1. Berita Viral Kartagena

10 2 0
                                    

Sejak internet dengan mudah diakses oleh masyarakat luas—tidak hanya memanjakan anggota-anggota kerajaan saja. Dunia maya seakan bisa menghadirkan ruangan sebagai permulaan juga pelarian. Sebagai permulaan, sehingga penduduk pulau lain yang jauh dari Kartagena sekali pun bisa mendapatkan informasi serupa di detik yang sama.

Ibukota sekaligus metropolitan yang memiliki jajaran bangunan-bangunan tinggi, seakan hanya ada kaca di mana-mana dan sejauh mata menatap ke langit. Sebuah kota yang di sana tak akan ditemukan satu pun gelandangan.

Para rakyat miskin akan diberikan lingkungan tinggal di dekat pesisir pantai atau lereng gunung. Yang jelas, bukan di Ibukota. Dengan begitu mereka tidak akan saling menganggu, mereka juga dibeli ilmu yang berguna sesuai lingkungan hidup mereka. Menangkap ikan dengan baik atau berkebun, misalnya.

Soal kalangan elite seperti halnya bangsawan, banyak yang menetap dan hidup dalam garis keturunan mereka di Kartagena—dengan atau tidak secara tertulis membuat permohonan bahwa keturunan mereka harus lebih mencintai tanah di mana kerajaan utama berdiri.

Sebanyak 50% acara pertelevisian diisi oleh gaya hidup kasta-kasta tersebut.  Sedangkan sisanya adalah berita dan acara-acara hiburan seperti drama atau pertunjukan. Untuk ranah pendidikan, Kementrian Pendidikan atas perintah Raja telah menertibkan peraturan bahwa penggunaan internet untuk kegunaan belajar tidak boleh lebih dari 65%. Sisanya, mereka harus benar-benar mengandalkan buku.

Siaran televisi pasti membuat orang-orang merasakan kenyang akan kehidupan para bangsawan—sekali pun beberapa dari mereka tidak menginginkannya atau pun tidak peduli, meski itu sedikit sulit. Banyak role model yang lahir di kalangan bangsawan, karena mereka yang menyandang gelar tersebut pastinya tidak berada di garis rata-rata. Namun siang itu, sedikit berbeda. Salah satu nama besar muncul di highlight surat kabar dan pertelevisian. Memenuhi rubik dalam sehari.

“A—apa ini ...?” Kertas berukuran lebar di tangannya berhamburan di lantai, tepat ketika pintu kamarnya dibuka paksa dan seseorang melesat masuk tergesa-gesa. “Apa ...”

“Ssst, Pamela. Tenanglah.” Dibawanya tubuh di hadapannya itu lebih mendekat, sambil mengelus surai hitam milik perempuan tersebut. “Jangan membaca berita selama satu minggu ke depan.”

“Jae, Ibuku ...” Pamela mencoba menahan letupan di dadanya yang semakin sesak. Bahkan pelukan Jaeden di tubuhnya sama sekali tidak terasa apa-apa.

“Sudah kubilang, kau tidak perlu membaca berita apapun lagi. Tolong, istirahatlah saja.” Jaeden melepas pelukannya dan menatap khawatir. Kedua tangannya beralih ke pundak Pamela dan mendorongnya ke bawah agar perempuan itu mendudukkan diri di atas ranjang. “Tidurlah, aku harus keluar menyelesaikan beberapa hal.” Jaeden agak menunduk saat mengatakannya agar wajah mereka sejajar.

Sejujurnya, Jaeden sudah terlihat sebaik mungkin memberikan perhatiannya siang itu. Namun, Pamela masih sangat terpukul hingga tak bisa membalas setiap kalimat manis dari suaminya, tak bisa juga membalas tatapan lembut selain hanya dengan sepasang sorot mata penuh air mata. Hingga akhirnya, ia hanya mampu menganggukkan kepala dan menahan isakan. Paling tidak, sampai lelaki itu menghilang dari balik pintu.

Terlihat bahwa ada seseorang lagi yang hendak memasuki kamar. Seorang wanita paruh baya dengan setelan gelap yang tidak terlalu jelas. Sudah pasti Jaeden menghentikan langkah orang tersebut.

“Biarkan aku masuk!”

“Dia sedang terpukul, jangan sekarang.”

“Apanya yang jangan sekarang! Saham keluarga kita bisa turun gara-gara istri sialanmu itu!”

Dan kasak-kusuk pun terdengar lebih memelan, seiring pintu yang telah tertutup rapat. Sedangkan Pamela, sudah meringkuk di samping ranjang. Tanpa air mata seperti sebelumnya. Hanya saja, tatapannya kosong. Entah memang raganya sedang tidak berada dalam tubuhnya atau tidak.

A Lady Who Once FellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang