Bunyi kokok ayam menyelusup masuk memenuhi gendang telinga Ain. Memaksanya untuk segera membuka mata dan segera beranjak dari mimpinya karena malam telah berganti pagi. Saatnya beraktifitas kembali.
“Ain, kamu sudah bangun? Ayah pikir masih asyik sama Rayhan di dalam mimpi.”
“Astaghfirullah, ayah bikin aku malu aja.” Ujar Ain sambil menutup wajahnya dengan selimut untuk menyembunyikan semburat merah di wajahnya karena malu.
“Emang aku ngigau tadi malam?”
“Iya. Kamu sempat menyebut nama Rayhan tadi malam.” Pungkas ayahnya sambil menyibak selimut yang dipakainya. “Udah sana, cepetan mandi terus shalat subuh. Biar gak kesiangan berangkat ke terminalnya.”
“Iya, Ayah.”
Ain segera bergegas ke kamar mandi sementara ayahnya menunggu di ruang tamu sambil mengikat satu kardus kecil dengan tali rafia yang berisi beberapa bungkus makanan ringan untuk camilan dan setoples abon untuk tambahan lauk saat Ain makan.
“Jangan banyak-banyak isinya, Yah. Nanti aku berat bawanya.” Ucap Ain pada ayahnya lalu duduk di sampingnya.
“Gak akan berat, kok. Orang isinya Cuma sedikit. Kamu sih, dadakan ngasih tahu ayah yang mau berangkat ke Malang. Jadinya kan ayah belum ada uang.”
“Aku tahu kok, kalau kondisi ekonomi kita di bawah rata-rata. Makanya aku baru ngasih tahu kemarin.” Matanya sudah terlihat berkaca-kaca. Sebulum air matanya tumpah, reflek Ain memeluk ayahnya dan menyandarkan dagunya di bahu ayahnya.
“Sudah, jangan nangis, Nak. Kita tidak boleh menyesali keadaan kita. Ini sudah takdir jalan hidup kita. Bersyukur kita masih punya rumah. Di luar sana masih banyak orang yang lebih tidak mampu dari pada kita. Mereka malah gak punya rumah. Terlunta-lunta di jalanan.” Ayahnya merangkulnya, menasihatinya. Berbicara dari hati ke hati, berusaha memberikan pemahaman.
Salah satu momen langkah untuk keduanya karena sejak kecil Ain dekat dengan ibunya saja. Ia cenderung segan kepada ayahnya karena intensitas pertemuan mereka yang jarang. Ayahnya hanya pulang sesekali pada sat cuti dari pabrik tempatnya bekerja.
“Sebenarnya aku malu peluk-peluk ayah seperti ini. Kita tidak dekat seperti ini dulu.”
Masih mengusap pundak Ain, ayahnya tersenyum memandangi foto mereka yang terpajang di dinding. “Ini juga jalan yang dikasih Allah supaya kita bisa dekat. Tidak hanya dengan ibu kamu tapi dengan ayah juga harus dekat.”
“Doakan aku Yah. Semoga aku betah di sana. Punya banyak teman yang baik sama aku.”
“Iya. Pasti itu. Sudah kewajiban orang tua mendoakan anaknya.”
“Terus, nanti kalau ada yang melamar aku lagi jangan diterima, Yah. Aku takut kuliahku gak sampai lulus. Biasanya kan kalau orang kampung pengen cepet-cepet nikahin anaknya.”
Ayahnya terkekeh mendengar permintaan Ain. Ia teringat dengan mendiang istrinya yang selalu menceritakan prestasi Ain di sekolah. “Mas, anak kita dapat peringkat satu lagi. Aku ingin nanti dia melanjutkan pendidikannya ke kota. Kuliah di kota. Biar pikirannya gak sempit kayak kita.”
“Assalamu’alaikum.”
Terdengar suara salam di balik pintu.
“Wa’alaikum salam.” Siapa, Yah, pagi-pagi udah bertamu?”
Ain melepas pelukannya dan beranjak membukakan pintu untuk orang yang bertamu sepagi ini.
“Wa’alaikum salam. Eh, Pak RT, cari ayah ya, Pak?”
“Iya. Ayahnya ada?”
“Ada, Pak. Mari, silakan masuk.”
Ain mempersilakan pak RT masuk. Ia pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman. Sambil menakar gula dan kopi, ia bertanya-tanya dalam hatinya. Ada apakah gerangan pak RT bertamu sepagi ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Seutas Benang Rajut di Tanganku
RomanceAin, seorang gadis desa yang hidup dalam kungkungan kepercayaan "sangkal" menurut keyakinan suku Madura. Setiap kali ada laki-laki yang datang melamarnya maka akan berakhir ditolak olehnya atau si laki-laki yang mundur dari lamarannya. Lalu, akank...