“Ain, benang rajut itu mengingatkanku pada kebiasaan wanita tua.”
Itulah kalimat yang keluar dari mulut Rayhan karena bermaksud untuk menyapanya setelah beberapa hari mereka tidak bertemu. Namun sial nasib Rayhan saat itu karena kalimat yang diucapkannya memantik api kemarahan Ain. Ia hanya diam tak menyahuti sapaan Rayhan. Hanya memutar pandangannya ke sudut lain koridor sekolah. Baginya, kalimat itu seperti ejekan kepada hobinya yang merupakan satu kenangan bersama ibunya.
Bel berbunyi dan semua murid Madrasah Aliyah Al-Hikmah harus memasuki kelasnya maisng-masing. Di sana, di depan kelas XI IPS 1 Ain dan kedua temannya duduk mendengarkan pertanyaan temannya yang lain terkait dengan materi pelajaran ilmu Nahwu bab ‘amil nawasikh yang telah disampaikan Ain dan temannya pada presentasi tadi.
Tiba-tiba saja ia tergagap sendiri karena pandangannya bertemu dengan sepasang mata yang baru saja menggores luka di hatinya. Pandangan dari seseorang yang diam-diam selalu menjelma dalam tidurnya. Tidak hanya satu atau dua kali, melainkan berkali-kali. Ini pertanda bahwa Ain selalu memikirkannya di saat ia dalam keadaan terjaga. Sepasang mata itu tetap mengunci pergerakan Ain meski ia telah mengalihkannya ke sudut lain di dalam kelas.
Tatapan itu menyiratkan penyesalan yang hendak diungkapkan agar segera mendapat pengampunan darinya. Sungguh sesal begitu dalam menggelayut di hati Rayhan. Seusai bubarnya kelas, ia menghampiri Ain dengan langkah tergesa-gesa untuk segara mencapai langkah gadis di hadapannya. “Tunggu.” Satu kalimat lolos dari kerongkongannya namun gadis itu tak berniat untuk berhenti. Kemudia, pada kalimatnya yang kedua ia telah berhasil mencegah langkah gadis itu.
“Aku minta maaf, Ain. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu. Aku hanya tidak tahu kalimat apa yang hendak aku ucapkan sebagai pembuka untuk mengawali pertemuan kita setelah beberapa hari tidak bertemu.”
Sejenak Ain menatap Rayhan lalu mengangguk pertanda ia telah menerima permintaan maaf laki-laki itu. Lalu, Rayhan mengangsurkan secarik kertas yang dilipat menyerupai bentuk love.
“Apa ini?” begitu ucap Ain yang menandakan kemarahannya telah hilang. “Bukan apa-apa. Tapi aku ingin kamu membukanya nanti setelah tiba di rumahmu.” Rayhan masih tetap dengan tangannya yang memegang secarik surat itu. “Tapi aku sedang malas untuk membaca, Han.” Mereka mulai berbicara melewati taman sekolah dan telah mencapai pintu gerbang sekolah. Jalan pulang mereka tidak satu arah dan dengan berat hati harus berpisah.
Senja telah merangkak berubah menjadi petang. Ain harus melewati malam-malam tanpa kehadiran ibunya, hanya sosok ayahnya yang kadang pulang setelah beberapa bulan di perantauan. Namun malam ini dan seterusnya, ayahnya berjanji untuk bekerja mencari nafkah di daerah tempat tinggalnya saja. Mengingat Ain yang hanya sendiri di rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seutas Benang Rajut di Tanganku
RomanceAin, seorang gadis desa yang hidup dalam kungkungan kepercayaan "sangkal" menurut keyakinan suku Madura. Setiap kali ada laki-laki yang datang melamarnya maka akan berakhir ditolak olehnya atau si laki-laki yang mundur dari lamarannya. Lalu, akank...