Bab 7

128 3 0
                                    

Bab 7
Melarikan Diri

Suara petir dan kilat yang seakan hendak menyambar tubuh Ayya, membuat Pasha reflek berdiri lalu berlari menghampiri. Lekas dipeluknya dari belakang. Menempelkan pipinya ke pipi Ayya yang seperti tidak terganggu dengan suara petir menggelegar.

Pasha mengangkat wajah, menatap lekat lebih dekat ke paras cantik dalam dekapan. Sambil menahan debaran jantung yang tak beraturan, perlahan Pasha mengecup lembut kening gadis itu. Menunggu reaksi sejenak, namun Ayya tetap diam tak bergerak. Tak lama berselang Pasha pun terlelap sambil mendekap istrinya.

Pagi menjelang. Suara kokok ayam jantan membuat Ayya perlahan mulai membuka mata. Namun terasa ada yang janggal. Sesuatu yang hangat tengah memeluknya erat. Bukan itu saja, sosok itu tidur dengan posisi bibir yang masih menempel di keningnya. Celakanya, tangan Ayta ikut pula balas memeluk Pasha. Bagaimana bisa mereka tidur dengan saling berpelukan seperti ini? Apa yang terjadi? Seketika Ayya membelalakkan mata, lalu berteriak sejadi-jadinya.

Aaaaaaaaa ...!

Pasha yang masih terlelap, terlonjak bangun demi mendengar suara gaduh di dekatnya.

"Ada apa Ayya? Kamu kenapa?" tanya Pasha dengan wajah tanpa dosa.

"K--kamu!" Ayya mengarahkan jari telunjuk tepat ke hidung Pasha. "Apa yang telah kamu lakukan, Om?!" Ayya melotot tak senang.

Sejenak Pasha mulai sadar sepenuhnya. Mengingat kembali kejadian tadi malam. Namun dia sendiri juga heran. Pasalnya dia tidur sambil memeluk Ayya dari belakang. Tapi mengapa saat bangun pagi posisi mereka saling berpelukan? Pasha garuk-garuk kepala, bingung sendiri.

"Enggak usah lebay juga, kali. Malu didengar Emak, nanti dikira aku habis ngapa-ngapain kamu," kata Pasha kalem, sambil mengacak rambutnya.

"Apa? Lebay katamu? Kan aku sudah bilang, jangan sentuh aku dulu. Aku ini masih perawan, Om."

"Terus ...?" Pasha menatap dalam-dalam wajah pias di hadapan.

Sejenak Ayya terdiam, terlihat gugup dan salah tingkah. Dia sendiri bingung mau berkata apa.

"Pokoknya aku nggak mau kejadian ini terulang lagi." Ayya menghentakkan selimut lalu keluar kamar sambil membanting pintu.

--------

Sejak kehebohan pagi itu, Ayya menjadi enggan membuka suara. Dia masih tetap terus melayani Pasha seperti biasa. Namun tiada lagi canda tawa. Membuat Pasha jadi merasa serba salah. Diamnya Ayya membuat dunia lelaki itu terasa muram tak bercahaya.

"Ayya, maafkan aku. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Entah sudah berapa kali ia mengucapkan kata-kata itu, tapi sikap Ayya masih belum mencair juga.

"Ayya, haruskah aku sujud di kakimu, Sayang?"

"Preet!" Ayya mendengkus pelan. Akhirnya terdengar juga suara dari mulut gadis itu.

Kontan Pasha tertawa senang, demi mendengar tanggapan konyol gadis itu.

"Duh, enggak sopan banget. Masa' suami sedang merayu terus dibalas dengan ucapan, preet," protes Pasha masih sambil tertawa.

Karena kegigihan Pasha yang terus membujuk rayu, membuat Ayya akhirnya luluh juga. Maka hari ini dia mulai mengatur sebuah rencana besar yang sejak lama telah disusunnya.

"Om. Nanti sore Emak mau berangkat ke dusun sebelah. Kemungkinan sampai beberapa hari Emak mengobati orang sakit di sana. Jadi ini kesempatan emas buat Om untuk bisa pergi dari sini." Ayya berkata dengan mimik serius sambil berbisik-bisik di telinga Pasha.

"Benarkah?" Tanpa sadar Pasha menganga saking senangnya.

"Iya, makanya mulai sekarang Om harus segera bersiap-siap. Besok pagi kita berangkat."

"Tapi Ayy. Kok aku jadi merasa orang yang tidak tahu balas budi, jika aku melarikan diri di saat Emak tidak ada di rumah." Seketika rasa bimbang menghantui Pasha.

"Tidak perlu merasa begitu. Om tidak perlu balas budi. Karena sudah menjadi kewajiban bagi seorang tabib untuk mengobati pasiennya sampai sembuh. Justru Emaklah yang salah, mengambil kesempatan dalam kesempitan dengan memaksa kita menikah."

