Memories (Junhan)

93 16 0
                                    

⋇⋆✦⋆⋇
️️ ️️
️️ ️️
️️ ️️

Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan. Bukan sedang menari, aku berusaha mencari sosok partner kencanku yang mengenakan kemeja berwarna cream.

Nihil. Aku memutuskan untuk duduk terlebih dahulu, tak jauh dari pintu masuk. Kupikir ia belum sampai.

Cermin mini dari dalam tas kuambil. Aku melihat pantulan wajahku dari sana, memeriksa setiap sudut mulai dari bibir, pipi, hingga kelopak mata. Konon, impresi pertama itu penting 'kan?

"Maaf. Kau menunggu lama?” Seseorang bertanya padaku sembari terengah-engah. Tempo nafasnya terbilang cukup padat, seperti habis berlari mengitari bumi mengejar matahari.

Setelan celana hitam dan kemeja creamnya, secara otomatis menggurat senyum di bibirku. Aku refleks berdiri, dan bersiap menyapanya.

Tiba-tiba, dunia di balik punggungnya berhenti dan mengabur. Persis ketika seorang pemeran utama dalam sebuah film muncul.

Isi kepalaku dibanjiri oleh kilas memori masa sekolah. Masa dimana ketika aku, mengidolakannya. Meski aku yakin, ia tidak pernah mengetahui itu.

Keajaiban satu persen itu memang nyata. Berulang kali dalam acara reuni, aku berharap setidaknya dapat melihatnya satu kali. Tapi kami, justru bertemu disini.

“Jun..” Aku menggumamkan namanya. Ia menaikkan alisnya.

“Apa?” Ia berucap seolah kebingungan. Tunggu, kurasa ia tidak mengenalku? Ekspresi wajahku yang tak karuan, kukembalikan ke mode normal.

“Oh, kau sudah sampai? Aku baru saja duduk, mungkin sekitar lima menit yang lalu? Haha.” Aku memberi gestur agar ia bisa duduk terlebih dahulu dan mengatur deru nafasnya.

“Syukurlah, aku takut kau menunggu cukup lama.” Kami berdua duduk berhadapan dalam hening.

Aku ingat jelas, ketika semua wanita di sekolahku meneriakkan namanya yang tengah beraksi di atas panggung. Jemarinya bermain di atas senar, menciptakan melodi indah dan bermakna, yang tak pernah kusangka akan membuatku menyukainya.

“Kau sudah memesan sesuatu?” tanyanya. Seketika kehidupan di balik punggungnya mulai berputar lagi. Aku teringat kalau kami sedang berada di kedai kopi.

“Aku? Belum. Kau mau memesan sesuatu?” Aku berdiri, bersiap pergi untuk memesan.

Ia ikut berdiri. Kami bertukar pandang, dan ia meraih lenganku.

“Aku saja.” Ia melangkah pergi meninggalkanku.

Aku kembali duduk di kursiku. Kurasa setengah nyawaku melayang. Jantungku juga berdegup cukup kencang.

Benar. Ini rasanya. Perasaan yang kupendam sendiri selama tiga tahun, kini bangkit dari kuburnya. Aku mengigit bibirku, mencegahnya naik ke atas seperti orang bodoh.

Sudah lewat hampir enam, bahkan tujuh tahun. Tapi rasanya, aku baru melihatnya kemarin di lapangan sekolah.

“Aku sepertinya belum bertanya kau mau pesan apa.” Tiba-tiba ia berada di sampingku.

“Ah, haha. Betul juga. Kalau gitu aku pesan vanilla shake.” Mulutku sepertinya akan robek. Senyum selebar itu terakhir kali kubuat ketika lulus ujian perguruan tinggi. Ia tidak akan menganggapku aneh 'kan?

Es Americano untuknya, dan Vanilla Shake untukku. Ia juga membeli beberapa macarons warna-warni di atas piring.

Aku menyeruput minumanku. Seseorang harusnya memulai pembicaraan. Alih-alih memandangi satu sama lain, mata kami malah menjelajahi ruang kedai kopi.

Blind Date With XH (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang