Bab 3
Mendadak NikahDi sebuah rumah sangat sederhana, beratap daun rumbia, berdinding anyaman bambu. Tampak seorang lelaki tengah terbaring tak sadarkan diri. Tubuhnya penuh memar dan luka. Hampir sebagian pakaian yang melekat tercabik-cabik serta menganga. Sosok tak dikenal itu digerubungi oleh warga. Rupanya mereka tengah berdebat tentang seseorang yang baru saja ditemukan tepat di pinggir sungai dekat ladang salah satu milik warga.
"Mak Jamilah, cepatlah obati dia. Jangan sampai orang ini mati. Bisa kena musibah kita nanti." Seorang tetua adat dusun angkat bicara, melerai perdebatan sengit di antara mereka.
"Iya, Mak. Tunggu apa lagi. Kami tidak mau peristiwa dua tahun silam kembali terjadi. Gara-gara kita tidak mau menyelamatkan orang yang tersesat di dusun ini." Seorang lelaki usia enam puluhan juga ikut bicara. Nada suaranya tak kalah lebih keras dari sang ketua adat.
"Betul!"
"Betul!"
"Tunggu apa lagi, Mak?"
Terdengar suara gemuruh saling bersahutan dari mulut-mulut yang semakin tak sabar demi melihat sikap diam tabib perempuan yang duduk di hadapan. Sepertinya mereka masih trauma pada musibah banjir bandang yang pernah menimpa. Banjir tak disangka-sangka terjadi sehari setelah mereka membiarkan seorang pemburu liar terluka di pinggir sungai yang membelah dusun. Si pemburu sempat memohon pertolongan pada salah satu warga, namun mereka tidak mempedulikan. Malah membiarkan tubuh penuh luka si pemburu disantap oleh binatang yang hendak diburunya sendiri, Harimau Sumatra!
Mendadak malamnya hujan turun sangat deras. Sungai yang biasanya hanya sedalam lutut orang dewasa meluap, melimpah, dan melahap sesisi dusun. Hanya beberapa rumah saja yang selamat. Sejak saat itu mereka selalu mengait-ngaitkan peristiwa mengerikan tersebut dengan kelalaiannya yang enggan menolong orang tak dikenal. Tak heran bila kali ini mereka tak ingin kecolongan lagi. Sengaja mendesak sang tabib untuk menolong lelaki yang masih terbaring di tengah-tengah ruang tamu milik Mak Jamilah.
"Aku akan mengobatinya, tapi dengan satu syarat ...." Mak Jamilah berkata pelan namun penuh penekanan. Menatap wajah-wajah gusar di hadapan satu persatu. Membuat yang mendengar terpaksa menahan napas harap-harap cemas.
"Apa, Mak?" tanya salah seorang dengan mimik penasaran. Tak biasanya seorang tabib meminta persyaratan sebelum mengobati pasiennya.
"Sebelum dia aku obati, orang muda ini harus menikahi dulu anak gadisku satu-satunya itu!" Mak Jamilah memalingkan muka, menatap tajam ke arah seorang gadis yang sedari tadi hanya berdiri memperhatikan tingkah orang-orang yang memadati rumahnya hingga penuh sesak.
Mendapati semua pasang mata ikut pula menatap ke arahnya, membuat Kinayya yang biasa dipanggil Ayya terlihat gugup dan salah tingkah. Kemudian menatap ibunya dengan mimik wajah protes.
"Eee ... tunggu dulu! Kenapa pula aku yang harus menikah dengan orang tak dikenal ini, Mak?" Ayya buru-buru mendekati ibunya, seperti hendak bernegosiasi.
"Karena cuma kamu satu-satunya gadis yang belum menikah di dusun ini," jawab Mak Jamilah enteng.
"Tapi, Mak. Aku 'kan masih muda, bentar lagi mau melanjutkan kuliah. Masa' harus menikah sekarang?" kilah Ayya panik.
"Untuk apa kuliah? Kamu yang harus melanjutkan tugas emak menjadi tabib kelak." Mak Jamilah seperti tak mau dibantah.
"Iya, betul itu!"
"Siapa lagi yang akan menjadi tabib berikutnya kalau bukan kamu, Ayya!"
"Sekarang tugas pertamamu nikahi dulu calon pasienmu itu, biar kamu dan Mak Jamilah lebih leluasa mengobati dan merawatnya, karena dia nanti sudah menjadi mahrom kalian, ya 'kan Bapak-Bapak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Sentuh, Om!
RomansaTanpa ragu Ayya mulai bersiap hendak menyibak selimut yang menutupi tubuh Pasha. Kontan saja Pasha mencoba hendak mengelak namun lagi-lagi tak bisa bergerak. Karena dia merasa risih dilihat apalagi disentuh oleh perempuan selain Letta. "Tunggu dulu...