Pasha tercenung mendengar penuturan Ayya. Benar juga. Awalnya Pasha sempat menolak menikah dengan mengajukan bayaran yang lebih banyak. Namun Mak Jamilah tetap kukuh pada persyaratannya. Sehingga terpaksa ia dan Ayya menikah saat itu juga.

"Kalau kita pergi secara baik-baik saja, bagaimana?"

"Sudah pasti Emak tidak akan mengizinkan. Karena Emak ingin aku tetap tinggal di sini untuk melanjutkan tugas sebagai tabib."

"Kenapa harus kamu yang menjadi tabib? Emak 'kan bisa menurunkan keahliannya pada orang lain?"

"Entahlah, Emak bilang akan menurunkan ilmunya hanya padaku."

"Jadi?"

"Besok pagi kita berangkat jalan kaki ke desa kecamatan. Menginap semalam di rumah Uwak Inayah. Terus paginya Om berangkat sendiri ke Kota Agung. Dari sana nanti Om naik travel ke Jakarta. Gimana?"

"Kamu nggak sekalian pergi ke rumah pamanmu yang di Kota Agung itu?"

"Enggak. Untuk sementara aku akan tinggal di sini. Meminta pengertian dari Emak, bahwa Om sudah punya istri dan tidak mungkin selamanya tinggal di dusun ini."

"Nanti kalau Emak marah sama kamu, bagaimana?" Pasha tampak cemas memikirkannya.

"Semarah-marahnya Emak, beliau tidak akan mencelakaiku. Percaya padaku."

"Aku percaya," jawab Pasha sambil mengangguk mantap. Tanpa sadar lelaki itu meraih kedua tangan Ayta lalu mengenggamnya hangat, karena rasa terima kasih sekaligus terharu, ternyata gadis muda ini punya pemikiran bijak dan terencana. Sikapnya terkadang lebih dewasa dari usianya.

---------

Selepas menunaikan Sholat Shubuh, Ayya dan Pasha lekas berkemas. Kemudian keluar dari rumah dengan berjalan sambil mengendap-endap. Berusaha pergi tanpa ketahuan oleh siapapun. Beruntung langit masih gelap. Sehingga keduanya leluasa berjalan cepat meninggalkan Dusun Kesturi. Dinamakan Kesturi, karena di daerah ini masih banyak ditemukan Pohon Kesturi.

Matahari sudah berada tepat di atas kepala, ketika Ayya dan Pasha tengah berusaha hendak mendaki tebing yang cukup tinggi. Pasha mendongakkan kepala, mencoba mengukur tinggi tebing dan kesanggupan mereka berdua untuk mendakinya.

"Tidak ada jalan lain, Ayy? Apa kita harus mendaki tebing ini?" Pasha tampak meragukan kemampuan mereka berdua.

"Tidak ada. Cuma ini jalan satu-satunya." Ayya menjawab, lalu duduk selonjoran melepas lelah.

"Kamu pernah melewati tebing ini?" Pasha ikut duduk di samping Ayya. Meraih botol minum lalu meneguk isinya hingga tandas. Berjalan kaki hampir lima jam, membuatnya terlihat lelah.

"Sering juga, kalau ketinggalan ojek."

Penduduk Dusun Kesturi biasa menjual hasil hutan ke desa kecamatan dengan berjalan kaki sekitar lima jam ke desa terdekat, kemudian dilanjutkan dengan naik ojek motor lebih kurang enam jam lagi menuju desa kecamatan. Sayangnya ojek motor hanya ada di Hari Sabtu dan Minggu. Di luar itu, warga dusun terpaksa berjalan kaki melalui jalan pintas yang kini sedang mereka jalani.

"Kamu sendirian?" Pasha makin penasaran.

"Ya, enggaklah. Setiap pergi keluar dusun, kami selalu berangkat bareng-bareng, minimal lima atau sepuluh orang.."

"Dan sekarang hanya kita berdua ...."

"Kenapa? Kamu takut, ya, Om?" Ayya tertawa mengejek.

Pasha terdiam sejenak. Walau bagaimana pun ia sempat trauma karena pernah jatuh dan tersesat dalam hutan sendirian. Tapi kali ini, demi melihat semangat Ayya yang begitu besar untuk menolongnya keluar dari dusun, membuat ia bertekad tidak akan menyia-nyiakan usaha gadis itu.

Setelah istirahat sejenak, keduanya mulai mendaki. Pasha membiarkan Ayya yang lebih dulu merayap ke dinding tebing. Beruntung tebing itu tidak terlalu curam. Mereka sengaja memilih jalan yang ditumbuhi rerumputan dan tumbuhan perdu. Di tengah pendakian Pasha tak henti-henti mengingatkan agar Ayya lebih berhati-hati. Namun ketika sedikit lagi hendak mencapai puncak, tetiba sebelah kaki Ayya tergelincir lalu jatuh terguling. Membuat Pasha berteriak panik.

Bersambung

Jangan Sentuh, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang