Samar-samar dari balik dinding Ain mencuri dengar pembicaraan antara ayahnya dan Pak RT. Ia menempelkan telinganya pada dinding pemisah antara ruang tamu dan dapur yang membentuk L. Ia berdiri satu meter dari pintu dapur dengan tangan kanannya memegang nampan yang berisi dua gelas kopi.
“Kalau saran saya, mending diterima saja, Pak Madi. Ini sudah yang ketujuh lho.”
“Kalau saya, Pak RT, bisa saja nerima lamarannya. Tapi, kan, nanti yang akan menjalani anak saya.”
“Iya betul. Tapi sampeyan kan bapaknya, apalagi dia masih gadis. Berarti keputusan ada di tangan sampeyan kan?”
Perbincangan keduanya terus berlanjut sedangkan Ain sudah gusar dalam hatinya. Ingin rasanya ia menyampaikan penolakannya kepada Pak RT saat itu juga dengan menyebutkan dalil dalam Al-Qur’an bahwa pendapat seorang anak juga diperlukan dalam musyawarah. Seperti kisah nabi Ibrahim dalam surat As-Shaffat ayat 102 yang bermimpi menyembelih putranya yaitu nabi Ismail. Lalu, nabi Ibrahim menanyakan pendapat puteranya tersebut dan nabi Ismail menyetujuinya.
Dari kisah tersebut dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam memutuskan suatu persoalan yang berhubungan dengan anak yang sudah mampu berpikir dan diajak bermusyawarah maka juga perlu mendengarkan pendapatnya. Sebab hal ini akan menjadi pelajaran kepada anak kelak untuk bertindak sebagai orang tua yang bijaksana.
“Ain, tolong buatkan minuman untuk pak RT, Nak!”
Ain terkesiap mendengar suara ayahnya. Untung saja nampan di tangannya tidak jatuh. “Iya, Yah. Ini sudah siap.”
Ia berjalan dengan hati-hati dan menyerahkan nampan tersebut kepada ayahnya. Setelah itu, ia membawa kembali nampannya ke dapur.
“Silakan, kopinya, Pak RT.” Terdengar ayahnya mempersilakan kepada Pak RT.
Ain masih diam di balik dinding di depan pintu dapurnya. Ia masih penasaran dengan jawaban ayahnya karena Pak RT dari tadi masih keukeuh membujuk.
“Begini saja, Pak RT. Saya akan mencoba berbicara dengan Ain pelan-pelan. Saya akan bujuk dia. Mungkin lamaran kali ini bisa dia pertimbangkan. Nanti keputusannya akan saya samapaikan langsung ke rumah sampeyan, Pak RT.”
“Baiklah, Pak Madi. Saya harap keputusannya nanti ttidak mengecewakan, ya Pak.”
“Insyaallah yang terbaik, Pak RT.”
“Oh iya, ini kok ada kardus diikat, mau ke mana, Pak Madi?”
“Ini punya Ain, Pak RT. Hari ini mau ke kota. Mau daftar kuliah di sana.” Jawab Pak Madi dengan senyum canggung karena pasti akan mendapat komentar kurang baik.
Begitulah pemikiran tetangganya yang hanya mencukupkan pendidikan anak perempuan di tingkat Aliyah. Itupun sudah dianggap paling tinggi. Karena kebanyakan dari mereka hanya lulusan Madrasah Tsanawiyah bahkan hanya lulusan MI atau sekolah dasar. Bagi mereka, tugas perempuan hanya di kasur, sumur, dan dapur. Jika ingin kehidupan yang lebih baik dari segi ekonomi, mereka tidak perlu pusing-pusing, cukup merantau ke Jakarta, Kalimantan, atau ke Bali bersama suaminya kelak untuk menjaga warung sembako milik tetangga yang kaya.
“Hati-hati, Pak Madi. Biasanya kalau anak sudah kulia kebanyakan jadi pembangkang. Tidak nurut apa kata orang tua.”
“Doakan saja, Pak RT. Semoga anak saya tidak seperti itu.”
“Memangnya sampeyan ada biaya buat nguliahin anaknya ke kota? Di sana kan mahal biasanya biayanya, apalagi biaya hidupnya.” Ujar Pak RT dengan nada sinis.
“Alhamdulillah, Ain dapat beasiswa katanya, Pak.”
“Oh….beasiswanya penuh? Meskipun beasiswa penuh, memang ada buat biaya hidupnya sehari-hari?” Tanya pak RT penasaran.
“Insyaallah semoga dimudahkan sama Allah, Pak.” Sengaja pak Madi memberikan jawaban yang tidak mengundang pertanyaan lagi.
“Baiklah. Saya tunggu jawabannya besok ya, Pak. Permisi.”
“Iya, Pak. Silakan.”
Pak Madi mengantar pak RT sampai depan pintu lalu kembali ke ruang tamu. Di sana sudah ada Ain yang duduk di kursi yang ditempati oleh Pak RT tadi.
“Apa jawaban ayah?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Seutas Benang Rajut di Tanganku
RomanceAin, seorang gadis desa yang hidup dalam kungkungan kepercayaan "sangkal" menurut keyakinan suku Madura. Setiap kali ada laki-laki yang datang melamarnya maka akan berakhir ditolak olehnya atau si laki-laki yang mundur dari lamarannya. Lalu, akank...