Bab 1

283 11 1
                                    

Bab 1
Rencana Touring

Di sebuah kafe yang tak terlalu ramai, tampak enam orang lelaki berusia rata-rata tiga puluhan sedang asyik bercengkerama. Mereka baru saja kembali bersua setelah beberapa tahun terpisah. Keenam lelaki tersebut bersahabat sejak sama-sama aktif di Mapala Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Setelah merajut lagi tali pertemanan di akun media sosial, mereka sepakat untuk mengadakan pertemuan. Banyak yang mereka bicarakan. Selain saling menanyakan kabar, tak lupa menceritakan tentang keluarga, kegiatan atau pekerjaan. Tampaknya keenam sahabat itu telah sukses meniti karir, serta hidup sejahtera bersama keluarga masing-masing.

"Rasanya kurang afdol, kalau hanya mengadakan pertemuan semacam ini." Pasha melerai derai tawa kelima sahabatnya yang sedang bersenda gurau. Serentak semua terdiam, kemudian menatap lurus ke muka lelaki berkulit putih, berhidung mancung di hadapan.

"Jadi apa rencanamu?" Togar, lelaki keturunan Sumatra Utara itu bertanya serius.

"Bagaimana kalau kita merayakan pertemuan ini dengan touring pakai Motor Trail?" Pasha menjawab penuh semangat. Seakan ingin mengenang kembali masa muda yang pernah mereka habiskan di belantara hutan raya.

"Boleh juga!" Akmal berseru senang.

"Setuju!" Gilang mengacungkan jempol.

"Aku ikut!" Tak mau kalah Gito bersuara. Semua sudah mengatakan kata sepakat, tinggal seorang lagi yang belum menyahut. Raut lelaki yang bernama Randi itu menatap ragu ke wajah lima orang sahabat lamanya.

"Tapi aku nggak punya Motor Trail, Bro." Randi menjawab tatapan tanya mereka.

"Alah gampang itu. Kamu tinggal beli. Berapalah harga sebuah Motor Trail bagi seorang agen sembako kelas kakap macam dirimu." Togar menepuk pelan pundak Randi. Disusul anggukan kepala sahabat yang lain.

"Iya. Aku juga belum punya. Tapi demi kalian ... juga mengenang masa lalu. Aku akan kembali menjelajah hutan dengan metode yang baru. Bagaimana, kalian setuju 'kan kita touring Hari Minggu depan?" Pasha kembali berucap  disertai nada berapi-api. Sekali lagi ingin membakar jiwa muda para sahabatnya.

"Di mana kita touring?" Akmal bertanya antusias. Diikuti tatapan penasaran dari yang lain.

"Kita mulai dari Kota Agung, Lampung. Tujuan kita ke desa terisolir, Desa Sanggi. Di sana ada beberapa dusun lagi yang lebih terpencil. Kita akan menjelajahi hutan pedalaman yang belum pernah dijamah oleh orang kebanyakan. Bagaimana?" Pasha menatap sahabatnya satu persatu.

"Kedengarannya cukup menantang." Gito mengangguk-angguk pelan.

"Jadi hari apa kita berangkat?" Gilang bertanya ingin memastikan.

"Kita berangkat Hari Jum'at siang. Kumpul di Pelabuhan, jangan lupa membawa Motor Trail masing-masing," tegas Pasha cepat.

"Oke!" Semua serentak menjawab. Pasha mengangguk senang, tak disangka keinginan yang terlintas tiba-tiba disetujui begitu saja oleh mereka. Percakapan selanjutnya keenam lelaki itu membahas teknis keberangkatan dan apa saja yang akan mereka lalukan selama menjelajahi hutan di ujung Pulau Sumatra tersebut.

--------

Menjelang pukul sembilan malam, Pasha baru saja mematikan mesin mobil di garasi. Rasa penat dan lelah menggerogoti tubuhnya. Namun ada gejolak rasa tak sabar bila mengingat sebentar lagi dia akan kembali berpetualang. Sebuah Motor Trail sudah dibeli, beserta perlengkapan remeh-temeh pun telah dipersiapkan cukup  matang. Tinggal memberitahukan rencana ini kepada Letta, istrinya.

"Kamu mau touring ke mana, Mas?" Ada rasa cemas di nada suara Letta, setelah mendengar penuturan suaminya.

"Ke pedalaman Lampung." Pasha menjawab sambil tersenyum kecil, melepaskan kancing kemejanya satu-persatu.

"Kenapa harus sejauh itu, Mas?' Letta tampak keberatan, sambil membantu membuka kemeja sang suami, kemudian meletakkannya di sudut kamar.

"Di sana arenanya lebih menantang." Pasha menjawab tenang kemudian melangkah menuju kamar mandi. Air hangat yang mengguyur tubuh selepas pulang kantor, menghilangkan sedikit rasa penat dan pegal-pegal di persendian. Namun setelah selesai membersihkan diri, dia kembali mendapati Letta masih berwajah murung. Perempuan yang dinikahinya  lima tahun lalu itu, terlihat duduk termenung di sisi ranjang. Rona kekhawatiran terpancar jelas di seraut wajah nan ayu. Pasha menggeleng pelan, kemudian menghampiri, membelai kepala istrinya. Dia memaklumi kecemasan Letta.

"Aku nggak kan lama, Sayang. InsyaAllah paling lambat Hari Minggu sore aku kembali ke rumah. Kamu tenang saja, ya." Pasha mengecup lembut ubun-ubun istrinya.

Letta tersenyum samar. Entah firasat buruk apa yang kini tengah mengganggu. Tetiba rasa takut kehilangan sang suami begitu kuat menghantui. Meski sudah berusaha untuk menepis dugaan-dugaan buruk, tapi tetap saja ia tak bisa tidur nyenyak malam ini.

Malam semakin larut. Terlihat Letta tengah terbaring gelisah dengan mata yang masih terpejam rapat. Sesekali dia merintih menyebut-nyebut nama Pasha. Ada rembesan air mata di kedua pipinya. Di tengah resah gelisahnya, mendadak dia terbangun. Kemudian terduduk lemas sesaat. Sementara di sampingnya Pasha sedang tertidur pulas.

"Oh, syukurlah. Ternyata tadi aku hanya bermimpi." Letta bergumam sendiri lalu menarik napas berat. Setelah memastikan suaminya baik-baik saja, ia menarik selimut kembali dan menempelkan sebelah pipinya ke dada Pasha. Merasakan alunan desahan napas lelaki itu saat terlelap di pelukannya.

"Mas, pokoknya kamu nggak boleh pergi touring kali ini." Letta berkata lugas, di sela-sela menyiapkan sarapan di atas meja.

"Loh, bukannya kita udah membicarakan masalah ini tadi malam? Kenapa dibahas lagi?" Tak urung Pasha mengerutkan kening, mendapati reaksi keras dari sang istri.

"Entahlah, Mas. Aku nggak mau terjadi sesuatu yang buruk terhadapmu. Aku nggak mau menjadi janda, Mas." Mendadak Letta sesenggukan di kursi makan. Susu coklat hangat dan setangkup roti tawar gandum tak lagi menggugah selera untuk disantap.

"Hust ... kamu bicara apa, sih. Aku di sana cuma tiga hari. Lagian ini bukan pertama kali aku pergi touring 'kan?" Pasha mendekat lalu mengelus bahu Letta.

"Iya, aku tau. Tapi kali ini entah mengapa aku merasa berat melepas kepergianmu, Mas. Aku takut kamu tidak kembali." Letta makin mengeraskan suara tangisnya. Membuat Pasha kian panik sekaligus bertanya-tanya.

"Cup, cup, cup. Enggak bisa begitu Letta sayang. Apa kata teman-temanku nanti kalau mendadak aku membatalkan rencana ini."

"Ganti saja dengan acara yang lain. Enggak mesti touring ke luar kota segala 'kan bisa." Letta nampak bersikeras menahan rencana keberangkatan Pasha.

Pasha terdiam sejenak. Tidak tahu harus berkata apa. Namun keheningan itu pecah seketika, saat ponsel Pasha berdering di atas meja. Gegas ia meraihnya, lalu buru-buru menjauh dari tatapan tajam Letta.

[Ya, ada apa, Ran?]

[Kita jadi 'kan berangkat besok siang?]

[Nanti kita bicarakan lagi.]

Terpaksa Pasha menjawab dengan suara setengah berbisik. Sesekali melirik ke arah ruang makan. Di sana Letta masih menanti dengan wajah tak senang.

[Oke. Kita kumpul di tempat biasa.]

[Sip.]

Pasha menutup pembicaraan. Melangkah cepat ke dalam kamar. Mengambil tas ransel kemudian berpamitan sebelum berangkat ke kantor.

Bersambung

---

Jangan Sentuh, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang