Sangkal

0 0 0
                                    

“Kasihan si Ain, ya…jadi perawan tua.”
“Salah sendiri, sih waktu ada yang ngelamar pertama kali dia nolak. Sangkal itu kalau kata orang tua dulu.”

Begitulah bisik-bisik tetangga ketika Ain melewati beberapa tetangga di kampungnya. Kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau mistis dan kejawen masih sangat kental di daerah tersebut. Padahal apapun yang terjadi adalah kehendak dari Sang Maha Kuasa. Rizki, jodoh dan mati semuanya telah diatur oleh-Nya. Hanya saja terkadang kebetulan yang terjadi sama dengan kepercayaan kolot itu.

Dulu, ia dilamar oleh seorang pemuda desa setelah lebih satu bulan dari kematian ibunya. Sejak ibunya tiada, Ain menjadi tertutup dan tidak banyak bicara. Bahkan ketika ayahnya memberitahukan perihal lamaran tersebut ia hanya menunduk diam. Sedang diamnya seorang perawan dalam syari’at Islam dianggap sebagai persetujuan. Tidak ada penolakan ataupun penerimaan, memang, setelah itu, akan tetapi tampak dari gerak-geriknya bahwa ia tidak menyukai lamaran itu karena ia sedang menjalin hubungan rumit dengan teman sekolahnya. Rumitnya adalah karena laki-laki yang disukai oleh Ain tidak berani memperjuangkan hubungannya untuk ke tahap serius. Hal itu karena  kondisi sosial mereka yang berbeda, baik keluarga maupun lingkungan hidupnya. Sejak itu Ain bertambah murung. Akhirnya, ayahnya memutuskan untuk membatalkan perjodohan tersebut.

Selang beberapa bulan setelah lamaran pertama itu datang lamaran kedua yang merupakan kerabat ibunya. Namun, lagi-lagi ia menolaknya. Hingga beberapa lamaran berikutnya juga ia tolak. Maka jadilah gunjingan di kalangan tetangganya bahwa Ain terkena kutukan menjadi perawan tua, bahkan tidak akan pernah menikah.

“Ayah, aku dapat beasiswa untuk kuliah ke kota. Bagaimana pendapatmu?”
“Jika kamu merasa mampu menjaga diri dan bisa membuktikan bahwa kamu bisa sukses, kenapa tidak, Nak.”
Semburat keceriaan tampak di wajah Ain yang akhir-akhir ini selalu berwajah murung. Mendapat restu dari ayahnya seolah tanaman layu yang mendapatkan hujan. Tumbuh harapan untuk bangkit.
“Lagi pula, aku risih mendengar tetangga selalu menggunjing bahwa aku terkena kutukan, Yah.”
Ayahnya tersenyum sambil mengusap pundaknya. “Maklum, mereka orang kampung yang masih kolot pemikirannya.”
“Ya tapi apa gunanya mereka ikut pengajian setiap minggu kalau masih suka menggunjing?”
Ayahnya hanya terkekeh lalu bangkit dari duduknya, “Sudah malam, kamu cepat tidur biar besok bangunnya tidak kesiangan, Nak.”

Di kamarnya, Ain sulit untuk terlelap. Matanya masih segar memandang  langit-langit kamarnya. Pikirannya jauh berkelana mengingat masa-masa bersama ibunya. Mengisahkan cita-citanya kelak untuk menjadi orang yang sukses dan bisa menghidupi keluarganya supaya ayahnya tidak perlu merantau.

Seutas Benang Rajut di TangankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang