akhir

273 33 4
                                    

Lagi dan lagi air mata Anna mengalir tak kunjung berhenti dipelukan sang ibu. Berbagai ucapan penenang diberikan agar dapat menghentikan tangis memilukan itu.

"Kamu serius ngga mau bicara dulu sama mereka? Supaya kasusnya cepat diurus sayang" ucap sang ibu sambil terus menepuk punggung sang anak dalam pelukannya.

Wiwin namanya, ibu super kuat dan hebat yang Anna punya.

Gelengan pelan dirasakan oleh Wiwin yang menyatakan bahwa Anna tak ingin diintrogasi untuk saat ini.

Ah, sudahlah Wiwin juga tak ingin memaksa. "Yasudah.... Mama suruh mereka pulang. Mama harap kamu bisa nentuin mana yang terbaik buat kamu" itu kata Wiwin sebelum menghilang dibalik pintu.

Anna memeluk lututnya kuat. Ia kotor. Ia tak pantas hidup pikirnya. Bagaimana bisa benih bodoh itu bisa tumbuh subur dalam rahimnya hanya dalam dua mingguan?!

Hancur. Ia hancur. Masa depannya juga hancur. Kuliahnya hancur padahal ia baru beranjak kesemster 6. Semuanya hancur.

Perampuan yang kerap disapa Nana itu terisak untuk kesekian kalinya. Sesak sekali. Ia hanya korban disini.

Perbuatan tidak tercela anak laki-laki yang bahkan tidak dikenalnya dilorong sepi dekat rumahnya menjadi awal kehancuran itu.

Ia dilecehkan oleh dua lelaki disana saat pulang dari makam ayahnya. Ia diikat tangan dan kaki. Mulutnya disumpal baju salah satu lelaki.

Ah, rasanya ia ingin melompat dari gedung paling tinggi dikota ini mengingat kejadian itu.

"Sayang... Makan dulu yuk" Wiwin mendekat kearah putrinya yang masih setia dengan tatapan kosongnya. "Dede juga pasti lapar"

Wiwin menyingkirkan tangan Anna yang mencekal perutnya kuat.

"Biarkan saja dia mati ma!" Bentak Anna lalu mencekal lagi perutnya dengan kuat.

"Nana?.. lihat ibu nak!"

Wiwin menahan tangan Anna dengan kuat lalu menangkup pipi anaknya itu.

"Anak itu ngga salah! Yang salah itu mereka" kata Wiwin.

Sebenarnya Wiwin juga hancur saat anak perempuannya ia temukan tergeletak dilorong tanpa busana dimalam saat ia sedang mencari putrinya. Ia pikir putrinya itu masih berada dimakam sang ayah seperti yang biasa dilakukannya setiap hari.

Hatinya bagai ditembak oleh ribuan panah membara. Ia membaluti tubuh anaknya dengan jaket yang ia pakai. Airmatanya terus mengalir sambil memapah anak gadisnya kemobil.

"Dia juga bersalah! Kenapa dia harus tumbuh dalam rahim Nana?!"

"Dia bisa mendengarnya sayang"

"Terserah!"

"Dia anakmu Na... Kau harus terima itu!"

"Bagaimana aku bisa terima saat dia udah hancurin semua impian Nana?!"  Anna menghempaskan dua tangan ibunya yang berada di lengannya.

Sudah dua Minggu ia seperti ini. Sebenarnya sudah mulai membaik. Namun saat ia tahu dirinya tengah mengandung dirinya kembali menggila.

"Kuliah Nana mah.... Impian Nana... Apa kata teman-teman Nana nanti?!" Nana berteriak hebat membuat sang ibu kembali mendekapnya erat. Wiwin juga menangis dalam diam. Hatinya sakit. Ia bisa merasakan sesak yang sama dengan yang putrinya rasakan.

"Apa yang harus Nana bilang ke Malvin nanti?"

Iya Malvin, tunangannya. Rasanya Anna ingin mati saat ini juga.

"Nana kuat.. Nana pasti bisa demi mama ya nak?" Wiwin menghapus air mata putrinya. Kantung matanya membengkak karena terlalu sering menangis.

"Kamu jangan sampai tinggalin mama  hanya karena masalah ini. Kamu tahu kan mama ngga suka sendirian?"

pewarna HidupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang