Terperosok ke Dalam Jurang

152 4 1
                                    

Bab 2
Terperosok ke Dalam Jurang

"Gimana persiapan kalian, Bro? Semua sudah siap 'kan?" Togar langsung membuka percakapan begitu kelima temannya sudah berkumpul mengelilingi meja bulat dekat jendela kafe.

Sore ini mereka kembali berkumpul di kafe Pojok Bambu. Membicarakan serta mematangkan rencana keberangkatan. Semua tampak semangat empat lima, kecuali muka Pasha yang terlihat murung. Sedari tadi dia hanya diam, seperti ada beban berat yang tengah mengganggu pikirannya. Tak urung membuat kelima sahabat lama jadi bertanya-tanya.

"Bagaimana denganmu, Pasha? Kamu jadi ikut 'kan dengan kita?" Randi kembali bertanya, karena belum mendapatkan kepastian saat menelepon Pasha tadi pagi. Dalam benaknya ada sesuatu yang tak beres pada salah seorang sahabatnya ini.

"Jangan bilang kamu mengundurkan diri dari rencana ini, heh." Gito menepuk pelan bahu Pasha yang masih menunduk kelu.

"Aku tetap pada rencana semula, tapi istriku mati-matian melarangku." Pasha menjawab gusar. Sesekali menyisir rambutnya dengan jari. Lelaki itu tampak resah.

Hahaha!

Spontan suara tawa membahana terdengar dari kelima sahabat lama. Membuat Pasha terbengong sesaat. Apanya yang lucu? Keningnya mengkerut bingung. Menatap wajah temannya satu persatu.

"Manja banget istrimu, Pas. Masa' baru mau ditinggal beberapa hari saja udah mewek." Gito menyela setengah bercanda.

"Emang istrimu nggak pernah ditinggal ke luar kota, gitu?" Akmal mengerutkan alis heran.

"Bukan masalah itu. Malah dia biasa pergi ke luar kota sendiri untuk mengurus bisnisnya sampai dua minggu. Tapi kali ini entah apa yang merasukinya. Sebelumnya tidak pernah dia bersikap seperti ini." Pasha menghembuskan napas berat.

"Kamu rayu aja lagi. Siapa tau dia nanti berubah pikiran." Randi memberi saran. Di antara teman-temannya lelaki ini yang paling bijak menanggapi kegalauan Pasha.

Tersebab merasa tak enak hati pada teman-temannya, akhirnya Pasha memutuskan berangkat diam-diam tanpa sepengetahuan Letta. Maka siang ini, selepas Sholat Jum'at ia gegas pulang ke rumah. Sigap mengeluarkan sepeda motot trailnya. Lengkap dengan sebuah ransel di punggung, secepatnya meninggalkan rumah. Sebelum Letta pulang dari kantornya.

Keenam lelaki yang bertengger di atas punggung motor trail masing-masing itu saling melambaikan tangan dengan senyum terkembang senang. Ketika sosok Pasha tiba di hadapan teman-temamnya. Persis di dekat pintu gerbang Pelabuhan Merak, mereka berkumpul untuk antri masuk ke dalam kapal penyeberangan. Sambil menunggu antrian, keenam kawanan tersebut bertukar cerita setelah tadi saling menempelkan kepalan tinju sebagai isyarat salam. Mereka kompak memakai jaket beserta celana gunung, tak lupa sarung tangan.

Suara memekakkan telinga terdengar saling bersahutan, saat mereka memainkan gas di tangan. Keenam motor itu terus meraung-raung seakan tak sabar ingin segera menyeberang. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya mereka berenam mulai masuk ke lambung kapal.

Pasha berdiri menatap permukaan laut yang tenang. Menghirup aroma kebebasan. Untuk beberapa hari ke depan, ia akan lepas dari semua rutinitas yang kadang membosankan. Kapan lagi bisa bersenang-senang tanpa beban? Begitu, pikirnya. Dia tersenyum miring kala menimang-nimang ponsel di tangan. Sejak pulang dari kator tadi ia sengaja mematikan ponsel, agar Letta tak bisa membatalkan kepergiannya.

"Bentar lagi kita sampai di Bakauheni." Randi menepuk pelan pundak Pasha lalu ikut pula mengenggam jeruji besi yang melindungi pinggiran kapal.

"Kita nginap di mana nanti?" Gito bertanya sambil bersandar di pagar tepian kapal.

"Aku sudah menemukan penginapan di Kota Agung." Akmal memperlihatkan lokasi sebuah hotel di ponselnya.

"Bagus, Bro. Nanti malam kita matangkan lagi rute yang akan kita tempuh," sambung Pasha bersemangat.

Malam setelah melepas lelah sejenak keenam lelaki itu berkumpul sambil mengelilingi sebuah peta. Di lobi hotel mereka tampak serius membicarakan rute mana saja yang akan dijalani. Dalam rapat sesekali mereka menyahut telepon dari istri maupun anak-anaknya. Namun tidak begitu dengan Pasha. Sejak tadi tiada seorang pun yang menghubungi untuk sekedar bertanya bagaimana keadaannya. Pasha tersenyum miris, baru kali ini dia terpaksa pergi tanpa direstui oleh sang istri. Sengaja mematikan ponsel, agar Letta tak bisa melacak keberadaannya. Mungkin saja saat ini perempuan itu sedang panik atau sibuk mencarinya. 'Maafkan aku Letta,' bisik batinnya nyeri.

--------

Di pedalaman hutan Lampung, tampak enam sepeda motor trail tengah menjelajah di jalanan setapak yang sempit lagi becek dan berkelok-kelok. Sesekali mereka menuruni bukit kemudian mendaki lagi terus ke puncak bukit. Suara motor trail yang meraung saling bersahutan memecah kesunyian hutan rimba.

Setiba di sebuah sungai kecil berair jernih, mereka sepakat untuk istirahat sejenak. Ada yang langsung membuka helm lalu mencuci muka. Ada pula yang mengeluarkan botol minuman yang telah kosong kemudian mengisinya di sebuah mata air. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, sejak mereka meninggalkan hotel selepas Sholat Shubuh. Perjalanan yang hampir memakan waktu tujuh jam membuat keenam lelaki itu terlihat cukup kelelahan.

"Kayaknya kita sudah terlalu jauh masuk ke dalam hutan, Bro." Togar duduk selonjoran sambil menyandarkan punggung di sebuah batang pohon.

"Memangnya kenapa? Kamu sudah mau menyerah, ya?" Gilang tertawa setengah mengejek.

"Bukan mau menyerah, Bro. Tapi sepertinya hutan ini masih perawan belum terjamah manusia. Sejak sejam yang lalu kita tidak lagi melewati jalan setapak. Apa mungkin kita tersesat?" Randi memandang berkeliling. Suasana hutan yang lembab sedikit gelap. Karena sinar matahari tertutupi oleh dedaunan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Di sekitar mereka ditumbuhi semak belukar setinggi orang dewasa.

"Iya, sepertinya kita tersesat. Di peta seharusnya kita menjelajah di area barat, tapi di kompas saat ini justru kita berada di area timur." Pasha melingkari denah lokasi yang tercetak di kertas peta lalu mencocokkannya dengan kompas yang ada di tangannya.

"Jadi gimana? Apa kita putar arah lagi?" Akmal membulatkan dua bola mata lalu garuk-garuk kepala.

"Ya, harus itu! Aku tidak mau kita makin jauh masuk ke dalam hutan. Kalau terjadi apa-apa nanti, siapa yang bakal menolong kita?" Gito bangkit dari duduk tampak mulai gelisah, setelah menyadari begitu jauh mereka berlawanan arah dari yang telah disepakati malam tadi.

"Oke. Oke! Tenang, Bro. Siapkan perbekalan kalian, pokoknya sebelum sore, kita harus sudah keluar dari hutan ini dan mencari penginapan di desa terdekat, oke?" Pasha menenangkan teman-temannya yang mulai sedikit panik. Sebenarnya dia sendiri mulai cemas, mengingat jarak yang ditempuh untuk keluar dari hutan sekitar lima atau enam jam lagi.

Setelah berembuk, makan siang dilanjutkan Menjamak-Qhosor Sholat Zhuhur dan Ashar, keenam lelaki itu kembali memacu motor trailnya. Suara iringan kendaraan itu lagi-lagi menciptakan suara bising di tengah balantara yang belum terjamah.

Kali ini Pasha memilih berada di barisan paling belakang teman-temannya. Sebelum terlalu jauh meninggalkan hutan, dia mencoba menikmati indahnya pemandangan kiri kanan jalan. Rasa khawtir yang tadi sempat mengusiknya seolah hilang begitu saja. Entah mengapa, tetiba terbersit di hatinya untuk tinggal lebih lama lagi di dalam hutan yang masih asri ini.

Di saat tengah asik menikmati perjalanan, tetiba terdengar suara lengkingan yang menyayat tak jauh dari Pasha. Lelaki itu menghentikan laju motor lalu melangkah mencari asal suara. Di sebuah ranting pohon, terlihat seekor anak monyet tengah tersangkut di antara ranting pohon. Binatang kecil itu tampak gigih berusaha lepas dari jeratan ranting yang membelit tubuhnya. Melihat kehadiran Pasha, monyet itu mengeraskan suara lengkingan seperti makin ketakutan. Pasha mencoba menenangkan mahkluk mungil itu, sambil mencari cara untuk menolong. Beruntung dia memakai sarung tangan dari bahan karet yang cukup tebal. Sehingga gigitan anak monyet itu tidak sampai melukai jari saat Pasha hendak melepaskan jeratan ranting.

"Nah, sekarang kamu sudah selamat, Kawan. Pergilah cari ibumu. Selamat tinggal." Masih sempat Pasha melambaikan tangan, sebelum monyet kecil itu berlari meninggalkannya. Namun nahas, baru selangkah saja tiba-tiba kaki kirinya terperosok masuk ke dalam jurang. Sungguh semula dia tidak menyadari jika pohon yang ia dekati tadi tumbuh tepat di bibir tebing. Di tambah lagi, jurang tersebut memang tak terlihat karena ditutupi semak belukar dan pohon-pohon besar. Tak ayal, tubuhnya jatuh terguling beberapa kali sebelum mendarat tepat di dasar tebing.

Bersambung

-

Jangan Sentuh, Om!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang