Masa Lalu Part III

0 0 0
                                    

Malam itu, ditemani oleh riuh rinai hujan yang begitu berisik menjejali atap rumahnya, Ain menggenggam segulung kecil benang rajut di tangan kirinya serta kumpulan surat munjiyat di tangan kanannya. Keduanya menarik kembali ingatan di mana setiap malam Jum’at, Ain dan ibunya bersama-sama membaca surat munjiyat untuk dihadiahkan pahalanya kepada para pendahulunya. Begitu sesak dadanya, kala kenangan tentang kebersamaan mereka menari-nari di pelupuk matanya, bak film dokumenter yang ditayangkan berulang-ulang di bioskop. Ingatan Ain menerawang jauh hingga ia tersadar bahwa surat dari Rayhan masih belum ia baca. Dengan sedikit tergesa-gesa ia ambil surat itu. Perlahan ia buka, lalu ia baca. Air matanya perlahan mulai tak terkendalikan bersama sesak yang menyeruak bersama ingatan tentang Jum’at terakhir bersama ibunya. Ternyata, yang maha Agung masih berbelas kasih untuk menuntunnya melalui perantara sang ibu. Sembari memegang hakpen dan mulai mengaitkan benang untuk mengajarkan motif baru kepada Ain, ibunya berbisik, “Ain, ibu tahu kamu sedang jatuh cinta. Tapi lebih baik bila cinta itu direalisasikan dengan cara yang disenangi Allah.”

“Seperti apa cara yang disenangi Allah, Bu?” Ibunya tersenyum sambil mengusap puncak kepala Ain. “Hindarilah yang namanya khalwat, Nak, meskipun dalam bentuk komunikasi dunia maya!”

Masih dengan surat Rayhan di tangannya yang telah basah karena air mata yang telah melewati dagunya. Perlahan, ia baca bait terakhirnya.
Maaf, jika ini berat bagimu. Tapi, anggap saja ini adalah perjuangan agar cinta kita diridhai oleh-Nya. Akupun sama sepertimu yang tak berdaya dengan perasaan ini. Pun demikian halnya dengan orang tuaku yang tidak mengizinkanku untuk menikah di usia muda. Maka jalan yang kurasa baik adalah memasrahkannya dalam do’a. Toh, bila berjodoh pasti akan bersatu.   
Setelah matahari meninggi seukuran satu tombak, ia telah bersiap untuk pergi ke sekolah. Aktivitas yang mampu mengikis kesedihannya apalagi dengan semangat baru serta tekad bulat untuk menginsafi kesalahannya setelah semalaman iya merenung. Sebelum berangkat, Ain berpamitan kepada ayahnya. Biasanya, ia berpamitan kepada ibunya dan akan mendapatkan kalimat pengantar “hati-hati di jalan.” Kali ini, ayahnya menambahkan kalimat yang membuat hatinya remuk. “Tadi malam, ada seorang pria yang melamarmu. Dia anak teman ayah.” Ain hanya diam dan berangkat ke sekolah dengan perasaan kacau.

Di sekolah, Rayhan menghampirinya. Dengan ragu ia mengatakan, ”Sudah kau baca suratku yang kemarin kuberikan?” Ia hanya diam dan merogoh segulung kecil benang rajut lalu mengangsurkannya pada Rayhan. Lalu ia berkata, “Terimalah benang ini! Mungkin, suatu saat nanti benang ini akan menjadi sesuatu yang dirajut meski tidak seperti yang kita inginkan sekarang. Takdir Allah jauh lebih indah dari rencana manusia.”   

Seutas Benang Rajut di TangankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang