?. "
"Iya kenapa nu? "
"Di sana ada siapa aja anak kampus?. "
"Ada abi doang nu. "
"Oh udah ada abi di sana?, yaudah geh. "
"Kenapa nu? Mau kesini mah kesini aja. "
"Ngga deh nanti aja bareng yang lain, turut berduka ya ay. Jangan sedih nanti kelas sepi, kalo lo sedih. "
"Bisa aja lu, iya dah makasi yak. "
Setelah panggilan terputus Aya kembali ke tempat semula, melihat abi yang masih senantiasa menunggu di tempat yang sama. Ayapun memposisikan dirinya kembali di samping abi. Menyadari kedatangan Aya abi menatap aya, dengan tatapan bertanya.
"Oh itu tadi Ibnu telpon katanya di sini ada siapa aja, teruus gue bilang ada abi." Ara menjawab sepontan karna tatapan abi yang meminta jawaban.
"Terus?. " Tanya abi penasaran.
"Yaudah dia cumaa ngucapin turut berduka, terus bilang dia kesininya nanti bareng yang lain. " Ujar Aya menyampaikan apa inti dari obrolannya dengan Ibnu. Abizar mengangguk angguk, abizar sedikit cemburu setiap ada orang yang memperhatikan ara sama seperti dirinya.
"Muka lo pucet banget yakin mau ikut ngubur kakek lo?. " Tanya abi khawatir.
"Gue bisa kok, tenang aja. " Jawab Aya singkat, saat ini badannya sudah mulai tidak enak. Tidak ingin lagi banyak berbicara, ia memeluk lututnya sambil melihat mayat kakek di depannya. Sedangkan orang tuanya sibuk menjamu para tamu, Aya menghela nafas seraya meratapi hidupnya yang akan menjadi lebih sepi.
Sedangkan Abizar fokus menatap gadis keras kepala tersebut, rasanya ia ingin mendoakan agar gadis di sebelahnya ini pingsan sebelum berangkat ke makam. Karna Aya tidak akan menghiraukan perkataannya sampai hal itu benar-benar terjadi langsung, kepadanya. Hal itu lah yang membuat Abizar ingin selalu dekat dengan Aya, ia ingin menjadi orang pertama yang bisa menopang gadis itu saat terjatuh. Gadis yang terlalu mandiri, yang bahkan untuk membeli sepatu saja menggunakan uang jajannya sendiri.
Seseorang datang menghampiri abi dan Aya. "Aya kamu di sini aja ya, kayanya kamu cape banget. Di sini aja sama abi, dari pada pingsan di jalan siapa yang mau gotong coba. Beratkan. " Ujar ayah Aya.
"Ga. Aya mo ikut. " Jawab Aya keras kepala.
"Yaudah tapi kalo pingsan gotong badan sendiri. " Ancam lelaki paruh baya tersebut. Mendengar hal tersebut Abizar tersenyum, perhatian yang di berikan orang tua Aya berbeda. Dibanding memaksa, orang tuanya lebih memilih untuk memberikan pilihan yang sulit untuk di tentang. Aya terlihat badmood mendengar perkataan orangtuanya itu, dan beranjak pergi ke kamarnya meninggalkan Abizar sendiri tanpa Kata-kata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend-Shit (Sudah Terbit)
Teen FictionAku benci ketidak jelasan, aku membenci sesuatu yang rumit. kamu terlalu rumit dan tidak jelas, entah apa yang membuatmu terus menjadi rumit. seperti ingin menggenggam ku, namun di waktu yang bersamaan seperti ingin melepaskan ku. Mungkin salahku, k...